Jumat, 01 Mei 2015

Harga Sebuah Nyawa

         2015, 28 April dini hari, entah kenapa aku belum bisa memejamkan mata. Bukan apa-apa memang, mungkin hanya belum mengantuk setelah berjam-jam hibernasi sore tadi.  Suasana kamar kost yang beberapa bulan ini kutempati terasa lengang. Jarum jam berdetak pelan nyaris tanpa suara, menandai detik demi detik yang berlalu lambat. Malam itu bagiku tak ada yang istimewa—datar saja, sedatar jalanan depan gang yang gelap dan senyap. Akan tetapi masih dibawah langit yang sama, ratusan kilometer dari tempatku terjaga, terpisah oleh air dan tanah… setidaknya ada beberapa orang yang sedang bersiap menjemput takdir mereka. Menghadapi akhir dari sebuah babak dalam buku kehidupan masing-masing. Mereka adalah para terpidana mati kasus Bali Nine bertahun-tahun silam, yang akhirnya mesti menutup perjalanan hidupnya dengan letusan peluru eksekutor. Entah bagaimana perasaan kedelapan orang yang menghadapinya, termasuk belasan orang keluarga, teman, pasangan, kerabat dan orang-orang yang mengasihi mereka.

Eksekusi mati gelombang II ini hampir dapat dipastikan akan penuh dengan air mata kesedihan dari pihak terpidana. Tak akan jauh berbeda dengan eksekusi gelombang I beberapa waktu lalu, suasana media besok pagi akan ramai dengan headline yang memuat kisah mengharukan saksi mata, orang-orang terdekat, pembimbing spiritual dan kerabat, bahkan diantara para terpidana itu ada yang baru beberapa hari lalu melangsungkan pernikahan di balik jeruji. Bisa dipahami, mengingat yang kita bicarakan hari ini adalah kematian, dimana tak akan ada kesempatan kedua untuk bangun lagi.

Kematian memang suatu keniscayaan. Tak ada satupun makhluk bernyawa di dunia ini yang luput dari kejarannya. Akan tetapi menunggu kematian dan melihat kedatangannya dengan “mata terbuka” adalah suatu hal yang berbeda. Tak seperti kebanyakan manusia yang sama sekali tak punya ide kapan ajal akan menjemput, para terpidana mati ini menghitung langkah demi langkah sang maut yang terus mendekat, dengan disaksikan dan dicatat seluruh dunia yang turut berhitung. Seperti apa rasanya berada di posisi mereka? Entahlah, bahkan menulis tentang ini sambil membayangkannya saja membuat bulu kuduk berdiri.


Hukuman mati yang telah diputuskan oleh panglima tertinggi negara ini setelah sekian tahun maju mundur tentunya menuai reaksi. Pro dan kontra, dukungan dan celaan. Dunia tak hanya ikut menyaksikan dan mencatat, mereka juga terlibat. Komunitas internasional, entah itu organisasi, negara, maupun individu berpengaruh, tentu harus melibatkan diri untuk—minimal—berkomentar, terutama negara-negara tertentu yang warganya menjadi terdakwa. Berbagai cara ditempuh; dari mulai diplomasi lunak dengan mengirim pengacara terbaik, pengajuan grasi, permintaan penangguhan, hingga jalan yang lebih keras seperti evaluasi hubungan bilateral, menarik pulang perwakilan diplomatik, bahkan aksi boykot yang biasanya bermula dari media sosial.

Sebagai seseorang yang mempelajari interaksi internasional, saya mengerti betul betapa pentingnya hubungan kerjasama dengan negara sahabat. Puluhan tahun bermitra dalam hubungan yang mutualis, menjalin kerjasama, people to people contact, bahkan bertukar kultur. Apakah sebanding jika harus menjadi renggang “hanya” karna satu nyawa saja? Satu nyawa dari jutaan warga negara lainnya. Akan tetapi, jauh sebelum mengerti perhitungan untung-rugi dari hubungan bilateral semacam itu, saya adalah anak orang tua saya, lahir dan besar ditengah keluarga, dan memiliki saudara-saudara yang saya sayangi. Maka, hari ini saya ingin menulis dari sudut pandang seorang kakak yang telah berjanji untuk menjaga dan melindungi kedua adiknya, terlepas dari teori tawar-menawar antar negara.

Klaim terakhir BNN menyatakan bahwa di Indonesia, setiap harinya terdapat 50 orang tewas akibat narkoba. Itupun belum terhitung mereka yang kehilangan akal, kehilangan kesehatan di usia produktif, bahkan terinfeksi penyakit menular. Tentu saja, berurusan dengan narkoba adalah pilihan yang mereka ambil sendiri, tapi diluar itu kita perlu mempertimbangkan anak-anak usia muda yang melangkah masuk kedalam dunia tersebut dengan pengetahuan minim, mempertimbangkan kenyataan bahwa mereka berhak mendapat perlindungan memadai dari kita yang memegang tanggung jawab.

Hari-hari ini orang sibuk bicara tentang kekejaman hukuman mati. Putusan yang dianggap barbar untuk dilakukan oleh manusia karena tak ada bedanya dengan membunuh, buncah berteori tentang Hak Asasi Manusia dan hak dasar untuk hidup, fakta bahwa setiap orang pernah berbuat salah dan berhak mendapat kesempatan kedua. Tapi sejujurnya, saya personally akan sangat ingin membunuh tanpa kompromi siapapun yang berani mengenalkan narkoba kepada adik2 saya. Kenapa orang begitu sibuk mengurus hak asasi pelaku tanpa memikirkan hak-hak korban? Bukan satu-dua, melainkan 50 orang setiap harinya. Memang mereka bukan korban langsung, tapi dalam pandangan saya justru hal itu semakin memberatkan kejahatan mereka. Dari sekian banyak korban, mereka bahkan tidak tau harus meminta maaf pada siapa, mengompensasi korban yang mana. Kejahatan yang mereka tebarkan bagai tertiup angin, menyebar kesegala arah tanpa terkendali.

Kita telah sepakat bahwa di Indonesia, kejahatan narkoba bukanlah kasus biasa. Ia termasuk dalam extraordinary crime yang bisa mengundang konsekuensi nyawa. Tapi tentu saja itu semua diterapkan setelah melalui banyak pertimbangan, telah sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang disyaratkan. Faktanya, para terpidana ini juga masuk ke bandara Indonesia sambil melihat dengan mata terbuka peringatan2 yang tertempel disana bahwa dalam jumlah tertentu, kepemilikan obat terlarang dapat diganjar hukuman mati. Meski demikian mereka memutuskan tetap membawanya, bukan? Dalam keadaan sadar! Bukankah terlalu pengecut jika pada akhirnya merengek mohon pengampunan dengan menggunakan dalih bahwa setiap orang pasti pernah berbuat salah?

Mereka semua manusia yang berhak untuk hidup, itu benar… namun begitupula generasi muda kita. Mereka berhak untuk hidup! Para terhukum mungkin telah berusaha sebaik mungkin untuk berubah menjadi sosok yang lebih baik setelah bertahun-tahun rehabilitasi di dalam rutan, tapi mereka tetap tak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah mereka ambil dari korban-korbannya. Lantas apakah dengan menghukum mati mereka, korban yang mati bisa hidup kembali? Tentu tidak, tapi itu akan menyelamatkan jutaan lainnya yang masih hidup. Saya hanya bisa mengirimkan simpati dari sini, disertai harapan agar kepergian para terpidana tidak sia-sia, dan dimasa mendatang yang masih hidup pun bisa mengambil pelajaran, bahwa satu tiang hukum negeri ini akan mulai ditegakkan, dan kami tidak main-main dengan itu!

                                * Kost sweet kost, 28 April 2015, 00:19

                                **Saya berharap ada wifi buat ngepost langsung, tapi nggak ada -_-