Minggu, 10 April 2016

Penghapusan Peraturan 3 in 1

Jakarta. Kata orang Jakarta itu ibarat durian besar. Kulitnya tebal dan berduri tajam, untuk mengupasnya saja butuh pisau super tajam dan perjuangan ekstra. Belum lagi, begitu sayatan pisau merekahkan kulit durian sedikit saja, bau menyengat akan segera menguar menusuk hidung. Kita yang sudah terbiasa mungkin akan baik-baik saja, akan tetapi bagi mereka yang sama sekali baru pertama mengenal durian reaksinya pasti beragam. Ada yang Cuma terkejut, ada yang merasa mual, pusing, atau bahkan pingsan (oke, yang ini sudah keterlaluan hiperboliknya). Seperti itulah Jakarta. Bagi anda yang baru menginjakkan kaki di Jakarta mungkin akan terkejut dengan satu dua hal yang ‘jakarta banget’ seperti macet, polusi, kawasan kumuh, kriminalitas, banjir, PMKS, dan masih banyak lagi hal-hal sejenis yang terlihat mencolok diawal kedatangan. Akan tetapi let’s say… itulah kulit luar Jakarta.

Seperti durian besar yang terasa aneh ketika pertama kali menyentuh lidah, mungkin tak sedikit juga orang yang bertanya apa pula enaknya buah ini. Bahkan setelah beberapa kali mencobanya, ada juga yang tetap tidak ‘doyan’ baik itu durian maupun Jakarta. Akan tetapi bagi saya yang lahir dan besar di Jakarta, tempat ini sudah seperti rumah, dimana saya menghabiskan sebagian besar waktu saya hingga kini. Jika masa depan saya di Indonesia, maka kota yang saya pilih untuk ditinggali tetaplah Jakarta, atau minimal di kawasan penyangga ibukota seperti Bogor, Tangerang, Depok atau Bekasi. Jadi, kenyamanan tinggal di Jakarta tentu termasuk dalam satu dari sedikit hal dalam hidup ini yang mendapat perhatian saya.

Sekitar tiga hari yang lalu, wacana Gubernur DKI tentang penghapusan peraturan 3 in 1 yang mengundang pro-kontra dari publik benar-benar genap dilaksanakan. Tidak ada lagi larangan—yang menurut saya sangat masuk akal—untuk melarang penggunaan mobil sendirian pada jam-jam sibuk. Bicara dari sudut pandang pengguna jalan yang tidak menggunakan mobil, implikasi dari penghapusan peraturan tersebut sangat sangat terasa, dan… sorry to say, hingga hari ini belum satupun dampak positif yang saya rasakan. Hari pertama 3 in 1 dihapuskan, kemacetan terjadi hampir di semua jalan protokol yang semula memberlakukan aturan ini. tidak tanggung-tanggung, perjalanan saya dari tempat kerja ke kampus via jalan Jend Sudirman memakan waktu  hingga dua kali lipat lebih lama dari biasanya. Jika saja kita punya alat untuk mengkonversi kerugian waktu menjadi uang, maka mungkin akan lebih sakit hati lagi melihatnya.


Apa sebenarnya yang terlintas di benak bapak Gubernur ketika ide untuk menghapus peraturan ini datang? Entahlah. Dari semua alasan yang dikemukakan, nalar ecek-ecek saya tidak menangkap satu alasan pun yang bisa diterima. Ketika ditanya apa solusi pengganti yang dimiliki untuk membendung kemacetan, beliau menjelaskan bahwa perbaikan transportasi umum sudah dilakukan, armada nya juga diperbanyak, jadi dengan sendirinya warga akan lebih memilih transportasi umum begitu merasa jalanan menjadi sangat macet karena dihilangkannya aturan 3 in 1. Sekali lagi maaf, menurut saya itu solusi yang terdengar naif—jika tidak bisa dibilang sama sekali bukan solusi. Saya bukan fans setia bapak gubernur, tapi jujur saja tidak sedikit dari tindakan beliau yang selama ini sangat saya dukung, bahkan keberanian beliau bicara terus terang di media boleh lah saya beri nilai 9 dari 10 angka. Saya juga merasa bahwa hasil kerja beliau cukup terasa efeknya, tidak sehambar periode sebelumnya. Saya juga seorang yang tergolong optimis bahwa Jakarta sangat bisa diperbaiki. Namun sekali ini saya merasa ide penghapusan 3 in 1, sudah terdengar kelewat utopis bahkan sejak pertama kali diberitakan—jauh sebelum pelaksanaannya diberlakukan. Mengapa?

Karena jujur saja, mengendarai mobil pribadi ke kantor itu bukan semata karena transportasi umum tidak nyaman. Benar memang bahwa ketidaknyamanan—yang sebenarnya tidak berlebihan jika disebut ketidaklayakan—sarana umum menjadi salah satu penyebab utama, tapi itu bukan satu-satunya alasan. Selfish, merupakan satu dari banyak alasan lainnya. Jadi jika beliau menganggap orang-orang akan beralih menggunakan kendaraan umum hanya karena macet parah, maka saya sangat tidak percaya. Setidaknya didalam mobil pribadi sudah pasti dapat duduk, sudah pasti AC-nya dingin, sudah pasti tidak berdesakan. Bebas makan-minum ataupun menyetel musik sambil menunggu kemacetan. Berbanding terbalik dengan pengguna transportasi umum yang mesti berdesak-desakan, mencium bau keringat orang lain, dan tetap saja terkena macet juga. Tidak bisa bberbuat apa-apa.

Tapi kan jika semua pengendara mobil bersepakat menggunakan transportasi umum tidak akan ada yang namanya macet lagi? 100% benar. Hanya saja, prestise adalah alasan selanjutnya mengapa transportasi umum tidak menjadi pilihan pertama. Bawa mobil ke kantor-kampus-sekolah itu keren, bukan begitu? Di Indonesia menggunakan sepeda belum se-trendy di negara maju. The same goes to public transportation. Dan sayangnya, belum ada usaha maksimal untuk mempopulerkan penggunaan kedua alternatif tersebut.

Sudah menjadi watak dari kerumunan, hanya akan bergerak ketika ada yang memulai. Ketika satu orang berubah, apakah dunia otomatis berubah? Tentu tidak, tanpa dukungan publikasi dan teknik promosi yang tepat. Jangan harap publik akan sadar dengan sendirinya untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi jika tidak ada sang ‘pied piper’ yang memimpin anak-anak dengan suling dan pakaian warna-warni. Uniknya, jaman sekarang ini menyetir arah kerumunan itu susah-susah gampang. Di instagram, dengan hashtag #tukeranbajupacar atau #ciumketekpacar saja, kelakuan remaja alay yang memalukan bisa diikuti banyak orang seolah itu wajar saja, tanpa sadar betapa menggelikan perbuatan yang mereka pertontonkan di media sosial tersebut. Sebesar itulah kekuatan media di zaman kita ini. Saya tidak pernah secara langsung melakukan survey tentang ini, tapi saya yakin metode promosi pasangan cagub Jokowi-Ahok di pemilu yang lalu mendulang cukup banyak dukungan (terutama kelompok muda) melalui metode promosinya yang ‘gaul’. Ingat parodi lagu One Direction versi kelurahan? Itu salah satu contoh iklan kreatif yang sukses besar tanpa harus ditayangkan di televisi.

Jadi, kenapa juga tidak mencoba menjadikan perbuatan baik dan bermanfaat sebagai trend dengan menggunakan media sosial sebagai pied piper? Tambahkan lagi dukungan dari selebritis, yaitu orang-orang terkenal seperti artis, atlet, seniman, youtuber atau sekedar akun-akun medsos populer yang punya banyak follower, maka lengkap sudah laskar peniup suling kita. Minta mereka mengarahkan publik ke jalan yang lurus (eh?) dengan cara masing-masing. Toh, kita sudah sepakat bahwa bukan hanya produk komersial saja yang bisa diiklankan? Gencarkan juga promosi melalui komunitas-komunitas, berikan embel-embel mencolok, maka genaplah amunisi berikutnya. Atau lebih keren lagi kalau bapak gubernur sendiri yang mencontohkan dengan mulai menggunakan kendaraan umum. Saya tau bapak sibuk, tapi kan itu salah satu kiat mensukseskan rencana yang anda buat sendiri. Tak ada yang tau berhasil tidaknya memang, tapi kan minimal lebih baik daripada duduk diam menunggu keajaiban datang, disebut keajaiban karena probabilitasnya 1:100000 orang jakarta sebanyak itu bisa sadar dengan sendirinya.


Nevertheless, i still love my Jakarta-my Indonesia... saya masih tetap akan tinggal di kota ini, meskipun Jakarta tanpa macet masih di angan-angan. Adios.