Selasa, 18 September 2012

Haruskah Kita Marah, Kawan???

Belum lama ini dunia Islam kembali dihebohkan dengan perbuatan yang menistakan agama oleh beberapa orang tak bertanggung jawab. Adalah Innocence Of Muslims, sebuah film yang memuat banyak rekayasa sejarah menganai kehidupan Rasulullah yang kali ini menjadi pemicunya. Bukan sekali-duakali mereka melecehkan Islam melalui media-media seperti ini, dan kita (umat muslim) lagi-lagi menanggapinya dengan respon yang sama. Marah.

Bukankah selama ini sudah tak terhitung jumlahnya film, komik, karikatur, simbol, atau bahkan sekedar pernyataan bernada sinis yang berusaha menjatuhkan Islam? Tidakkah kita belajar dari kejadian-kejadian yang telah lalu, bagaimana seharusnya bersikap atas masalah seperti ini?
Padahal, apalah artinya semua olok-olok itu? Siapa sesungguhnya yang mereka hina? Islam? Rasulullah? Ataukah Allah sendiri? Tak ada. Sejatinya apa yang mereka usahakan selama ini sia-sia belaka. Karna sekalipun langit dan bumi bersekutu untuk menistakan Allah, melecehkan Rasulullah atau menjatuhkan Islam, sesungguhnya izzah dan kemuliaan agama ini tak akan berkurang walau ‘seujung kuku’. Mengapa? Karna Allah sendiri-lah yang menjaga agama ini dan meridhoinya....
Lantas kita harus bagaimana? Apa kita harus diam saja melihat semua perbuatan tak pantas mereka? Apa kita harus pura-pura tidak tau? Berlagak tidak peduli? Tentu saja tidak. Kita tentu saja wajib marah, wajib sakit hati dan tidak terima. Namun ingatlah selalu, bahwa agama yang kita anut ini telah amat sangat sempurna menata segala sisi kehidupan pemeluknya. Islam meletakkan rambu-rambu, aturan dan batasan yang mesti kita perhatikan dalam meluapkan amarah.
Islam menuntun kita untuk menjadi manusia-manusia yang elegan dan terhormat. Mengerti bahwa hidup ini adalah rangkaian hukum sebab-akibat. Memahami bahwa ketika kita hendak melakukan sesuatu, lakukanlah dengan banyak pertimbangan. Membalas olok-olok mereka dengan balik mencela, menulis ‘yang aneh-aneh’ di laman pribadi maupun menulis komentar-komentar yang tidak pantas tentang agama lain sama sekali bukan pilihan. Apalagi melakukan unjuk rasa dan semacamnya yang bisa memicu tindakan anarkis. Bahkan dalam hal ini, telah jatuh beberapa korban jiwa yang salah satunya adalah duta besar AS untuk Libya.
Apakah semua tindakan itu mengembalikan nama baik Islam? nyatanya tidak. Justru peristiwa tersebut seolah membuktikan bahwa Islam memang agama yang keras dan menakutkan, bahkan membuka peluang bagi musuh-musuh kita untuk semakin menyulut api kebencian. Lantas bagaimana seharusnya kita bersikap? Haruskah kita membuat film balasan?
Terkadang, bagi orang-orang yang faham, cara terbaik untuk membalas adalah dengan tidak membalas. Seperti halnya cara terbaik untuk menang adalah dengan bersabar. Karna orang-orang yang sabar tak pernah bisa disakiti. Fisiknya bisa, tapi jiwanya utuh! Sayangnya, hanya sedikit orang yang percaya dengan konsep ini. Kita tidak selalu harus membalas mereka, justru kita sepatutnya merasa iba, kasihan. Karna sejatinya, tanpa sadar mereka telah memperolok diri sendiri, menunjukkan kepada dunia betapa kalah dan frustasinya mereka, karna sampai detik ini... Islam masih berdiri kokoh, melindas segala fitnah dan olok-olok yang mereka tebar seperti melindas debu di jalanan.
jadi, haruskah kita marah, kawan???

Rabu, 20 Juni 2012

gaje #2


       Hai....
Senang sekali saya mengucap kata yang satu ini! Hai... hai... hai.... senang sekali rasanya berjumpa dengan anda semua pemirsa! Setelah cukup lama saya beristirahat dan nggak lagi belajar menulis. Hmm... sebenernya saya tuh sedang belajar nulis apa sih?? nggak jelas juntrungannya! Hee.
       Sekitar 4 atau 5 tahunan yang lalu saya itu dinobatkan sebagai putri pena lohh! Ya nggak jauh2 sih,, itu gelar dari kawan2 saya, karna emang saya suka sekali menulis cerita. Jadi kalau anda buka buku fisika saya dari bagian tengah kebelakang, anda akan menemukan cerpen. Begitu juga nasibnya si buku geografi, tarikh islam, apalagi si buku matematika yang memang dari akar-pangkal-ujung sampai keturunan2nya saya benci, maka jangankan menulis, melihat angka pun rasa2nya bad mood.
       Maka kawan2 saya merasa diuntungkan karena yah... dipondok itu kan novel merupakan benda terlarang. Jadi kemunculan para sastrawan amatir dengan karya abal2nya cukup menjadi selingan yang menarik. Mereka antre panjang untuk membaca hasil tulisan kawan2nya, gantian, berurutan. Tapi kebiasaan itu terhenti saat saya kelas 6 KMI. Oi... kalau saya masih saja sibuk dengan buku2 itu maka hampir dapat dipastikan saat ini saya tidak di rumah, tapi menetap di pondok untuk mengulang ujian akhir karna tidak lulus. :-D
       Jadilah saya  seperti sekarang ini. Mau menulis cerita... kaku, buntu, No idea. Karna sudah lama sekali absent dari kegiatan tulis menulis. Mau nggak mau yah... mulai dari awal lagi. Dan kali ini cara yang saya pilih untuk melemaskan tangan dan mencairkan fikiran agak berbeda, yaitu dengan menuliskan opini, mengeluarkan pendapat.
       Saya ini tipe orang yang suka berpendapat, suka beropini. Tapi yah... selaku pengamat amatiran tentunya kendala saya adalah kurangnya wawasan dan sempitnya fikiran. Itu membuat saya agak takut untuk berpendapat. Apalagi ditengah issu brain war nya para intelek itu. Perang ideologi itu sayangnya bukan isapan jempol belaka. Ia memang ada dan sedang berkembang dengan pesatnya ditengah ketidak tahuan masyrakat kita.
       Oi.. apa pula bahayanya perang ideologi itu. Kan nggak bisa meledakkan bangunan, nggak bisa membunuh orang?
       Ya memang enggak! Jangankan meledakkan atau membunuh, perang ideologi itu bahkan nggak bisa membuat kulit kita lecet walau sejengkal. Tapi diatas segalanya, perang yang satu ini sangat potensial membunuh karakter, merusak pola fikir, dan membuat kita menghambakan diri pada doktrin2 sang penguasa perang.
       Sekitar 1400 tahun silam, (kira2 saat itu saya belum lahir-hee) nabi kita khusyuk berdo’a dihadapan para sahabat. Setelah do’a pertama ia tersenyum, kemudian kembali berdo’a. Lalu untuk kedua kalinya ia tersenyum lagi, lantas kembali berdo’a. Dan anehnya... setelah do’a ketiga ini beliau menangis tersedu. Maka bingunglah para sahabat, dan salah satu diantara mereka bertanya hal apakah yang membuat rasul bersikap demikian. Maka rasul pun menjawab, bahwa kali pertama ia berdo’a kepada Allah kiranya agar tidak menghancurkan ummatnya dengan bencana2 seperti ummat yang terdahulu, kemudian Allah menjawab ya, maka tertawalah rasul. Kemudian rasul kembali berdo’a kepada Allah kiranya agar tidak menghancurkan ummatnya dengan peperangan dengan kaum musyrikin, maka Allah pun mengabulkan untuk kedua kalinya, sebab itulah rasul kembali tertawa. Namun ketiga kalinya rasul berdo’a, ia meminta kepada Allah agar ummatnya tidak dihancurkan dengan perang dan perselisihan antar sesama saudara muslimnya, namun apakah jawaban Allah?? Allah tidak memperkenankan do’a terakhir baginda nabi ini. Maka menangislah sang pembawa risalah, tak terbayangkan ummatnya harus hancur akibat perselisihan antar sesama muslim, saudara seiman. (saya tidak ingat bagaimana bunyi nash aslinya, bahkan sama sekali tidak tau bagaimana tingkat keshahihan nash ini, tapi) kita bisa lihat bukti nyata dari kebimbangan rasul 14 abad silam akan ummatnya, pada hari ini.
       Bukannkah kekhawatiran rasul belasan abad lalu itu telah terbukti? Terpampang nyata dihadapan kita pada hari ini. Bahwasanya islam yang hanif itu telah bercabang, membelah diri menjadi aliran2 yang beragam. Yang ini ikut imam A, yang itu ikut imam Z, yang ini mengaku ikut Rasulullah tapi entahlah....
       Lantas apa masalahnya? kita semua tau dan sepakat bahwa perbedaan adalah fitrah. Kalimat yang tepat, yang sayangnya hanya sebatas keluar dari tenggorokan. Masalahnya adalah golongan yang satu merasa lebih baik dari pada yang lain, masing2 merasa lebih benar dan masing2 merasa yang lain salah. (nah, biasanya orang yg berpendapat seperti saya ini dibilang sekuler, plural, liberal dan apalah itu istilah keren lainnya!! Tapi saya berani sumpah; im not!! Na’udzubillah deh kalau sampe terjerat aliran2 yg demikian) saya sama sekali tidak menyetarakan islam dengan agama2 yang dibawa oleh tangan manusia, saya tetap meyakini bahwa islam adalah satu2nya yang telah disempurnakan disisi Allah.
       Tapi saya tidak pernah sependapat dengan mereka yang bilang aliran saya yang paling benar, yang lain kafir. (lha??)
       Mengkafirkan seseorang (atau sekelompok orang) itu haram lho hukumnya! Itu murni hak Allah! Kecuali secara dzahir ia memang kafir yg nyata. Tapi kalau orang tsb masih bersyahadat, menjalankan syari’at, dan memiliki kiblat dalam syari’atnya... maka jangan dikafirkan begitu saja.
Sunni dan syi’ah.... perang
Muhammadiyah dan NU.... perang
Cewek berjilbab  panjang dan jilbab pendek.... perang
Kyai pake sarung dan yang pake celana.... perang
Dan semua kekacauan ini bermuara pada satu kesalahan... yakni sulitnya kita berintrospeksi, sulitnya kita berkaca di air jernih! Ta’ajub... alias terlalu bangga pada diri sendiri.
Kita benar, yang lain salah.... waw!!!hebat sekali orang2 seperti ini!! Ckckck... dan dunia tempat tinggal kita sekarang didominasi oleh orang2 hebat ini, baik dalam paham agamanya maupun di kehidupan sehari2nya. dan.... maka mari kita menghitung hari, detik demi detik kehancuran yang sudah di ceruk mata, jika saja tak datang seorang messiah... yang membawa panji2 kedamaian apapun harganya!

gaje #1


Heiii!
Minggu ini, lewat beberapa hari sejak tulisan iseng terakhir yang saya buat. Sekali ini adalah tentang beberapa fakta, yang saya baru tau... dan sangat disesalkan kenapa baru tau, hehehe. Padahal hal-hal seperti ini tuh sudah lumrah banget lohh, di ranah pendidikan indonesia. Sebenernya saya sudah sering sekali mendengar selentingan tentang fenomena seperti ini, tapi... nggak adil rasanya kalau hanya sami’naa wa shodaqnaa (whoaa???),alangkah baiknya kalau dilengkapi dengan nadzornaa wa ‘arafnaa!!
Yeah... saat ini saya memainkan peran sebagai guru (sebut saja guru palsu). Guru yang apa adanya (atau tepatnya: ngga’ ada apa-apanya, hehee). Saya nggak kelihatan seperti seorang santri yang sedang menjalankan misi dakwah bagaimana menjadi guru yang baik, bagaimana menjadi masyarakat yang patuh. bahkan disekolah, Saya jarang sekali membahas tentang syari’ah ini, aqidah itu, agama begini dan kepercayaan begitu. Saya lebih memilih untuk mendengar apaa yang mereka bahas, mengamati dan menyimpannya dalam kertas2 tua di rak buku saya.
Orang2 disekolah itu tidak menganggap saya orang luar yang sedang mengamati derap langkah pendidikan negeri ini, mereka lebih suka menjadikan saya bagian dari mereka, nyaman sekali membahas berbagai issu pendidikan yang memang bukan rahasia lagi (dan saya bersyukur untuk itu). Maka saya mulai berani bertanya ini itu, mulai berani menyuarakan pendapat, dan sedikit demi sedikit belajar mengerti.
Sabtu pagi sebelum berangkat mengajar, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan berita pagi. Bulan2 ini, publik sedang sibuk2nya mengurusi pelaksanaan ujian bagi siswa akhir baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Dan... seperti tahun yang sudah-sudah, berita soal kebocoran soal/ jawaban mulai memanas. Bahkan, beberapa peserta ujian tertangkap kamera sedang mencari contekan lewat gadget mereka (yang notabene kelewat keren untuk ukuran anak).
Maka bingunglah ibu guru yang amatiran ini. 1. apakah para petugas pengawas itu sudah kehabisan akal untuk merazia “perlengkapan nyontek” peserta? Atau memang membawa barang2 semacam itu sudah menjadi legal sekarang? 2. Beberapa kasus menunjukan kasus contek mencontek yang cukup seru, seperti kebocoran soal terencana yang menyebabkan seorang kepsek dibebas tugaskan. Aihh.... bukankah bundel kertas penting itu sudah diamankan sedemikian rupa, dijaga ketat oleh guru2 dan petugas pemerintah, ditempatkan di ruang rahasia dan tersembunyi dengan gembok seberat jutaan ton (ehh?? :-D). Tapi kok bisa gitu yahh?? Dan 3. Apakah generasi muda negeri ini sudah sebegitu mentoknya, sebegitu buntunya, dan sebegitu-sebegitu lainnya yang saangat memprihatinkan.
Maka pergilah saya dengan hati bingung, dan akhirnya ngantuk berat di angkot (lah, apa hubungannya? J)
Media memang hebat!! Itu nggak bisa dipungkiri. Buktinya, senada dengan fikiran saya tentang berita pagi ini para guru (yang asli) juga lagi asyik membahas berita pagi. Dengan suara berbeda, dengan cara yang berbeda juga dengan sudut pandang yang berbeda.
Oi..???
Ternyata masalah contek mencontek itu nggak serumit yang saya kira. Setidaknya nggak sampai ada agen intel tersendiri yang menyewa para pemecah sandi untuk “meminjam” kunci jawaban demi menyelamatkan kebaikan negara. (kayak yg di tv itu loooh!!). jadi yaa, tokohnya si itu-itu juga.
Jadi begini, pemirsa.... ada beberapa kemungkinan yang bisa (dan biasanya) terjadi.
Skenario #1. Seorang anak mencontek secara tradisional, misalnya dengan menulis rumus di paha, di tissue, di balik jilbab, di kertas atau di sapu tangan.
Skenario #2. Seorang anak mencontek pada temannya secara manual (dengan bahasa ii..uu..aa...dan mata yang celilang-celileng).
Skenario #3. Seorang anak mencontek pada temannya lewat gadget, yang ini sebenarnya sama saja dengan yang kedua, Cuma saja lebih cool (dikit).
Skenario #4. Seseorang yang berkepentingan berhasil mendapatkan kunci jawaban, lalu menyebarkannya kepada peserta ujian (untuk berbagai keuntungan). Tapi, perlu diwaspadai juga... penyebaran jawaban seperti apapun sebenarnya beresiko. Kan bisa saja orang tsb sengaja menyebarkan jawaban yang salah. Terkadang manusia berfikir, hidup adalah perang... dan segalanya dianggap adil dalam cinta dan peperangan (ingat 3 idiots?? Hehehe).
Skenario #4. Ini yang paling mutakhir, kejahatan terencana dan (istilah lebaynya) berskala internasional . sebuah lembaga ketika ia tumbuh dan mulai dikenal baik, maka sejatinya sudah memiliki reputasi. Nggak ada seorangpun yang ingin nama sekolahnya jelek atau menurun. Tapi pada kenyataannya, siswa datang silih berganti. Dengan ragam yang berbeda, kebiasaan berbeda, dan tentunya juga dengan kemampuan yang berbeda. Bukan mustahil kalau suatu saat misalnya... siswa yang mendaftar tak sebaik yang sebelumnya. Maka ketika diuji, ternyata peringkat sekolah menurun dan (bisa jadi) ada yang gagal. Maka ributlah para punggawa, berkali-kali mengadakan rapat dan rapat. Semua bingung, maka diambillah jalan mudahnya : menyebarkan kunci jawaban. Dan pemirsa...... yang terakhir ini benar2 gawat!!! (L)
Ohhh... bagaimanalah??
reputasi begitu penting dimata manusia zaman sekarang. Kita sibuk menempelkan label disana-sini, memberikan ukuran-ukuran. Ini baik- itu buruk, sekolah ini keren- yang itu malu-maluin, rangking satu itu pintar- nggak naik kelas itu bodoh, Hidung mancung itu cantik- jerawatan itu jelek. Padahal baik-buruk itu relatif (baik buat saya belum tentu baik buat luna maya, kan?? J).
Maka atas nama reputasi, ijinkanlah kami berbuat curang!!! Hilang sudah pemahaman indah bahwa dunia ini berputar, sama halnya dengan nasib kita.. kadang diatas kadang dibawah.
Maka apakah itu berarti rakyat negri ini bodoh?? Sebenarnya ‘tidak’. Buktinya.... Makin hari cara mencontek semakin kreatif dan keren, bukan? (-.-“)
Maka benarlah kalimat itu.... “bangsa kita terpuruk bukan karena prestasi akademisnya rendah, tapi lebih karena prestasi akhlaknya bobrok”.
(sebenarnya, saya sedang sensi sekali pemirsa!!! Habisnya heran siih, masalah ini kenapa pula jadi rumit difikiran saya, hmmmh. Jadi ada baiknya... jangan terlalu dianggap serius, tapi keadaanya memang serius  ini..Jv piiiiisss!!!!)

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.


http://media.tumblr.com/tumblr_m0gj0j4EOa1qb7t48.jpgJudul Novel : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 978 – 979 – 22 – 7913 – 9
Harga : Rp 72.000
Surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama itulah muasal seluruh cerita. Kisah manis berlatar kota Pontianak yang mengalir indah semulus aliran sungai kapuas. Tidak dipaksakan dan jauh dari kesan cengeng novel cinta yang banyak berjejalan di toko buku.
Tak muluk-muluk, novel ini berkisah tentang Borno. Seorang pemuda 22 tahun yang tinggal di sebuah gang sempit. Tidak kaya, tidak juga terlalu tampan, hanya tamatan SMA dan tinggal di sebuah kota bernama pontianak. Biasa dan ‘sepertinya’ tidak istimewa. Namun, sungguh ialah bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian kapuas.
Kisah ini bermula ketika Borno kecil yang baru berusia 12 tahun mengalami hari terburuk dalam hidupnya. Saat ketika sang bapak, nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga harus menemui ajalnya akibat tersengat ubur-ubur. Dan sebelum semuanya benar-benar berakhir, bapak Borno mengambil keputusan terhebat dalam hidupnya. beliau mendonorkan jantungnya, bahkan tanpa meminta sesen pun imbalan. Dan Borno... sempurna mewarisi kebaikan hati dan ketulusan bapaknya.
Setamat SMA, Borno tidak melanjutkan kuliyah karena masalah biaya. Maka dimulailah daftar panjang riwayat pekerjaannya; dari mulai bekerja di pabrik karet yang baunya menyengat bahkan sampai radius ratusan meter, lanjut melamar ke kantor syahbandar Pontianak untuk kemudian dirujuk ke dermaga feri sebagai penjaga palang masuk, jadi penjaga SPBU, dan 6 bulan bekerja serabutan di warung, toko kelontong, memperbaiki genteng, toilet mampet, bahkan mencari kucing hilang. Namun semuanya hanya lalu, tak ada yang bertahan. Dan itu menuntunnya kepada takdir yang akan mempertemukannya dengan cinta sejati, di atas sebuah perahu kayu berjuluk sepit. Borno akhirnya menjadi pengemudi sepit, meski itu bertentangan dengan harapan bapaknya semasa hidup.
“sungguh, meski melanggar wasiat bapak, aku berjanji akan jadi orang baik, setidaknya akuu tidak akan mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa bekerja keras-meski akhirnya hanya jadi pengemudi sepit.”
Itulah janji Borno, janji yang akan selalu ditepatinya. Janji yang tak sekalipun akan dilanggar selama hidupnya, karena tentu saja; Borno adalah bujang berhati paling lurus di sepanjang tepian kapuas. Kerja keras, keteguhan hati, dan kejujurannya akan kehidupan inilah yang kelak akan membawanya pada kebahagiaan. Karena setidaknya, keteguhan Borno ini membuktikan satu hal;
“sepanjang kau mau bekerja, kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini lebih senang menganggur dibanding bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya tidak pantas dengan ijasah yang dia punya.”
Sepit (dari kata speed) adalah perahu kayu dengan panjang lima meter, lebar satu meter, dengan tempat duduk melintang dan bermesin tempel. Salah satu alat transportasi penting di pontianak. Dan disanalah Borno menemukan takdirnya.
Adalah mei, satu-satunya gadis berbaju kurung kuning yang memilih untuk tetap duduk persis di haluan depan sambil mengembangkan payung tradisional berwarna merah, ketika seisi sepit cemas dan memilih turun dari sepit Borno dihari pertamanya mengemudikan sepit. Gadis sendu menawan, sang pemilik surat bersampul merah yang tertinggal di dasar sepit.
Mei yang merupakan gadis peranakan cina itu adalah guru di sebuah yayasan. Bersamanya, borno merasakan warna warni kehidupan cinta. Sejenis virus aneh yang kerap menjangkiti hati. membuat hati terbolak-balik, sekejap mendung dan sekejap kemudian berubah terang benderang. Kadang terasa manis tak terkira dan kadang pahitnya bisa membuat badan ikut sakit, nafas terasa berat, dan hari terasa suram. Sepi ditengah keramaian dan sebaliknya, ramai ditengah kesepian.
Kisah cinta yang apik tanpa harus memaksakan cerita kelewat sedih atau terlalu gombal. Segalanya tampak natural dan apa adanya. Sensasi cinta pertama yang lugu, membuat kita tersenyum saat membacanya. Dari mulai aksi kejar-kejaran dengan boat putih, ketika Borno harus meneguhkan hati berhari-hari sekedar untuk menanyakan nama, bahkan ketika Borno bertingkah bodoh; susah payah mengatur waktu agar bisa menempatkan sepitnya diantrian nomor tiga belas--demi obsesi bodohnya mengantar mei menyebrangi kapuas setiap hari.
“Aku tidak berani secara langsung menatapnya, aku ingin berlama-lama mencuri pandang. karena aku tidak berani menegur, apalagi mengajak berkenalan, aku ingin sekedar berada dekat-dekat dengannya. Entah perasaan seperti apa yang yang memenuhi kepala. Rasanya menyenangkan jika aku bisa melihatnya setiap hari, melihat wajahnya saat melangkah ke atas sepit, senyum manisnya saat disapa orang-orang sekitar, atau raut mukanya saat berbaris di antrean atau duduk di atas sepit.”
Tentu tak selamanya cinta pertama Borno itu berjalan mulus, ketika Mei secara sepihak membatalkan janji tanpa kata, ketika Mei tiba-tiba menghilang tanpa kabar, ketika Mei berulang kali menolak menemui Borno, bahkan ketika gadis itu menulis sepatah kalimat yang dengan telak menghanccurkan hati Borno.
“Maafkan aku abang, seharusnya aku tidak pernah menemui abang!”
Tentu saja semua itu bukan tanpa alasan. Mei terbebani perasaan bersalah dari masa silam, dan itulah yang tidak diketahui Borno. Untuk apa gadis itu meninggalkan kotanya dan memilih magang di Pontianak juga mengapa wajah cantik itu selalu terlihat sendu. Butuh waktu lama ~hampir setahun~ untuk tahu bahwa jawaban semua pertanyaan itu ada di dalam sepucuk surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama yang dahulu tertinggal di sepitnya. Angpau merah yang hingga kini masih tersimpan rapi di lemarinya.
“Hingga penjelasan itu datang, semua menjadi lebih jernih, berjanjilah, abang akan tetap mengurus bengkel itu, aku berjanji akan terus menjadi guru yang baik. Berjanjilah, abang juga akan memulai kesempatan baru, bertemu gadis baik lain misalnya, abang berhak menndapatkan yang lebih baik, bukan seseorang yang dibebani masa lalu. Berjanjilah abang, hingga hari itu tiba, baik atau buruk hasilnya,sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, Abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari, terus menjadi bujang dengan hati paling lurus  di sepanjang tepian Kapuas. Aku harus pergi, abang. Selamat  tinggal”
Dan untuk kesekian kalinya, Borno menepati janjinya. Menepati seluruh harapan gadis itu. Borno tak lantas jatuh terpuruk dilanda rindu. Ia terus mengurus bengkelnya, tetap mengemudi sepit, bahkan melanjutkan kuliyah seperti mimpinya dulu.
Ringkasan cerita ini mungkin tak cukup bahkan untuk memuat seperseratus pesan dari kisah ini. Karna sungguh novel ini adalah ladang pembelajaran hidup, bukan sekedar kisah cinta biasa yang banjir air mata. Akan ada banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari seorang Borno yang tulus dan lurus, tentang baktinya kepada ibunya, tentang pemahamannya akan hakikat cinta (Borno tak pernah bisa menggombal) dan keteguhan, tentang kerja keras dan semangat untuk bangkit, juga tentang Borno yang selalu bersabar... selalu mengalah dan menahan amarah. Kita bisa belajar dari Andi, sahabat baik Borno yang terkadang suka usil, namun ia selalu ada untuk berbagi, berkeluh kesah, seorang teman baik yang mengajarkan kita akan arti persahabatan. Juga dari Bang togar yang merupakan ketua PPSKT,  meskipun selalu saja menyebalkan dan sok berkuasa, bang togar adalah sosok pemimpin yang perhatian pada anggotanya, setia kawan, dan peduli pada sekitarnya. Selain itu, kita bisa belajar dari dokter Sarah yang periang, selalu menghadapi segalanya dengan senyuman. Juga Mei yang baik hati dan tulus mendidik anak-anak dengan sepenuh hati.
Namun diatas segalanya, kita selalu bisa memetik banyak hikmah dari kalimat-kalimat indah Pak Tua dengan “rahasia-rahasia kecilnya” yang menakjubkan;
“kau tau, orang paling bersyukur di dunia ini adalah orang yang selalu makan dengan tamunya. Sebaliknya, orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya.”
“ah, tidak ada yang lebih indah dibanding masa muda. Ketika kau bisa berlari secepat yang kau mau, bisa merasakan perasaan sedalam yang kau inginkan, tanpa takut terkena penyakit atas semua itu.”
“perasaan adalah perasaan, meski secuil. Walau setitik hitam ditengah lapangan putih luas. Dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa mengubah hari mu dalam sekejap.”
“kuberitahu kau sebuah rahasia kecil, sembilan dari sepuluh kecemasan itu muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. Nyatanya seperti itu? Boleh jadi tidak.”
“Kalian tahu, cinta itu seperti musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.”
“Cinta sejati laksana sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar karna semakin banyak anak sungai perasaan yang bertemu. Cinta sejati adalah perjalanan. Cinta sejati tak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara! Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi dan kembali menjadi ribuan anak sungai perasaan, lantas menyatu menjadi kapuas. Itu siklus yang tak pernah berhenti, begitu pula cinta.”
“Camkan Andi, bahwa cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian ingatlah baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikitpun rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi.”
“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya…. Jika berjodoh, Tuhan s­­­endiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan.”
“Kau lupa, Borno. Kalau hati kau sedang banyak pikiran, gelisah, kau selalu punya teman dekat. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan sebaliknya tambah kauabaikan. Nah, itulah tips terhebatnya. Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan.”
“Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu, menyakitkan.”
“Jangan sekali-kali kaubiarkan prasangka jelek, negatif, buruk, apalah namanya itu muncul di hati kau. Dalam urusan ini, selalulah berprasangka positif. Selalulah berharap yang terbaik.”
Dan masih banyak lagi petuah cinta ala Pak Tua yang bisa mengajarkan kita hakikat cinta dan kehidupan dari sudut pandang yang amat berbeda. Buku yang sungguh luar biasa, bukan sekedar cinta dan melulu cinta. Bukan novel fantasi menakjubkan yang membuat pembaca berdecak kagum, melainkan sepotong kisah dari gang sempit tepian kapuas yang akan membuat pembaca tersenyum lega. Tentang seorang pengemudi sepit yang menjalani hidup dengan indah.
Ada tujuh milyar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu milyar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan dunia mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan perasaannya.
Apakah  Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini sama spesialnya dengan miliaran cerita cinta lain? Sama istimewanya dengan kisah cinta kita? Nah, setelah tiba di halaman terakhir, sampaikan, sampaikan kemana-mana seberapa spesial kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka.”
(Sulistya Ningrum, Jakarta)




Minggu, 12 Februari 2012

Pelangi Setelah Hujan (part.I)

       Kusentuhkan ujung-ujung jemariku ke permukaan kaca, dingin merambat perlahan... menjalar dan menelusup melalui lubang poriku. Malam ini,, Gerimis turun membasuh kota, menghapus jejak kemarau yang berlalu nyaris setahun penuh... lebih panjang dari biasanya dan lebih panjang dari seharusnya.
       Aku menghela nafas....  menatapi jalanan yang lenggang dan senyap. Padahal malam belum lagi beranjak dari pukul 7.00, terlalu sore untuk tidur. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, rasanya panas dan perih... mungkin akibat  terlalu sering berhadapan dengan layar komputer.
       Bagiku hujan selalu menyenangkan, dari segala sisi aku melihatnya. Aroma tanah yang di guyur hujan bagiku sudah punya cukup efek relaksasi, menenangkan perasaan dan menyejukkan fikiran. Memandangi titik air yang menggantung di ujung dedaunan bagiku sudah cukup untuk mengistirahatkan mata yang lelah setelah menyelesaikan setumpuk laporan. Menjejakkan kaki diatas rerumputan yang basah, membuatku menyadari betapa tanah menumbuhkan kelembutan dengan indah.
       Rasanya,, hujan memang telah dipilihkan oleh-Nya, untuk menjadi pembasuh luka makhluknya.