Selasa, 22 April 2014

Lalat dan Kenari

       Minggu ini sebenarnya adalah minggu penting dan UTS smester dua adalah alasan yang cukup tepat untuk menyebutnya penting. Hari ini selasa pagi yang damai dimana posko sepi dan rasanya wasting banget kalau waktu dihabiskan buat baca fotocopy-an diktat, haha~ *mahasiswa macam apa sih ini?*

       This time gw mau nulis tentang satu impressive scene yang pernah gw liat di film ‘Soul Surfer’. Ada yang pernah lihat film ini? Yeah, FYI aja ini film lumayan jadul, adaptasi dari kisah nyata tentang seorang peselancar bernama Brittany (not sure with the spell, correct me if im wrong~) yang sudah berteman dengan papan selancar sejak kecil. Brittany sekeluarga mencintai selancar sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dibesarkan di daerah pesisir membuat garam laut seolah menyatu dengan darahnya. Ia pun tumbuh menjadi peselancar tangguh yang mengerti kapan saat paling tepat untuk menerjang ombak. Namun suatu siang ketika Brittany dan sahabatnya (entah siapa namanya—lupa) pergi berselancar untuk menjajal lautan di bagian lain pulau, sebuah insiden terjadi, seekor hiu ganas menggigit salah satu lengan Brittany hingga putus. Brittany harus beradaptasi dengan keadaan barunya tersebut, ia belajar untuk melakukan pekerjaan sehari-hari hanya dengan satu tangan. Syukurlah ketegaran gadis ini diatas rata-rata sehingga ia bisa tetap menjalani hari seperti sebelumnya. Namun ada yang berubah, dengan satu tangan, otomatis impiannya untuk menjadi peselancar professional menjadi mustahil. Perjuangan Brittany menghadapi takdir dan mencari jalan pulang menuju istana impiannya mengisi keseluruhan cerita.

       Saya tidak akan membahas film ini sampai akhir karena memang bukan itu tujuan awal saya. Mereview sampai sini saja sebenarnya sudah out of topic, tapi begitulah… watak “rawan ngawur” saya ini sepertinya memang sudah warisan. Jadi… inilah inti dari scene yang saya sebut pada muqoddimah saya tadi, here we go:


       Dalam suatu perkumpulan (entahlah acara apa) sang mentor bertanya kepada para peserta gambar apakah itu? Para peserta menjawab dengan ragu bahwa itu mungkin adalah lampu disko, atau telur ikan, atau gelembung udara merah dan banyak lagi jawaban aneh yang makin lama makin ngawur. Sang mentor tertawa lalu menampilkan gambar selanjutnya:


       Para peserta terkejut karena ternyata gambar itu melenceng jauh dari tebakan mereka. Sang mentor lalu beralih ke gambar berikutnya:


Lalu kembali bertanya gambar apakah itu? Para peserta lagi-lagi menjawab asal, nggak kalah ngawur dari sebelumnya, menebak bahwa itu mungkin usus, atau otak, namun kemudian ragu karena otak seharusnya berwarna merah muda seperti di gambar anatomy, lantas ada lagi yang dengan ‘kreatif’ menambahkan bahwa itu mungkin otak yang sudah mati dan membusuk *ewwh*. Namun sekali lagi jawaban mereka jauh dari benar karena ternyata itu adalah gambar:


       “Jadi, kalian mengerti kan bagaimana sulitnya membuat sesuatu masuk akal saat kau melihatnya terlalu dekat? Hal yang sama berlaku juga dalam kehidupan. Jika ada hal yang terlalu sulit dihadapi atau terasa tak masuk akal, maka carilah sudut pandang baru!” itu kalimat sang mentor mengenai gambar-gambar yang baru saja diperlihatkannya. Jika kita hanya menunjuk gambar pertama kemudian mengatakan bahwa itu adalah gambar mata lalat, maka kemungkinan besar orang-orang akan memvonis kita –minimal--rabun, atau malah gila? Begitu juga ketika kita menunjuk gambar ketiga dan berkata bahwa itu adalah biji kenari, nyaris pasti tak akan ada yang percaya. Kita membutuhkan sudut pandang baru untuk bisa mengerti dan percaya, bahwa kebenaran tak selalu seperti apa yang terlihat mata, mengingat indra dan akal manusia penuh dengan keterbatasan.

       Dalam pandangan saya, masih banyak hal yang bisa dikembangkan dari keempat gambar diatas. seperti misalnya, baik dan buruk suatu keinginan. Kita tentu kecewa ketika sebuah rencana yang telah kita bangun dengan penuh harapan ternyata gagal, ketika nasib buruk menghampiri, ketika apa yang kita inginkan tak pernah tercapai, ketika semua itu pada akhirnya menggiring kita pada sebuah kesimpulan bahwa hidup ini tidak adil. Kita mungkin akan mengeluh pada langit, dari 7 milyar manusia kenapa harus aku? Kenapa itu aku yang harus menerima kenyataan seperti ini? kenapa kehidupanku tak seperti mereka? Dan banyak lagi kenapa-kenapa lainnya yang bermunculan begitu saja. Kita acapkali lupa atau sengaja melupakan bahwa yang terjadi tak selalu seperti kelihatannya. Rasa marah dan kecewa membuat kita abai, bahwa melihat sesuatu terlalu dekat bisa mengaburkan pandangan dan menggiring kita pada kesimpulan yang salah. Hal yang sama berlaku dalam perkara keinginan, terlalu menginginkan sesuatu dan mendekapnya erat bisa mengaburkan objektivitas kita tentang baik dan buruk. Kita mempertanyakan keadilan Tuhan, tanpa mau mengerti bahwa keadilan langit mengambil bentuk yang berbeda-beda. Jika kita tidak mengerti bukan berarti tidak adil.

       Seperti yang kita semua ketahui, hidup di dunia nyata berbeda dengan novel yang alurnya bisa diubah sesuai keinginan penulis. Gagal, sedih, dan kecewa adalah suatu keniscayaan yang datangnya satu paket dengan kebahagiaan. Maka jika tiba saatnya semua berjalan buruk diluar kendali, ingatlah bahwa kita selalu bisa mencari sudut pandang baru dan berbaik sangka bahwa Tuhan sedang menyiapkan happy ending termanis menurut versi-Nya. J