Sabtu, 02 Agustus 2014

Toy Story Trilogy


       Okay, should i start now? --ehm-- *ceritanya batuk secara berkharisma*
Rasanya nggak perlu penjelasan lagi apa itu Toy Story Trilogy dan apa-apa aja isinya, karena eh karena, saya nulis postingan ini bahkan telat EMPAT tahun sejak saga ini tutup buku. Sedikit terlambat memang (banyak ding), tapi so what?? toh basically blog ini memang dibuat untuk konsumsi pribadi saya, semacam reminder moment gitu. 

       Ketertarikan terhadap trilogi ini dimulai dari HTTYD 1 yang tayang 2010 silam dan baru tayang sekuelnya bulan lalu. Apa hubungannya? karena saya sering blok walking seputar info HTTYD ini, nggak sengaja aja saya menemukan sebagian besar--kalau bukan seluruhnya-- movielovers sependapat bahwa HTTYD berkesempatan membawa pulang OSCAR jika saja tidak tayang bertepatan dengan Toy Story 3 yang memang luar biasa dan lebih pantas menerima penghargaan tertinggi sebagai Best Animated Feature di ajang bergengsi tersebut. Saya jadi mikir, ah... kalo mereka bilang 'lebih pantas' keluar sebagai winner mengalahkan HTTYD, maka paling tidak film nya nggak akan terlalu membosankan, bukan? ditambah lagi pencapaian komersialnya yang melampaui 1 Milyar dolar dan menempatkan Toy Story 3 sebagai film animasi terlaris sepanjang masa (saat itu).
       Akhirnya saya memutuskan untuk menindaklanjuti rasa penasaran saya akan trilogy ini. Sebenarnya film ini sudah sering tayang di TV, terutama edisi libur sekolah kayak sekarang, cuma aja saya nontonnya nggak pernah sampai khatam. Apalagi saya itu tipe penonton yang ngerasa nggak afdhol nonton sekuel kalau belum lihat prekuelnya, jadilah saya semalem suntuk ngubek-ngubek indowebster buat ngelengkapin koleksi toy story ini. dan untuk menebus dosa besar saya karena melewatkan trilogi ini, saya nonton maraton sampe pagi. hehe... Awalnya ketika mulai menyalakan Gom-Player, saya tidak berekspektasi tinggi dengan apa yang akan saya dapat dari film ini, secara... tokoh utamanya aja para mainan yang notabene hanyalah benda mati, itu membuat saya ragu apakah saya bakal dapet feel-nya? tapi yang saya dapatkan justru diluar dugaan. Pixar, entah bagaimana, sepertinya memang belum pernah membuat film yang mengecewakan (Cars pengecualian karena saya belum nonton :p).

       Trilogi ini dimulai dengan seri pertamanya yaitu Toy Story yang rilis pada tahun 1995 (udah masuk masehi sih, but still...) waktu itu saya bahkan belum 3 tahun dan jujur aja... belum kenal bioskop, jadi kesimpulannya ya saya nggak nonton. Film animasi yang sempat ditolak disney ini menghabiskan dana dan kru yang lebih sedikit ketimbang film blockbuster Disney tahun 1994 yaitu the lion king, sampe2 kabarnya mereka batal meminta Jim Carrey untuk mengisi suara Buzz Lightyear karena keterbatasan anggaran. Beberapa pihak juga menganggap film ini akan gagal di pasaran, sebut saja Mattel yang melarang karakter Barbie ditampilkan dalam film pertamanya (tapi setelah terbukti sukses, ia mengizinkan Barbie tampil di TS2 dan 3, fyuhh...), juga Billy Crystal yang sempat menolak tawaran mengisi suara Buzz Lightyear dan pada akhirnya mengakui penolakan tersebut sebagai kesalahan terbesar sepanjang karirnya. Entahlah, mungkin kekhawatiran itu muncul karena tema yang diangkat 'hanya' soal mainan, alasan yang sama dengan alasan saya bertahun-tahun melewatkan trilogi keren ini. Tapi nyatanya, Toy Story justru menjadi legenda dalam dunia animasi.
  

        Film pertamanya bercerita tentang Woody dan kawan2 mainannya yang ternyata hidup ketika tak ada yang melihatnya. Woody merupakan mainan kesayangan Andy (pemilik mereka) sejak TK, sampai ketika ibu Andy membelikan mainan luar angkasa keren Buzz Lightyear yang saat itu lagi booming. Woody tersingkirkan dengan kedatangan Buzz, setidaknya begitulah yang Woody pikirkan, karena ia tak sempat melihat betapa rindu Andy padanya ketika ia hilang. Suatu insiden membuat Buzz dan Woody terjebak di rumah Sid Phillips, seorang anak Psycho yang hobby menyiksa mainan, disanalah Woody dan Buzz belajar berteman. well... scene ketika Buzz melihat dirinya dalam iklan dan menyadari bahwa ia hanyalah mainan dan bukan space ranger sungguhan terasa sangat berkesan bagi saya, lebih berkesan lagi ketika Woody meyakinkan Buzz untuk menghargai diri sendiri bagaimanapun keadaan mereka, dan bahwa di seberang rumah sana ada seorang anak yang begitu mencintai mereka dan menganggap mereka yg terhebat bukan karena mereka superhero, melainkan karena mereka adalah mainannya. Buzz dan Woody mengajarkan bahwa apapun posisi kita atau serendah apapun itu menurut ukuran manusia, akan selalu ada orang-orang yang sungguh menghargai kita dan bahagia dengan keberadaan kita. Pixar dengan kerennya berhasil menciptakan karakter2 yang manusiawi dalam diri mainan2 ini, memorable... apalagi melihat Sheriff Woody yang jealousnya lucu, dengan sedikit arogansi dan sifat pencemburunya.


       Sekuelnya rilis 4 tahun kemudian yaitu pada 1999, masih dibawah arahan John Lasseter selaku sutradara. Sudah menjadi ketakutan yang lumrah dalam dunia perfilman bahwa sekuel selalu dibawah kesuksesan predesornya. Namun Toy Story 2 mampu membuktikan bahwa hal tersebut tidak berlaku di tangan team Pixar. Toy Story 2 kembali hadir dengan cerita yang manis, tentang bagaimana menentukan satu diantara dua pilihan yang sama-sama baik. Woody tidak pernah menyadari bahwa ia adalah mainan berharga dari masa lalu, laluuu banget sampai2 suatu museum di Tokyo berani membayar mahal untuk sebuah koleksi lengkap karakter dari cerita koboi entah di jaman apa. Di sana Woody bertemu dengan Jessie, cowgirl keras kepala yang trauma karena pernah dibuang pemiliknya ketika beranjak dewasa, Bullseye, seekor kuda (mirip keledai) yang manuutt banget sama Woody, dan entah siapa namanya itu boneka kakek tua jelek yang ternyata adalah tokoh antagonisnya, wkwk. Nothing last forever, apalagi mainan yang prinsipnya sekali rusak buang. Saat itu Woody yg sempat rusak harus memilih, kembali pada Andy dan teman-teman sesama Toys nya yang telah susah payah datang menjemput, atau ikut ke Museum dan dihargai sebagai karya seni, akan tetapi kehilangan Andy dan kesempatan terbaiknya untuk membahagiakan anak2? Dengan harga ia mungkin akan menghabiskan seumur hidupnya tersenyum dari balik etalase kaca tanpa pernah dicintai lagi selamanya. Dan seperti yg kita tebak... ia memilih Andy. Ia tau bahwa suatu saat nanti nasibnya akan berakhir di loteng (gudang) atau tempat sampah, Andy akan tumbuh dewasa dan berhenti memainkannya. Akan tetapi bagi woody kebahagian mendampingi Andy dan melihatnya tumbuh dewasa akan sepadan, Woody tak ingin melewatkan saat2 bersejarah itu. Ia bahkan mengajak Jessie dan Bullseye ikut. Menurut saya Woody melakukan hal yang benar, diantara dua pilihan yang sama baiknya, ia memilih satu yang lebih sejati. Bagian paling lucu di Seri kedua ini ada di credit title-nya, para Toys ini berlagak seolah mereka aktor sungguhan yang bisa salah akting juga. kocak, ngakak parah liatnya, di bagian terakhir ada si barbie yang berakting seperti guide dan bahkan sempet2nya memperingatkan para penonton bioskop untuk jangan lupa membuang sampah popcorn dan minuman pada tempatnya.

 

       Lebih satu dekade kemudian... penutup sempurna untuk petualangan para mainan ini pun rilis. Waw... Satu dekade lebih a.k.a 11 tahun!! Posisi director telah pindah ke tangan Lee Ukrich. Akan tetapi, alih-alih kualitas cerita yang menurun Toy Story 3 justru tampil lebih, dilihat dari sisi manapun. Setting yang diambil dalam Toy Story 3 pun sesuai dengan perjalanan waktu kita-kita yang hidup diluar layar. Andy saat itu sudah menginjak usia 17 tahun dan harus pergi kuliah yang mengharuskannya tinggal di asrama. Mau tak mau teman-teman masa kecil nya harus ditinggal. Andy mencintai semua mainan itu, tapi pada akhirnya hanya Woody--sahabatnya sejak TK-- yang ia bawa. Mulanya ia hendak menempatkan mainan2 itu di loteng, akan tetapi Ibu Andy yang salah mengira itu sampah meletakannya di pinggir jalan. Maka dimulailah petualangan mereka terdampar di mana-mana dan usaha para toys untuk kembali pada pemiliknya. Dari mulai daycare Sunnyside yang dikuasai beruang jahat bernama Lotso, rumah Bonnie, sampai ke tempat pembuangan akhir. Bagian yang paling menegangkan adalah saat mereka hampir mati di tempat pembakaran sampah raksasa yang mana terlihat seolah tak ada jalan keluar, helpless total. saya bahkan sempat berfikir inikah endingnya??? Namun ternyata tanpa diduga pertolongan datang dari boneka2 alien kecil pizza planet, yep... anak angkatnya mr and mrs potatohead itu lohh, haha. However melalui scene itu saya belajar satu hal tentang keberanian, bahwa kita selalu bisa memilih untuk menghadapi kehilangan dan rasa takut, atau bahkan kematian dengan keberanian dan dignity... what a good advice! Best Part? tentu saja endingnya, ketika Andy mewariskan mainan2nya pada Bonnie. Dan Woody... meskipun Andy begitu menyayanginya dan berniat membawanya ke asrama, tapi apakah ia jadi ikut? Gladly to say; Nope! Woody belajar satu hal ketika melihat ibu Andy dengan berat hati melepas kepergian putranya, Andy menenangkan dengan berkata bahwa ia akan selalu bersama ibunya. Ketika berbalik, Woody melihat foto Andy kecil bersama seluruh mainannya di dalam kardus. Andy akan membawa serta foto mereka ke asrama dan itu membuat Woody tersadar bahwa Andy takkan melupakan teman2 masa kecilnya, ia selamanya akan tetap membawa mereka... dalam kenangan. T,T. Dan sama seperti orang tua yang selalu ingin mendampingi anak2 mereka, Woody juga ingin selalu ada untuk Andy sebagai sahabat, akan tetapi ketika saatnya tiba... suka ataupun tidak, setiap anak harus melangkah maju dan menemukan kehidupan baru. Begitulah seharusnya hidup. Entah gimana jelasinnya tapi saya ngerasa scene itu menyentuh banget, semacam unconditional love yang meskipun berbalas tapi nggak tersampaikan, ah... gimana ya istilahnya? Jadi gini