Kamis, 05 Maret 2015

Gadis Penanam Bunga

Suasana malam di sebuah pekuburan umum terasa begitu senyap. Jalanan becek, hujan sore tadi masih menyisakan rintik gerimis membungkus gelap. Seorang pria turun dari mobil yang sejak tadi terparkir di luar komplek makam. Ia melihat smartphone nya dengan enggan, 54 missed calls. Lalu melemparkannya ke dalam mobil begitu saja. Ia melepas jam tangannya, melihat tanggal dan waktu sepintas, 3 Maret 2015… 21.45, lantas melemparkannya ke dalam mobil. Ia menutup pintu mobil, lalu melepas jas abu-abu yang ia pakai dan meletakkannya sembarang saja di atap mobil. Ia melangkah tertatih dengan nafas terputus-putus, telapak tangan kanannya menggenggam erat botol besar minuman keras.

Ia berjalan memasuki area pemakaman. Sesekali memperlambat langkah sembari menenggak botolnya, lalu tertawa kecil menahan pedih. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini, ketika tak satupun hal berguna bisa ia pikirkan. Beer ini setidaknya bisa menghangatkan tubuhnya ketika hawa dingin malam menusuk kulit. Minuman memabukkan ini setidaknya bisa membantunya melupakan sejenak kesakitan yang timbul dari rasa kecewa, lelah dan takut. Minuman yang sama yang ia percaya mampu meringankan sedikit rasa sakit ketika tak seorangpun bersedia berbagi luka yang ditanggungnya.

Semakin dekat dengan blok yang ia tuju, semakin baik pula deretan tanah persegi itu terlihat. Letaknya berada di kavling terdepan tak jauh dari pintu masuk pemakaman, hampir setiap makam ditumbuhi rumput hijau halus yang terpangkas rapih. Di kedua sisi jalan berdiri lampu tinggi dan terang dengan aksen hiasan dan pepohonan rindang terawat. Seminggu sekali seorang pesuruh resmi datang membersihkan dan merawat tempat ini. Jelas sekali bahwa bagian pekuburan ini memang disediakan untuk mereka yang bersedia membayar lebih. Bukan sembarang orang.

Pria itu berhenti di antara dua gundukan tanah yang berdampingan dengan dua nisan tertanggal sama, 3 Desember 2014. Disanalah Ibu dan adiknya terbaring, tepat di bawah tanah ini. Ia berjongkok, memperhatikannya dengan mata yang mulai sayu. Entah akibat tetes hujan atau efek minuman keras yang membuat matanya terasa begitu berat dan pandangannya gelap. Atau malah bukan keduanya, jangan-jangan air matalah yang membuat matanya terasa begitu panas. Entahlah, sama saja, toh pada akhirnya pilihan yang bisa ia ambil hanya menundukkan kepala dan menutupi wajahnya dengan tangan.

Gelap. Begitu matanya terpejam ingatannya menjelma menjadi bayang-bayang seperti adegan film hitam putih yang berputar acak dalam benak. Suara mesin monitor jantung dan lilitan selang yang memenuhi tubuh renta ayah, teriakan marah dan decak kecewa dari para pemegang saham dalam rapat dewan direksi tempohari menuntutnya untuk bertanggung jawab, tumpukan surat panggilan dari kantor kejaksaan, polisi dan permintaan audit pajak, bahkan wajah cantik tersenyum milik gadis yang dicintainya. Senyum yang menyakitkan untuk diingat, karena gadis itu tersenyum dalam upacara pernikahannya, ia tersenyum di pelaminan bersama pria lain. lalu terdengar suara decit rem yang diinjak sekuat tenaga diikuti jeritan histeris dua orang wanita. Hanya ia seorang diri yang bisa mendengar seluruh kebisingan itu adalah fakta yang membuatnya makin tersiksa. Maka ia mencoba memejamkan mata dan menutup kedua telinganya rapat-rapat.

Ini belum lama berlalu sejak Desember 2014, ketika seluruh cerita hidupnya yang indah menikung tajam dan seolah terhempas ke jurang keputusasaan. Terjadi sebuah kecelakaan yang menewaskan ibu dan adiknya, juga membuat ayahnya terbaring koma berbulan-bulan karena serangan jantung, beliau mungkin tak ingin bangun lagi setelah kehilangan orang-orang tercintanya. Perusahaan yang dirintis sang ayah dan sekarang menjadi tanggung jawabnya dalam keadaan krisis berat, diterpa badai rumor dan kehilangan kredibilitas di depan banyak pihak. Dalam keadaan seperti ini, cintanya pergi meninggalkannya, bahkan setelah mereka mengucap janji untuk selalu bersama meniti masa depan, dalam gelap dan terang. Gadis itu mengembalikan cincin pertunangan mereka begitu saja, sesaat setelah mendengar perusahaannya diambang kehancuran. Dan tak butuh waktu lama, hari ini gadis itu sudah tersenyum bahagia disamping pria lain, dalam gaun putih yang dulunya ia pilihkan untuk pernikahan mereka.

Malam ini, hanya satu pertanyaan saja yang selalu berputar dibenaknya, tentang apakah hidup ini? hidup, mati, takdir, cinta, janji… tentang apa semua itu?

Ia tak ingin pulang hari ini. Disaat ia bahkan tak punya kekuatan untuk berdiri tegak dan melangkah pulang. Ia mungkin akan bermalam disini. Dimanapun asal bukan rumah atau kantornya, dimanapun tak masalah asal tak ada yang bertanya ini-itu dan menuntut macam-macam darinya.

*****

Matahari bersinar. Bukan lagi hangat mentari pagi melainkan panas terik matahari siang hari. Pria itu masih tertidur di tempatnya kemarin, terduduk sembari memeluk lutut.

“Oi… oi, kau sedang apa?” Seseorang memanggil-manggil dari balik pagar tipis yang membatasi makam, antara satu blok dengan blok lainnya.

Pria itu menengadahkan kepala. Merasakan pening di kepalanya, keringat mengucur dari dahi, ia menghapusnya lalu menutup mata dengan telapak tangan, silau. Ia menoleh kearah suara yang sedari tadi ber-psstt, psstt memanggilnya. Di sana berdiri seorang gadis memegang alat penyiram tanaman dari plastik ditangannya. Ia tersenyum pada pria itu, menampakkan sepasang lesung pipit di pipinya. Rambutnya yang hitam legam sebagian tertutup slayer, menyisakan anak rambut bergoyang pelan di dahi, tertiup angin. Ia bertanya sekali lagi, “sedang apa kau disana?”

*****

Mereka berdua sekarang duduk di sebuah warung tenda dekat pemakaman sembari menyeruput es kelapa muda. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Melati, orang yang selalu datang kesana setiap hari dan dengan sukarela merawat pemakaman. Ia menanam bunga, memberi pupuk, menyirami, menyiangi dari rumput liar, pokoknya memastikan seluruh tanaman tumbuh dengan baik dan terawat. Meski agak bingung, pria itu mengangguk, balas memperkenalkan dirinya sebagai Reza, bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang saat ini tak memiliki tempat untuk pulang.

Melati tertawa mendengarnya. Dengan nada sedikit tersinggung Reza bertanya bagian mana yang lucu dari keadaannya saat ini?

“Bukankah kau bilang tak punya tempat kembali?” Ujar gadis itu ringan. Reza mengangguk pelan, tidak mengerti.

“Bukankah setiap manusia pada akhirnya akan kembali pada-Nya?”

“Bukan itu maksudku, aku hanya merasa begitu takut, fakta bahwa aku tak memiliki siapapun diwaktu-waktu sulit seperti ini membuatku takut… aku hanya… tak melihat adanya jalan keluar.”

“Dimataku, kau terlihat seperti seorang pemuda yang cerdas dan tangguh. Jadi, masalah seperti apa yang membuatmu merasa seolah tak ada jalan keluar?”

“Kau akan tau seperti apa rasanya jika semua orang yang kau cintai pergi darimu. bahkan semua yang tersisa seolah akan segera lepas juga dari genggamanmu. Kau hanya bisa berdiri di ujung jalan, menyaksikan dengan frustasi semuanya terjadi tanpa bisa melakukan apapun. Seperti itulah aku saat ini…”

Melati mengangguk. “Aku takkan bilang bahwa aku mengerti perasaanmu atau menyuruh bersabar saja, karena itu pasti menyebalkan untuk didengar, bukan?” guraunya, Reza tersenyum mengangguk, benar, mendengar nasehat-nasehat seperti itu memang terkadang menjengkelkan. Orang-orang selalu dengan mudah mengatakan hal-hal semacam itu.

“Aku akan memberitahu kau tentang sesuatu yang sangat aku yakini, yaitu janji tuhan. Tuhan ku menjanjikan bahwa susah dan senang itu datangnya satu paket, jadi jika saat ini kau dalam kesulitan, berbahagialah, karena selepas masa sulit ini akan datang kebahagiaan dari kemudahan.”

Reza mengernyitkan kening, “Apa bedanya itu dengan menyuruhku bersabar?” protesnya.

“Haha… setidaknya kan aku berimprovisasi dengan kata-kata dalam penyampaiannya!” Jawab Melati sekenanya lantas tertawa lagi.

Reza geleng-geleng kepala melihat betapa gadis disampingnya terlihat bahagia dan tak memikul beban apapun. “Apa bagimu dunia memang se-menyenangkan itu?” keluhnya, melihat melati masih tersenyum ringan.

“Tentu saja tidak, dunia memang tak pernah menyenangkan bagi siapapun, aku nya saja yang bahagia. Haha…” lagi-lagi gadis itu menjawab asal. Baiklah, tak ada gunanya mendebat gadis ini. Reza memnutuskan kembali sibuk dengan es kelapa nya, ketika langit yang semula bersih tak tersaput awan tiba-tiba mendung dalam sekejap. Hujan deras. Tenda warung itu sudah lapuk, tetes air hujan mengalir dari lubang-lubang terpal yang bolong. Tampias. Reza berusaha mencari titik yang tidak bocor, tapi Melati malah menghambur keluar. Dengan susah payah menyeret karung besar berisi pupuk dan meletakkannya dibwah tenda, lalu kembali lagi keluar mengambil peralatan “berkebun” nya yang tersisa dan mengamankan dari hujan.

Gadis itu kembali ke bawah terpal dalam keadaan basah kuyup. Ia tersenyum riang sembari menepuk nepuk pakaiannya. Hujan deras tak berlangsung lama, hanya seperti kelebatan air yang mampir saja. Begitu langit mulai terang, Melati mengajak Reza mengunjungi suatu tempat. Sisi-sisi jalanan yang mereka lalui tampak indah oleh warna-warni bunga dan pepohonan rindang, di beberapa titik pemakaman juga tumbuh rumpun bebungaan berbagai jenis, kesemuanya terawat dengan baik dan tak terganggu oleh rumput liar. Melati tersenyum senang, dengan bangga memperlihatkan “hasil kerjanya”.


“Sepertinya kau berusaha keras merawat tanaman-tanaman yang tumbuh disini. Apa anggota keluarga mu ada yang dimakamkan di sini?”

Melati mengangguk, “Ayah dan ibuku disini juga” ia menunjuk suatu sudut membentuk persegi dengan beberapa gundukan tanah di dalam area tersebut. Reza melirik komplek makam yang masih tampak jarang itu, “Mereka sudah lama meninggal…” lanjut melati. Ia memandangi gadis itu dengan heran, “Jangan tersinggung, tapi untuk apa repot-repot melakukannya? Bukankah orang yang sudah mati tak bisa melihat hasil kerja keras mu? Mereka bahkan mungkin tak ada lagi disini, hanya tulang-belulang yang nantinya juga akan habis menyatu dengan tanah.” Melati mengangguk-angguk, tapi tak segera menjawab. Reza kembali meminta maaf, takut gadis itu tersinggung karena kata-katanya.

Tapi Melati menggeleng, ia menoleh menatap pemuda itu sembari tersenyum, “Kau benar, mereka memang sudah tak ada lagi disini. Tapi… kenapa kau datang kesini? Bukankah ibu dan adikmu juga tak ada lagi disini?”

“Uhm… itu… bukankah aku sudah bilang bahwa aku sedang tak punya tempat untuk kembali?”

“Kalau itu alasannya, maka kau bisa mencari hotel atau rumah kontrakan, bukannya pemakaman.”

“Aku hanya datang sebentar karena merindukan ibu dan adikku,” Jawab Reza akhirnya, “Aku tau mereka tak disini lagi, tapi aku tak tahu lagi kemana harus pergi ketika merindukan mereka”

Gadis itu mengangguk mengerti. “Karena itulah aku melakukannya…”

“Huh? Melakukan apa?”

“Berusaha keras merawat bunga-bunga dan tanaman yang tumbuh di tempat ini. Kau benar, orang yang sudah mati tak lagi bisa menikmati keindahan taman hasil usaha ku, tapi mereka yang masih hidup bisa! Orang-orang yang datang ke pemakaman, lazimnya diliputi perasaan sedih, entah karena baru saja kehilangan seseorang dalam hidupnya, atau rindu kepada mereka yang telah meninggalkannya. Untuk mereka lah aku menanam bunga-bunga itu… aku menanamnya untuk orang-orang seperti-mu! Aku selalu berharap bunga-bunga ini menjadi penghiburan sejenak bagi siapapun yang sedang berduka.” Melati tersenyum lagi.

Reza menatap mata jernih gadis itu. Memandang dengan lekat, membuatnya tersadar seolah warna coklat terang bola mata Melati memantulkan cahaya pelangi setelah hujan. “Terimakasih! Aku tak menyadarinya sampai saat ini, tapi terimakasih karena telah mempedulikan orang-orang seperti-ku…” Ucap Reza tulus. Untuk pertama kalinya ia kembali tersenyum kepada orang lain setelah seluruh tragedi yang menghantuinya.

“Baguslah kalau begitu, mulai sekarang kau bisa belajar menghargai keindahan-keindahan kecil di sekitarmu dan mensyukurinya. Kau tak perlu khawatir, karena saat ini ibu dan adikmu juga berada di tempat yang baik, jauh lebih indah dari tempat ini. Setidaknya, sesekali jika hidupmu terasa berat, kau bisa datang kesini dan mengingatku, bahwa aku menanam bunga-bunga ini untuk mereka yang masih hidup… dengan harapan mereka menjalani hidupnya dengan indah!”

Reza tersenyum lagi, menatap wajah gadis menyenangkan itu dengan perasaan baru, setitik api kecil dalam dada nya menyala. Tentu saja semua masalah dalam hidup ini akan berakhir jika telah habis masanya. Hari mulai sore, gadis itu berpamitan, tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum berjalan menjauh dan menghilang dibalik kelokan jalan.

*****

Keesokan harinya, Reza terbangun dengan semangat pagi hari. Ia bersiap ke kantornya untuk mulai menyelesaikan satu demi satu masalah yang sedang dihadapinya. Setelah itu, Ia berencana mampir ke rumah sakit untuk menjenguk ayah, dan kembali ke pemakaman untuk menemui Melati. Ia merutuki dirinya sendiri yang sama sekali lupa meminta nomor kontak gadis itu. Ia akan melakukannya hari ini.

Matahari mulai condong ke Barat ketika Reza menyelesaikan semua yang harus dikerjakannya hari ini. Ia segera melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya dan melangkah cepat keluar dari ruang kerja, menunggu lift dengan tak sabaran, menuju basement dimana mobilnya terparkir. Sepanjang perjalanan, ia bersenandung dengan riang, sesekali bersiul sembari melirik kaca depan, merapihkan rambutnya.

Sesampainya di komplek pemakaman, ia berpapasan dengan beberapa kelompok iring-iringan kendaraan yang sepertinya baru saja menyelesaikan prosesi pemakaman. Hari mulai senja tapi pemakaman ini masih cukup ramai peziarah. Tempat pertama yang dituju Reza adalah warung tenda penjual es kelapa muda kemarin. Akan tetapi pemilik warung sedang tak ada, ia bertanya pada orang-orang disana dengan menyebutkan ciri-ciri Melati, kesemuanya menggeleng tidak tahu.

Ia melanjutkan langkah menuju blok makam ibu dan adiknya, tempat mereka pertama bertemu. Tak ada. Maka ia memutuskan menyusuri jalan yang kemarin mereka lalui, sampai ke tempat yang kemarin ditunjukkan Melati sebagai makam kedua orang tuanya. Hanya beberapa petugas perawat makam yang masih berada disana, Reza menanyai siapapun yang ditemuinya satu-persatu, bukankah Melati bilang ia kesini tiap hari untuk merawat bunga-bunganya?

“Oh, anak itu… iya, saya tau Melati. Saya sering ngobrol dengannya kalau sedang istirahat” Jawab seorang bapak diusia 40an akhir. Kulitnya hitam legam terbakar panas matahari, ditangannya terdapat gunting rumput besar. Sekali lihat saja ia bisa menebak bahwa bapak itu mungkin salah satu petugas yang bekerja merawat makam.

“Apa bapak tau dimana rumahnya?” Bapak itu menggeleng. “Kalau begitu, kapan biasanya Melati datang kesini?”

Bapak itu menggaruk pelipisnya, “Biasanya sih dia datang sore-sore seperti ini, setiap hari sepulang kuliah. Kadang sendiri, kadang berdua dengan adik lelakinya. Saya bahkan sampai hapal makam orangtua mereka. Tapi sudah beberapa lama ini mereka tak pernah datang lagi, sekitar beberapa bulan sepertinya, mungkin sedang keluar kota atau ada urusan lain…” terka nya.

Aneh, bukankah baru kemarin ia bertemu Melati? Kenapa bapak itu berkata ia sudah lama tak datang kemari?

Akhirnya ia melanjutkan langkah memasuki blok pemakaman orangtua Melati, tempat yang terlihat paling berwarna diantara komplek lainnya, karena bunga-bunga yang ditanam oleh gadis itu tumbuh subur, terutama di musim penghujan seperti sekarang ini. meskipun hanya sekilas melirik, pendapatnya kemarin benar bahwa blok ini memang masih agak kosong, hanya terdapat empat atau lima makam di dalamnya. Di bagian paling sudut, Reza melihat beberapa orang sedang sibuk menggali tanah, sepertinya akan ada jenazah yang dikuburkan lagi hari ini.

Seorang lelaki paruh baya dengan jas yang disampirkan di pundak terlihat sedang sibuk menelepon seseorang sambil membelakangi Reza. Jarak mereka cukup jauh, tapi sepertinya ia mengenali orang itu meski hanya dari belakang. Iapun maju untuk memastikan. Lelaki itu baru saja menyelesaikan pembicaraannya di telpon ketika Reza menepuk pundaknya. Benar saja, itu Om Dino, sekertaris ayahnya yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri karena telah puluhan tahun bekerja pada keluarganya.

“Oh, Kamu… Za, kirain siapa. Ngapain kamu disini? Ziarah ke makam ibu?”

“Iya, Om…” Jawab Reza sekenanya. “Tapi Om Dino kenapa disini?”

“Oh, itu… Om sedang mengurus pemakaman orang yang terlibat kecelakaan beruntun dengan ibu dan adik kamu.” Om Dino menunjuk kearah beberapa orang yang sedang menggali tanah dengan tangan kanannya yang memegang map coklat. “Dua orang pengendara sepeda itu loh, kamu ingat? Om sengaja nggak ngasih kabar, karena kamu bilang nggak mau dengar apapun tentang mereka. Lagipula Om juga mengerti, toh, kamu sudah cukup sibuk dengan urusan ayah dan trouble perusahaan akhir-akhir ini.” jelasnya. Reza mengangguk, ia memang meminta tolong sekertaris ayahnya untuk menangani semua urusan terkait kecelakaan ibu dan adiknya.

“Mereka kakak beradik. Adiknya sempat koma beberapa hari, sekarang sudah siuman tapi masih mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Kasihan, sekarang anak itu sebatang kara. Karena kakaknya yang sudah lebih dari 3 bulan koma, akhirnya nggak tertolong lagi. Anak itu meninggal pagi tadi… kasihan.” Lanjut Om Dino.

Reza mendengarnya dengan setengah hati, tapi entah kenapa kemudian ia refleks saja bertanya siapa korban meninggal dari kecelakaan yang melibatkan ibunya tersebut.

“Melati, namanya Melati… Diana…”

Degg.

Reza tersentak. Apakah memang hanya kebetulan atau…

“Kenapa Za?” Om dino tampak heran melihat raut wajah Reza berubah tegang seketika. Tapi yang ditanya tak menjawab. Benaknya sedang sibuk merangkai penjelasan tentang dua kakak beradik yang terlibat kecelakaan beberapa bulan lalu, dengan keterangan penjaga makam tadi yang mengatakan bahwa Melati dan adiknya sudah beberapa bulan ini tak datang. Reza mengurut keningnya, mencoba mencari penjelasan logis dari semua kebetulan itu. tapi kemudian ia bertanya lagi, map apa yang sedan dipegang pamannya tersebut.

“Berkas-berkas yang diperlukan untuk pemakaman, surat keterangan kematian, fotokopi kartu pengenal dan kartu keluarga, juga kronologi kecelakaan dari kepolisian, dan beberapa surat lainnya. Kenapa?”

Bukannya menjawab, Reza malah merebut map itu dari tangan pamannya. Ia membukanya dan menemukan berkas-berkas seperti yang paman dibilang. Ia membaca selintas saja kertas-kertas tersebut, sampai di halaman terakhir terdapat fotokopi kartu identitas gadis itu, Melati Nurdiana. Reza terdiam tak percaya… matanya tak lepas memandangi sosok dalam foto hitam putih di kertas tersebut. Seketika itu perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan menjalar menyesakkan dada. Ia mengenalinya, gadis itu memang Melati. Melati yang sama yang kemarin datang padanya dengan senyum tersungging di bibir. Gadis banyak bicara yang setiap hari datang ke pemakaman untuk merawat taman-taman kecil buatannya, Melati yang rela bersusah payah merawat taman itu untuk orang-orang seperti dirinya. Gadis itu benar-benar Melati, sang gadis penanam bunga…