Senin, 26 Januari 2015

Denting Tengah Malam

Aku menarik kembali selimut hingga menutupi separuh wajahku…

source: Google image

Tak sampai lima menit aku kembali mendengarnya. Suara denting yang mengusik, tepat dari depan pintu rumah kost kami. Seseorang seolah sengaja memukulkan sesuatu pada tiang listrik yang berdiri tegak disana. Tiga atau empat ketukan, terdengar lambat dan mencekam. Aku bergidik. Sudah sejak tadi aku berusaha memejamkan mata, mengabaikan denting-denting yang selalu akan mulai berbunyi tiap kali jarum jam menunjuk angka satu dini hari. Tapi gagal, aku tak bisa mengabaikannya.

Entah sudah sejak kapan suara itu bermunculan. Sejak kemarin? Sebulan ini? Atau malah sudah sepanjang tahun seperti ini? Aku tak pernah memperhatikan. Sudah masuk delapan bulan sejak aku tinggal disini, tapi baru minggu-minggu ini aku menyadari ada yang tak beres dengan suasana malam di tempat ini.

Bermula beberapa hari yang lalu, aku masih terjaga di tengah malam untuk menyelesaikan tugas kuliah yang harus ku serahkan lusa hari. Pukul sebelas malam, semuanya masih terasa normal. Beberapa remaja mengobrol di teras rumah tetangga, juga ada sekelompok pria paruh baya yang duduk di pos kamling sembari bermain kartu ditemani cangkir kopi dan kepul asap rokok. Malam minggu, bisa dimaklumi. Pukul dua belas, tepat tengah malam, kerumunan mulai bubar satu per satu. Akan tetapi tak ada perubahan berarti, aku masih sibuk di kamar bersama laptop dan makanan ringan. Playlist ku memutar beberapa lagu kesukaan dengan volume rendah.

Beberapa lama semua tetap berjalan seperti itu, hingga tiba-tiba playerku berhenti dengan sendirinya. Aneh. Tapi aku tak ingin ambil pusing dan bermaksud menyalakannya kembali. Sebuah suara menghentikan niatku. Berdenting… dari luar sana, tepat di depan pitu kostku yanag tak memiliki pagar pembatas, kecuali sebidang teras kecil dengan dua kursi plastik. 

Ting…ting…ting…

Berdenting tiga kali lalu hilang. Senyap kembali. Akan tetapi tak lama berselang, ketika aku hendak kembali menekan keyboard, suara itu muncul lagi. Berdenting tiga atau empat kali, untuk kemudian menghilang. Tak ada yang aneh dengan suaranya, hanya saja ketukannya yang lambat dan seolah terseret angin, sejujurnya membuat bulu roma berdiri. Berhenti sejenak, lalu berdenting lagi. Begitu seterusnya hingga malam berakhir.

Sejak saat itu, malam ku terasa panjang. Melihat ke arah ventilasi kamar yang tak tertutup sempurna, menampakkan barisan bayang-bayang pepohonan di belakang rumah semakin membuatku bergidik. Esok dan keesokannya lagi, aku kembali mendengar denting misterius dari jalanan depan depan rumah kost, tepat pukul satu, dan tak akan berhenti hingga pagi menjelang. Selalu sama, dan tetap sama irama nya. Sama menakutkannya semperti pertama kali aku mendengar, bahkan lebih. Sekali dua aku berusaha mengabaikannya, gagal. Tidak bisa tidak, aku membayangkan berbagai hal aneh terjadi di depan sana. Dentingnya itu menyiratkan penantian putus asa yang entahlah… terdengar seperti memanggil-manggil. Aku panasaran, sangat… akan tetapi tak memiliki keberanian untuk melongok ke jendela. Takut akan entahlah, bayangan-bayangan yang mungkin hanya ilusi ku saja. Maka kubiarkan tetap begitu. Sampai malam ini, ketika aku membulatkan niat untuk mencari tahu.
                                                            *****
Keesokan harinya, rasa penasaran membawaku melangkah mendekati pemilik kost yang tinggal tepat di belakang rumah yang aku tempati. Pagi menjelang siang, ibu bertubuh gempal dalam balutan daster coklat tersebut sedang menyapu halaman. Aku berbasa-basi tentang kamar mandi yang kran nya kadang menetes meskipun sudah dimatikan. Kemudian bertanya apakah ia juga mendengar sesuatu berdenting setiap malam, sepanjang waktu.
“Oh? Kamu dengar ya?” ujarnya tenang, aku mengangguk. “Tapi suaranya nggak ganggu kan?” aku menggeleng, berbohong, karena sebenarnya aku sangat terganggu.
“Cuma penasaran aja” sahutku.
“Yah, itu emang udah setahun ini begitu. Tapi nggak papah kok, anak itu nggak ganggu.” Jelasnya sambil tersenyum lebar, yang sedikit banyak menenangkan ku, karena sepertinya bukan sesuatu yang serius.
“Oh, gitu… Tapi anak itu siapa bu? Ibu kenal juga?”
“Iya, tapi… kalo mau tau, lihat aja sekali-kali. Nanti malam mungkin dia datang lagi.”
Aku berfikir sejenak, menimbang-nimbang. Baiklah, tak ada ruginya melihat sendiri, toh, sepertinya bukan sesuatu yang berarti karena si ibu menjawab dengan sangat ringan.
                                                            *****
Maka aku dengan santai beranjak dari kasur ketika jam menunjuk pukul 01:00, ketika denting tersebut mulai terdengar lagi seperti malam-malam sebelumnya. Jalan depan rumah kost ku adalah sebuah gang sempit. Beberapa langkah dari pintu depan berdiri sebuah tiang listrik, yang ku duga merupakan asal suara. Sambil mengunyah permen aku melongok dari jendela, berusaha mengawasi seseorang yang sedang berdiri di samping tiang, membelakangiku. Tapi aku tak bisa melihat dengan jelas. Jadi kuputuskan untuk keluar dan memastikannya.

Seseorang yang sepertinya wanita mengenakan helm di kepalanya berdiri menghadap tiang. Ia membenturkan pelan kepalanya ke tiang listrik, helmnya beradu dengan tiang dan dari sanalah berasal suara, ting…ting…ting…

Aku heran dengan apa yang dia lakukan, jadi aku mendekat untuk bertanya langsung. Akan tetapi setelah dua-tiga kali kupanggil, tak ada respon. Jadi aku memutuskan untuk berjalan kedepannya. Langkahku terhenti. Aku tercekat dan tiba-tiba merasa mual. Dibalik kaca helm yang pecah aku melihat wajah yang hancur dan penuh darah, dengan sebagian sisinya terkelupas, menampakkana daging dan tulang. Ia berhenti sejenak, lalu bola mata yang nyaris keluar dari ceruknya itu bergerak, melirikku. Darah mengalir menuruni leher dan dadanya. Aku menutup mulut, sambil menahan diri untuk tetap seimbang. Dengan jantung berdentum, perlahan kulangkahkan kakiku yang terasa berat. Berjalan melewati samping rumah kost, menuju halaman belakang, rumah ibu pemilik kost.

Aku mengetuk beberapa kali sebelum akhirnya pintu terbuka. Ibu kost dengan daster lusuh dan rambut berantakan berdiri di depan pintu sembari mengusap mata. Sepertinya Ia baru saja terbangun karena kedatanganku. Aku sudah nyaris menangis dengan keringat yang mengucur seperti hujan. Ia bingung menatapku. Aku berusaha menjelaskan apa yang barusan ku lihat, akan tetapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Ia dengan pengertian menyuruhku masuk dan duduk terlebih dahulu, kemudian masuk ke dapur setelah menawariku segelas air putih.

Aku mengipasi wajah dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Beberapa saat berlalu dan si ibu belum kembali. Setelah bisa bernafas normal, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Lalu mataku menangkap sesuatu yang tampak aneh, diatas bufet TV, di bagian ujungnya. Aku tercekat. Tiba-tiba saja dadaku terasa berat seperti tertindih batu. Aku mengenali benda itu… sebuah helm. Helm yang sama dengan yang dipakai wanita tadi.
                                                            *****
*kost-sweet-kost, 07 Januari 2015, 03:42 dini hari.
**sebagian  kejadian nyata, dengan 90% dramatisasi :p
***tulisan gagal--kacau--bin gaje hasil frustasi sama dosen OI. Lupakan UAS besok!!!!