Kamis, 30 Januari 2014

Acara Jalan-Jalan Kantor ke Sukabumi

            Dalam posting kali ini saya hanya ingin bercerita tentang apa yang saya kerjakan seharian. Kamis, 30 januari 2014, akhir bulan di awal tahun, saya beserta rekan kerja dari PMI Jakarta Utara mengadakan kunjungan ke pabrik pusat Pocari Sweat di Sukabumi. Bagi saya (atau kami) apapun yang bisa disebut jalan-jalan selalu memberikan keasyikan tersendiri. Selain menambah pengalaman dan refreshing gratis, hal itu juga berarti kami libur kerja (fyi, libur itu berharga banget bagi kaum kami yang memang miskin libur^^).
            Perjalanan kami tadi cukup menyenangkan, selain karna suasana hall nya yang cozy, koordinator dan pembawa acara dari pihak pabrik juga sangat ramah dan kooperatif. Setelah memberi sedikit kata sambutan, mc menunjukan video yang menjelaskan proses produksi minuman tersebut dan selayang pandang tentang sejarah induk perusahaan pocari: Otsuka group.



            Dan cerita inilah yang membuat saya memutuskan untuk menulis sedikit hal yang saya tahu mengenai awal mula pembuatan minuman yang sekarang cukup popular ini. Bermula dari usaha rumahan sebuah keluarga kecil di bidang farmasi di jepang, keluarga Otsuka merintis perlahan usaha mereka memproduksi cairan infus hingga pada tahun 1973 berdirilah sebuah pabrik di bidang farmasi yaitu Otsuka Pharmaeutical Tokusima.
            Ketika itu generasi ketiga dari pendiri Otsuka Group yaitu Akihiko Otsuka yang masih berusia 35 tahun menjabat sebagai kepala pabrik. Beliau bertekad mengembangkan sebuah produk yang nantinya akan bisa menyangga jalannya perusahaan keluarga mereka. Saat itu Roruka Harima yang merupakan penanggung jawab pengembangan minuman menawarkan membuat minuman dari cairan infus, berdasarkan pengalaman pribadinya saat harus diopname di Meksiko yang sanitasinya buruk. Saat itu Harima mengalami dehidrasi namun tidak ada air yang layak diminum, bahkan dokter memberikan soda untuk meminum obat. Ia teringat saat bertugas di ruang operasi, pernah melihat seorang dokter meminum cairan infus untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang selama operasi, dari sanalah idenya berkembang.
            Namun Akihiko tidak begitu saja menerima idenya. Tiga tahun kemudian, setelah menjabat presiden direktur ke-3 di perusahaan tersebut barulah Akihiko kembali mendiskusikan ide Harima. Ia ingin membuat minuman ringan dengan memiliki fungsi mengganti elektrolit yang hilang setelah beraktivitas, namun memiliki rasa yang menarik dan bisa diterima konsumen. Maka dimulailah penelitian tersebut yang diserahkan Harima kepada asisten mudanya Akihisa Takaici. Berkali-kali gagal dan ditolak karena rasa minumannya pahit akibat kandungan ion kalium dan magnesium yang terdapat dalam komposisi keringat. Bagaimana dengan menambahkan pemanis alami pada minuman? Hal itu dicoba Takaici namun Harima ingin minumannya memiliki kadar gula dibawah 10%.
            Percobaan itu mengalami maju-mundur, tercatat lebih dari 1000 percobaan gagal yang telah dilakukan Takaici. Sampai akhirnya Takaici menemukan bahwa rasa bawaan buah jeruk dapat menetralisir rasa pahit dalam minumannya. Itupun tidak semua jeruk bisa dipakai karena memiliki rasa yang berbeda. Setelah menemukan komposisi yang dirasa tepat, Presdir Akihiko membawa ide yang dia mulai bersama Harima dan Takaici ke rapat direksi. Direksi kompak menolak karena minuman itu rasanya aneh dan belum pernah ada di pasaran sehingga mereka menyangsikan respon konsumen nantinya.
            Namun sang presdir dengan tekad bulat dan keyakinan penuh tetap meluncurkan produknya. Maka pada 1980 minuman tersebut mulai dipasarkan dan mendapat tanggapan negative dari pengecer. Strategi beralih dengan menawarkan langsung pada konsumen melalu kios2 yang dibuka pada event2 tertentu. Namun tepat seperti prediksi peserta rapat sebelumnya, minuman tersebut ditolak konsumen karena rasanya aneh dan sama sekali tidak familiar. Apa yang dilakukan Presdir Akihiko terkait kegagalan pemasarannya? Ia mengambil sebuah langkah yang sangat berani dan mengejutkan; membagikan minumannya secara gratis dan tak terbatas ke seluruh Jepang. Wow…
            Tentunya keputusan itu bukan tanpa resiko, karena perusahaan mengalami kerugian lebih dari 400 milyar setelah membagikan lebih dari 30 juta kaleng. Namun Akihiko tidak berhenti sampai disana, pembagian minuman tersebut terus dilanjutkan. Setahun kemudian, penjualan produk tersebut tak kunjung membaik. Namun kabar baik datang ketika Jepang 1981 mengalami musim panas yang panjang, penjualan minuman tersebut melonjak hingga tiga kali lipat dengan keuntungan yang mencapai 2,6 triliyun rupiah saat itu. Penyebabnya? Minuman ini terasa menyegarkan saat berkeringat dan Cuaca panas saat itu menyebabkan orang2 mengeluarkan keringat lebih banyak dari biasanya. Ditambah lagi rasanya sudah mulai familiar dikalangan konsumen setelah puluhan juta kaleng dibagikan gratis.
            Saya menulis ini sukarela tanpa bayaran loh, bukan karna ingin promosi produk, tapi lebih karena melihat sesuatu dalam sejarah berdirinya usaha tersebut. Memulai sesuatu memang tak pernah mudah, sama seperti saya yang saat ini sedang memulai (kembali) latihan menulis tak peduli ada yang baca atau tidak. Jika saya yang hanya memulai hal kecil saja banyak menemui kendala dalam proses, apalagi memulai sesuatu yang benar-benar baru, tanpa pernah tau akan seperti apa respon pasar terhadap usaha kita. Itulah yang dialami Akihiko Otsuka dlaam merintis usahanya. Apalagi itu dimulai tanpa dukungan penuh dewan direksi.
            Apakah usaha presdir tersebut berbuah manis? Kita tahu jawabannya. Sekarang minuman tersebut dipasarkan di 16 negara termasuk Indonesia. Itu semua tak akan terjadi tanpa tekad kuat dan keyakinan penuh bahwa suatu saat usaha mereka akan berhasil. Keyakinan itulah yang tak ternilai harganya. Kesediaan untuk bangkit setelah jatuh dan tak pernah berhenti mencoba, bukan sesuatu yang dimiliki semua orang. Saya sendiri sedang berusaha keras dengan mengasah kekuatan mental demi memiliki keyakinan tersebut. Dan sejujurnya itu tak pernah mudah…
            Keteguhan Akihiko juga mengingatkan saya pada film yang pernah saya tonton sekitar 2 tahun lalu. Tentang seorang pengusaha muda Thailand yang sukses mengembangkan usaha camilan rumput laut di usia 19 tahun. Apakah jalannya mulus? Tentu tidak. (kalau jalannya halus seperti jalan tol siapa yang mau nonton? hehee). Top Ittipat bahkan harus rela putus sekolah dan hidup terpisah dari orang tuanya (yang pindah ke China setelah terbelit hutang). Ia mempertaruhkan segalanya untuk mengembangkan usaha, bahkan menghabiskan seluruh tabungan, menjual barang-barang dan jimat ayahnya demi produknya yang selalu gagal. Ia bahkan nekad membuka pabrik dalam bangunan milik keluarganya yang sudah disita bank. Namun itu semua tak pernah sia-sia. Top Secret A.K.A The Billionaire adalah film yang sangat recomended untuk ditonoton afterall.
            Saya sendiri tidak bisa memastikan apakah kisah aslinya memang tepat seperti itu atau tidak. Baik itu Akihika Otsuka ataupun Top Ittipat, saya tak bisa menjamin bahwa kisah mereka bukan hasil modifikasi dan dramatisir untuk tujuan marketing. Tapi apapun bentuknya, tentu pesan yang ingin disampaikan baik jadi tak ada ruginya mengambil pelajaran dari perjalanan mereka. Hanya saja, selalu ada sentuhan terakhir (finishing) untuk keberanian, kerja keras, pantang menyerah dan keyakinan yang kukuh, yaitu; doa dan tawakal kepada sang penentu akhir.
 Jangan pernah menyesal telah mencoba, karna sekalipun gagal, setidaknya kita tau bahwa kita selangkah lagi mendekati keberhasilan. That’s it…
Kembali ke kegiatan saya hari ini, usai acara tersebut koordinator mengajak kami berkeliling pabrik untuk melihat sendiri proses produksi minuman tersebut dan menjawab beberapa pertanyaan kami seputar proses pembuatan. Setelah itu… tentu saja ada prosesi yang wajib bin mesti kami lakukan yaitu; dokumentasi. Wkwk. Lumayan, ber-selfie2 ria buat kenang-kenagan… 





Narsis ria di bis sebelum berangkat…..




Abis selesai acara, nggak afdhol kalo nggak foto-foto…




Sesi yang paling ditunggu oleh siapapun juga; makan-makan…. Hehe. ‘Makan gratis’ it’s self udah enak, apalagi kalo ‘makan enak gratis’… lebih enak lagi pastinya! Haha… biasa lah cewek mana ada yang mau rugiiii :p

Senin, 27 Januari 2014

Menulis Kembali Kisah Ramayana (part III)

Pertempuran besar itu hanya soal waktu terjadi. Ketegangan menyelimuti kota Ayodya.
“Hentikan!!” Suara teriakan perempuan terdengar dari gerbang kota.
“Hentikan! Aku mohon.” Shinta berseru tersengal, kudanya menerobos rakyat yang menonton. Wajah-wajah tertoleh. Siapa lagi yang datang? Bukankah itu?
Bisik-bisik menjalar bagai api memakan rumput kering.
“Shinta? Kaukah itu?” Rama balas berseru demi melihat perempuan yang loncat turun dari kuda di halaman istana, lantas berusaha memeluk Lawa dan Kusa.
Demi melihatnya, Rama bergegas menurunkan busur, berlari menuruni anak tangga. Shinta, kaukah itu? Jantung Rama berdetak kencang oleh perasaan bahagia. Dia sungguh rindu pada istrinya.
“Lepaskan kami Ibu!” Sementara di halaman istana, Lawa dan Kusa berteriak, menghindari pelukan Ibunya.
“Jangan, Nak. Sungguh jangan.” Shinta berseru serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya.
“Lepaskan kami Ibu!”
“Dia Ayah kalian, Nak.”
“Tidak!” Lawa membentak, meski bentakan itu diarahkan ke depan, ke arah Rama yang sedang menuruni anak tangga, berusaha mendekat.
“Dia bukan Ayah kami.” Kusa tidak kalah membentak galak, menunjuk Rama, “Dia bukan siapa-siapa kami.”
“Jangan, Nak. Demi Ibumu, hentikan semuanya.” Shinta menangis, memohon, suaranya semakin serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya yang terus membentangkan busur.
“Kami akan membalaskan sakit hati Ibu. Kami akan menghukum seluruh Ayodya.”
“Shinta, Shinta istriku.” Rama sudah dekat dengan Shinta yang akhirnya berhasil memeluk anak-anaknya.
Langkah Rama tertahan, menatap tidak mengerti, “Siapa mereka istriku? Siapa dua anak kecil ini? Kenapa kau memeluknya?”
Shinta menangis, mendongak, menatap wajah orang yang dia cintai selama ini, wajah suaminya. Shinta tergugu. Duhai, jika situasinya berbeda, sudah sejak tadi dia loncat memeluk Rama, kerinduan itu sungguh tidak tertahan.
“Siapa mereka, Shinta?” Rama bertanya lagi, diapun begitu, jikalau situasinya berbeda, sudah sejak tadi juga dia akan memeluk Shinta, kerinduan pada istrinya sungguh tidak tertahan dua belas tahun terakhir.
“Dia anak-anakmu, Paduka Raja.” Resi Walmiki yang menjawab, loncat dari kudanya yang baru tiba.
“Anak-anakku?” Rama berseru tertahan.
Dan lebih tidak tertahan lagi seruan rakyat Ayodya. Berbisik-bisik bagai dengung lebah memenuhi langit-langit halaman istana. Dua kembar perusak ini anak Rama yang gagah perkasa? Apakah tidak salah dengar mereka? Dua anak kembar mengerikan ini anak Rama yang hebat?
“Mereka sungguh anak-anakku, Shinta?” Rama bertanya, memastikan, menatap Shinta yang masih berlinang air mata memeluk Lawa dan Kusa.
Shinta mengangguk lemah.
Tidak mungkin. Rakyat Ayodya berbisik-bisik. Bagaimana mungkin raja mereka memiliki anak kalau istrinya yang ternoda itu dibuang belasan tahun ke dalam hutan rimba. Bagaimana dia hamil? Tidak masuk akal. Itu pastilah dusta. Siapa yang tahu istri raja tetap setia selama di pembuangan?
Duhai, urusan ini, kalimat Laksmana, adik Rama, belasan tahun lalu itu selalu benar. Shinta akan berhasil memadamkan api suci, tapi Rama tidak akan pernah berhasil memadamkan resah di hatinya. Kalimat Hanoman dulu juga benar, Shinta akan berhasil melalui masa-masa pembuangannya, tapi Rama tidak akan pernah berhasil melalui resah hatinya.
Hanya sejenak saja buncah kebahagiaan di hati Rama melihat istrinya kembali. Sejenak kemudian, prasangka, kecurigaan itu mengambil alih sisanya. Rama menggeleng, tidak mungkin, tidak mungkin, mereka bukan anakku. Rakyat Ayodya bersorak, itu benar, tidak mungkin Raja yang gagah perkasa memiliki dua anak perusak.
Shinta tertunduk, nafasnya tersengal, dia menangis tersedu. Oh Ibu, lihatlah, setelah begitu banyak pengorbanan yang dia lakukan, setelah begitu besar harapan yang dia bangun, siang ini, disaksikan ribuan orang, suaminya menolak percaya atas anggukan pelannya tadi.
Apalah artinya cinta jika tanpa sebuah kepercayaan?
Semua ini tidak akan pernah berakhir. Semua ini hanya mengulur-ngulur waktu, dan dia terjebak atas harapan kosong. Sia-sia saja dia berharap Rama akan kembali mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cinta itu.
Sebelum semua orang menyadarinya, Shinta menciumi dua anak kembarnya untuk terakhir kali, berlinang air mata, lantas melepas pelukan, kemudian berlari menjauh dari Rama, dari kerumunan orang-orang, sambil berseru-seru,
“Oh Ibu, oh ibu pertiwi, dengarkan anakmu. Dengarkan anakmu.” Shinta memanggil keadilan.
Resi Walmiki yang bijak menelan ludah. Dia tahu sekali apa yang akan dilakukan Shinta. Itulah ujian terbesar yang bisa dilakukan manusia. Itulah pembuktian paling maksimal.
Kejadian itu, kejadian siang itu dibekukan oleh syair yang akan dikenang ratusan tahun kemudian.
“Oh Ibu, belahlah tanahmu, belahlah perutmu.” Shinta berlari, kakinya tertekuk sudah, tapi dia tak peduli, Shinta tersungkur, kakinya tak kuat lagi.
Sungguh dia masih cinta, tapi buat apa?
Bukankah cinta tak pernah dibungkus ketidakpercayaan.
Rama yang menyadari apa yang hendak dilakukan Shinta loncat panik. Rama terbang dengan segala pesonanya.
Shinta tersungkur, tangannya mencabik-cabik tanah, debu mengepul beterbangan, mulutnya lirih nian membaca mantera, Rama sudah amat dekat, dia tak kuasa lari lagi.
“Oh Ibu, bukalah pintumu, buktikanlah ke seluruh semesta, jika anakmu ini memang ternoda, maka tolaklah diriku yang hina, lemparkan aku kembali ke langit tanpa nyawa. Tapi jika aku memang suci, terimalah anakmu kembali, aku mohon. Aku sungguh tidak kuat lagi.”
“Jangan lakukan,” Rama berlutut di depan Shinta, sekejap, akhirnya dia paham, melihat Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, “Jangan lakukan, Shinta, demi aku.”
Tetapi kesadaran itu sudah amat terlambat, Shinta bersiap melakukan prosesi pembuktian paling tinggi.
“Ibu, bukalah pintumu….” Shinta memukul tanah seperti orang gila.
“Dengarkan aku, Shinta.” Rama yang berlutut berusaha menggapai tubuh istrinya.
“Ibu pertiwi, aku mohon.…” Shinta merangkak menjauh.
“Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.”
“Ibu, aku mohon. Aku tidak tahan lagi.”
“Kembalilah padaku, Shinta. Demi anak-anak kita.” Tangan Rama berusaha menggapai rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.
Sejengkal lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih dulu merekah. Sempurna sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak berpikir panjang langsung melompat.
Rama terkesiap, tangannya menggapai kosong. Hendak mengejar, terlambat, rekahan menganga itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat kepulan tinggi.
Hening. Hening.
Hari itu, Rama berdiri gagah, menarik busur pusakanya, hadiah Dewa Siwa. Sejuta guntur menggelegar, langit kelam, “Wahai ibu pertiwi, keluarkan Shintaku, atau kululuh lantakkan tubuhmu.”
Alam mencicit. Busur itu menyebar aroma kedahsyatan tiada tara. Bukankah busur itu bisa membelah bumi bagai tangan orang dewasa merekahkan sebutir jeruk matang. Hari itu, Rama menarik busur pusakanya. Bersiap menukar seluruh kesedihan, penyesalannya dengan binasanya dunia.
Sayangnya, Rama tidak pernah tahu, sebagaimana busur Dewa Brahma yang menyimpan rahasia, busur Dewa Siwa juga menyimpan rahasia. Kecil saja, busur itu sejatinya milik Shinta, dan hanya bisa ditarik oleh orang yang diinginkan Shinta. Itulah kenapa dulu Rama memenangkan sayembara itu. Karena Shinta mencintainya, dan menginginkannya menjadi suaminya. Dengan busur itulah Rama mampu mengalahkan Rahwana, membuat kerajaan Kosala disegani seluruh daratan India, karena Shinta menginginkannya.
Shinta telah ditelan bumi. Tidak ada lagi yang merestui busur itu, tarikan Rama atas busur mengendur, dan dengan wajah bingung tidak mengerti, bahkan sekarang busur itu sama sekali tidak bisa diangkat olehnya, jatuh berdebam di tanah, membuat debu berterbangan. Rama ikut jatuh terduduk, mengais-ngais tempat rekahan yang baru saja menelan tubuh istrinya. Rama berseru-seru, memanggil, memohon. Dia sungguh menyesal. Dia sungguh ingin minta maaf. Tetapi semua sudah terlambat. Kejadian siang itu akan dikenang banyak orang.
Beberapa minggu kemudian, Rama meninggalkan tahta Ayodya, dia memutuskan menyusul adiknya Laksmana menjadi pertapa. Lawa dan Kusa yang menyaksikan kalau Ibunya tetap mencintai Rama hingga detik terakhir, berhasil dibujuk Resi Walmiki kembali ke padepokan. Mereka tetap membenci Ayahnya, tapi mereka menghentikan berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada tanding. Sementara rakyat Ayodya? Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk bisik-bisik kotor itu.
***
*dialog inti dikutip dari novel “sepotong hati yang baru”
**versi asli Ramayana tidak seperti ini
***
Bagaimana mungkin semua kisah bahagia itu berakhir menyedihkan? Entahlah. Tapi satu hal, cinta yang besar tanpa disertai komitmen dan kepercayaan hanya akan menelan diri sendiri. Kepercayaan adalah pondasi dasar yang membuat cinta tetap berdiri. lantas apakah perasaan Rama terhadap Shinta bukan cinta? Itu cinta, itu sungguh cinta. Tapi cinta Rama seumpama meja yang kehilangan tiga dari empat kakinya, hanya soal waktu meja tersebut akan roboh.
Sejak awal Rama memang tak pernah harus menuruti keinginan rakyatnya. Semua keputusannya menguji Shinta itu semata-mata untuk menutup resah hatinya. Hanya untuk memadamkan kecurigaannya. Namun seperti kata Laksmana dan Hanoman, ujian apapun akan bisa Shinta lewati, tapi selamanya, semua itu tak pernah akan memadamkan gundah di hati Rama.
Tabiat bisik-bisik kotor rakyat Ayodia memang buruk, tapi sejatinya Rama sendirilah yang menentukan kepada siapa ia mendengar. Rama bisa memutuskan apakah ia akan menggenggam tangan Shinta dan melaluinya bersama, atau menutup mata dan membiarkan istrinya menanggung semua itu seorang diri.
 Berbilang tahun menghabiskan waktu bersama Shinta, tidakkah itu membuat mereka saling mengenal? Tidak. Saya percaya Rama tau betul istrinya tak berkhianat, tapi jiwanya yang ringkih membuat Rama bimbang. Ia takut menjadi bahan cemoohan rakyatnya, ia tak berani tampil apa adanya dan membela apa yang menjadi miliknya. Ia sendiri yang secara sadar membiarkan keraguan itu merasuk dan menghancurkan sendi-sendi perasaannya. Sia-sia Shinta menunggu. Pengorbanan dan penantian panjang itu telah mencapai batasnya. Siang itu Shinta menyadari tak ada gunanya memperjuangkan cinta seorang diri, dan memilih mengakhiri segalanya. Menyisakan Rama dengan penyesalan yang tak akan pernah terbayar. Selamanya.

Mungkin kisah ini tak pernah benar-benar terjadi. Tak seorangpun bisa membuktikannya. Tapi kita bisa belajar satu hal, bahwa kepercayaan adalah syarat mutlak terjaganya sebuah cinta. Tanpanya… cinta hanya omong kosong belaka. Sekali kita memutuskan untuk saling percaya, jangan biarkan siapapun masuk dan membuatnya keruh. Pun sama, ketika kita menggenggam kepercayaan dari orang lain, jangan sekali-kali merusaknya barang sejengkal. Karna kepercayaan bukanlah hadiah yang jatuh dari langit begitu saja. Ia adalah sesuatu yang dibangun setapak demi setapak melalui proses panjang sebuah hubungan.

Menulis Kembali Kisah Ramayana (part II)

***
Kalimat lain Laksmana juga benar, adik Rama yang tidak tahan dengan situasi istana, dan akhirnya memutuskan pergi menjadi pertapa itu selalu bijak menilai sesuatu, Shinta berhasil melalui ujian api suci, tapi itu tidak pernah memadamkan resah di hati orang-orang yang tidak mau percaya.
Hanya berbilang bulan sejak prosesi api suci, bisik-bisik kembali melanda seluruh Ayodya. Kabar burung berhembus bersama angin musim kemarau. Dan bagai api yang membakar sekam, cepat sekali menjalar, menghanguskan apa saja. Orang-orang berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong, mereka ditipu mentah-mentah. Shinta menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya dari kerajaan Alengka untuk melewati api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana, bertimbun kesaktiannya, apa susahnya sebelum dia berhasil dikalahkan Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada Shinta untuk mengatasi hal ini.
Hanya berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta kembali hidup rukun, saat gelombang kedua kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya. Cepat dan merusak sekali akibatnya. Suasana istana Ayodya kembali tegang.
“Kau tidak akan melakukannya, Paduka Rama.” Hanoman, manusia kera, bangsa Rawana, kali ini yang bijak menasehati.
“Tapi bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota hingga desa, di setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu. Bagaimana aku meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak percaya dengan Ratunya? Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu kita semua? Siapa?”
Hanoman menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak percaya, “Astaga, Paduka Rama, sungguh tidak ada yang terjadi di taman Asoka. Bukankah kau sendiri yang menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka selama pembuatan jembatan itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu adalah perempuan terhormat, dia tidak akan berkhianat walau di pikiran sekalipun. Akulah saksinya.”
 Rama menggeleng.
“Paduka Rama tidak percaya padaku?”
“Aku tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini, Pamanda.” Rama menjawab pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.
Ruangan singgasana lengang. Senja merah membungkus langit Ayodya, urusan itu ternyata masih berbuntut panjang.
Keputusan kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari sekadar melewati api suci. Orang ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta yang telah menguasai sihir gelap pasti mampu melewatinya. Lantas dia harus diuji dengan apa? Mudah, usir saja dia dari Ayodya.
“Kau telah kehilangan akal sehat, Paduka Rama.” Hanoman berseru, kepalanya menggeleng-geleng, ekornya mengibas-ngibas, sungguh dia ingin mengusir kalimat yang baru saja dia dengar dari mulut Rama, “Kau, kau tidak akan melakukannya, bukan? Itu, itu berlebihan.”
Justeru sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala Rama, entah alasan apa yang membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama sudah bulat. Duhai, kemanakah cinta mereka selama ini? Empat belas tahun Shinta menemani Rama terusir dari Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan Shinta tidak sekalipun lalai membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka, berharap suami tercintanya tiba, merebutnya kembali.
Shinta diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh Rama, di hadapan rakyat banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya sungguh bijaksana, bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan terbuang dari istana. Lihat, ini sungguh mengharukan.
Hanoman tertunduk dalam, terpekur menatap lantai.
“Apakah kau masih mencintai Shinta, Paduka Rama?” Bertanya pelan.
“Tentu saja, Pamanda. Tentu saja.” Rama menjawab dengan intonasi tersinggung, “Aku mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta akan mampu melewati masa pembuangannya.”
Hanoman menggeleng sedih, “Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka, tapi Padukalah yang membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam hati. Camkan ini, Paduka, esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa terbuangnya, tapi Paduka tidak akan pernah mampu melewati resah itu.”
Hanoman melangkah perlahan, meninggalkan gegap gempita halaman Istana. Punggungnya hilang dibalik ribuan rakyat yang mengelu-elukan keputusan rajanya.
Bagaimana Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan sendiri oleh suaminya? Shinta mengangguk, kali ini dia memang tidak kuasa menahan kesedihan hati, matanya berkaca-kaca, tapi dia mengangguk patuh. Shinta tidak sedih karena keputusan itu, dia sedikitpun tidak pernah meragukan cinta Rama. Shinta sedih karena dia tidak kunjung mampu meyakinkan rakyat Ayodya, Shinta sedih harus berpisah dengan suaminya tercinta.
“Jangan cemaskan aku, Kakanda.” Shinta berbisik lemah, “Aku akan baik-baik saja. Masa pembuangan ini tidak akan lama, apalah arti sepuluh tahun demi membuktikan cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, Kakanda. Sedikit pun jangan terbetik perasaan itu.”
Senja itu, saat gelap mulai menghampiri ibukota Ayodya, prosesi pengusiran Shinta dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya, tidak ada yang boleh membantunya. Rakyat bersorak sorai memenuhi halaman istana, berduyun-duyun puas ingin menonton.
Resi-resi istana membacakan kidung kesedihan. Shinta melangkah menuruni anak tangga, mengenakan pakaian putih, selendang putih, semerbak wangi menyergap hidung-hidung. Tidak, oh Ibu, aku tidak akan menangis. Anakmu tidak akan menangis, wahai Dewi Laksmi. Shinta meremas jemarinya, menatap sekitar yang mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dari suaminya, aku akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku kepada suamiku.
 Kidung kesedihan resi-resi istana mengambang di langit-langit halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu. Senja itu, disaksikan ribuan rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan mata di kursi singgasana, sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana, meninggalkan gerbang ibukota Ayodya, menuju barisan rapat pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani ujian sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorang pun sempat tahu, bahkan Rama, bahwa Shinta sedang mengandung anak mereka.
Gelap, hutan gelap menyambut langkah kaki Shinta. Lolongan binatang buas terdengar di kejauhan. Dengung suara serangga, desis binatang melata, menyeruak malam kelam. Udara terasa lembab. Gelap, berkali-kali kaki Shinta tersangkut tunggul dan akar, jatuh berdebam. Pakaiannya bergelimang lumpur hutan, tubuhnya kotor, padahal dia baru beberapa jam saja menjalani hukuman tersebut.
Kemana dia harus pergi sekarang?
Gentar Shinta menatap sekitar. Satu dua larik cahaya hanyalah datang dari mata binatang hutan, menyala terang di tengah gelap. Entah itu binatang berbahaya atau tidak. Ratusan nyamuk membungkus kepala, juga binatang kecil yang melata di tanah, tubuhnya menjadi sasaran empuk.
Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Berkali-kali Shinta mendesiskan mantra itu, kalimat sama yang dulu dia ucapkan saat menemani Rama terusir empat belas tahun, juga saat di taman Asoka. Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Shinta menyeka mata. Dia sudah berhenti menangis sejak tadi, dia menyeka mata karena sedang memastikan mahkluk apa yang terlihat mengerikan dan telah menghadangnya di depan.
Itu seekor beruang raksasa.
Mengaum merobek malam.
Shinta berseru pias, bergegas balik kanan, terseok-seok berusaha melarikan diri.
Beruang itu mengejarnya, membuat rebah jimpah semak belukar, pohon-pohon kecil patah. Shinta semakin panik, bajunya robek di sana sini tersangkut ranting. Tidak, dia tidak akan berakhir malam ini, masa ujiannya masih panjang, dia harus bisa menyelamatkan diri.
Beruang itu semakin dekat, dengus nafasnya terdengar menakutkan, air liurnya terpercik kemana-mana, dan jarinya dengan kuku-kuku yang tajam mencakar kesana kemari, buas mengejar tubuh ringkih Shinta yang justeru kembali tersungkur, kakinya tersangkut akar lagi, dan kali ini Shinta tidak bisa berdiri lagi, nafasnya tersengal hampir habis, Shinta terdesak sudah, menoleh, menatap jerih beruang raksasa yang siap menerkam, merobek-robek tubuhnya.
Persis sepersekian detik kuku-kuku itu menyentuh wajahnya, dari balik pepohonan yang gelap, melesat belasan panah. Cepat sekali kejadian itu, dan sebelum Shinta sempat membuka matanya yang terpejam ketakutan, bersiap menjemput ajal, beruang raksasa itu telah tumbang.
Adalah Resi Walmiki yang menyelamatkannya. Seorang Resi paling arif dan bijak di jaman itu. Resi inilah yang kelak menuliskan syair kisah-kisah Ramayana. Malam itu, bersama belasan murid padepokannya, mereka sedang melintas pulang dari perjalanan jauh, tidak sengaja berpapasan kejadian mengerikan, seorang perempuan siap diterkam seekor beruang.
Tubuh terkulai Shinta dibawa ke padepokan Resi Walmiki. Itu sebuah perkampungan tertutup, jauh di dalam hutan rimba. Ada belasan rumah dari kayu yang berdiri di dekat air terjun besar. Sawah subur mengitari perkampungan, lembah hijau yang indah. Sungai mengalir indah dipenuhi ikan-ikan. Resi Walmiki adalah pertapa yang memiliki kemampuan melihat watak seseorang hanya dengan melihat wajahnya, maka demi melihat wajah penuh kesedihan Shinta, yang barut oleh luka, malam itu dengan bijak dia memutuskan menampungnya tanpa bertanya panjang lebar. Ada banyak keluarga yang tinggal di padepokan itu, anak-anak remaja, pria dewasa, mereka berseru senang melihat kedatangan penduduk baru.
Tidak ada penghuni padepokan yang tahu siapa sebenarnya Shinta, kecuali Resi Walmiki. Mereka adalah murid-murid sederhana yang belajar tentang kebijaksanaan hidup, bercocok tanam, dan sedikit kemampuan memanah untuk bertahan dari binatang buas. Dengan segera Shinta berusaha menyesuaikan diri di perkampungan itu.
Apakah nasib Shinta lebih baik? entahlah, boleh jadi diterkam oleh beruang akan lebih baik baginya. Lihatlah, meski sekarang dia aman secara fisik tinggal di perkampungan itu, tapi hatinya terus terluka. Setiap pagi Shinta hanya duduk termenung menatap air terjun menimpa bebatuan menyanyikan lagu kerinduan. Shinta sedang mengingat wajah suaminya, wajah pengembara yang salah masuk bangunan saat hari sayembara. Wajah yang begitu riang saat berhasil menarik busur Dewa Siwa.
Apakah nasib Shinta lebih baik? entahlah. Malam-malam Shinta sering menatap langit penuh bintang. Duhai, bertanya dalam hati sedang apakah suaminya saat ini? Apakah Rama mulai merindukan dirinya? Seperti dia yang setiap hela nafas menyebut nama suaminya? Aku akan baik-baik saja, Kakanda. Aku akan mampu melewati masa-masa pengusiran ini, Shinta berbisik, lantas berharap angin lembah membawa kalimatnya tiba di ibukota Ayodya yang ratusan kilometer jauhnya.
Hari demi hari berlalu, bahagia atau tidak, siklus waktu tetap berputar. Perut Shinta semakin membesar, penduduk padepokan itu diliputi kegembiraan mendengar kabar penghuni baru mereka akan segera melahirkan. Seorang ibu setengah baya membantu Shinta melahirkan, dua orang anak kembar, laki-laki, tampan seperti Ayahnya—yang sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun jauh di tengah hutan rimba. Shinta memberi nama kedua anak kembarnya: Lawa dan Kusa. Dia dengan air mata berlinang menciumi dua bayi yang lahir di tanah pembuangan itu. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Ibumu dan kalian berdua akan kuat, Nak.
Hari demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu terus berputar. Meski masih sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air terjun, dengan hadirnya si kembar, suasana hati Shinta jauh lebih baik. Dia punya kesibukan. Dan tanpa terasa, bagai sebutir batu jatuh, waktu berlalu amat cepat, dua anak kembar itu tumbuh sehat. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tidak pernah Resi Walmiki memiliki murid sepintar mereka berdua, menguasai syair-syair panjang kebijaksanaan orang dewasa.
Lawa dan Kusa juga tumbuh menjadi ksatria yang baik. Sekecil itu, mereka adalah pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi Walmiki menghadiahkan busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata mematikan dibanding busur Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan rahasia tersendiri.
Apakah keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh membanggakan?
Sebaliknya, Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa sepuluh tahun pengusiran itu hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan, apakah suaminya masih ingat istrinya yang terusir di hutan rimba? Apakah suaminya masih merindukannya? Shinta menyeka ujung mata, dia tidak akan menangis, sungguh aku tidak akan menangis, oh Ibu, itu janjinya dulu.
Tetapi saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah, suaminya Rama ternyata tidak kunjung menjemputnya. Duhai, amat menyedihkan melihat Shinta berdiri termangu sepanjang hari, menatap pintu gerbang padepokan, berharap rombongan pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput. Satu derap suara langkah kaki kuda milik penghuni perkampungan pun sudah membuat Shinta terlonjak, apakah itu? Apakah itu? Satu suara desir orang datang sudah membuat Shinta berseru tertahan, apakah itu? Apakah itu Rama yang menjemputnya.
Malang sekali nasib Shinta, jangankan rombongan yang akan menjemput, datang menyibak pepohonan rapat yang mengelilingi perkampungan, kabar baik secuil pun tidak datang dari ibukota Ayodya. Tidak ada.
“Tidurlah, anakku.” Resi Walmiki berkata takjim, “Ini sudah lewat tengah malam, tidak baik sendirian di anak tangga.”
Shinta menggeleng kuat-kuat. Tidak, dia akan berdiri di sini hingga suaminya tiba. Dia tidak mau sedang tertidur saat Rama datang menjemputnya. Sama persis saat di taman Asoka dulu, dia tidak mau sedetikpun lalai mengingat Rama. Dia harus terjaga, lantas tersenyum riang menyambut suaminya.
“Tidak akan ada yang datang malam ini, anakku.” Resi Walmiki mendesah pelan, menghela nafas panjang penuh kesedihan, “Suamimu tidak akan datang menjemput.”
Tidak. Itu sungguh tidak benar. Shinta menjerit dalam hati. Menolak untuk percaya. Mereka sepasang kekasih abadi, dia akan selalu mencintai suaminya, dan Rama akan selalu mencintainya. Resi Walmiki berdusta.
Resi Walmiki menghela nafas panjang lagi. Menatap langit yang dipenuhi bintang gemintang. Baiklah, dia mengalah, membiarkan Shinta terus menunggu di anak tangga, menatap kegelapan gerbang perkampungan. Rama tidak akan pernah menjemput istrinya, Resi Walmiki tahu hal itu, karena beberapa bulan lalu, dia sendiri yang diam-diam datang ke istana Ayodya, menyamar seperti resi kebanyakan, menatap wajah Rama. Hanya butuh sekejap saling bersitatap, dia segera tahu, Paduka Raja yang gagah perkasa itu, amat ringkih hatinya. Paduka Raja yang berhasil mengalahkan Rahwana, raja raksasa, itu, amat lapuk hatinya. Apakah Rama masih mencintai Shinta? Tentu saja. Cinta itu sama besarnya seperti saat mereka pertama kali bertemu dulu. Tetapi cinta tanpa disertai kepercayaan, maka ibarat meja kehilangan tiga dari empat kaki-kakinya, runtuh menyakitkan.
Sepuluh tahun berlalu, Rama tidak pernah kunjung berhasil memadamkan api kecurigaan, prasangka buruk pada istrinya sendiri, dan itu semakin rusak oleh mudahnya dia percaya bisik-bisik kotor orang di sekitarnya. Apakah Rama tahu ini hari penghabisan masa pembuangan Shinta? Dia bahkan setiap saat menghitung hari, tidak sabaran. Apakah Rama masih rindu kepada istrinya? Dia bahkan setiap saat menyebut nama istrinya. Tetapi resah, curiga, menghapus itu semua. Sia-sia Shinta menunggu suaminya datang, bagai menunggu nasi tanak menjadi matang tanpa api di bawah periuknya.
Satu hari berlalu. Satu minggu. Satu bulan, bahkan sekarang satu tahun lebih, Shinta mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya kurus kering, dia menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok oleh kesedihan. Kecantikan itu masih banyak tersisa, tapi pengharapan yang tak kunjung usai menghabisi banyak hal.
Penghuni padepokan juga ikut sedih menyaksikan Shinta yang terus menunggu. Dua anak kembarnya yang setahun terakhir terus bertanya-tanya kenapa, ada apa gerangan Ibunya terlihat sedih berkepanjangan, juga ikut sedih. Dan kapiran urusan, persis usia mereka menginjak dua belas tahun, Lawa dan Kusa menemukan catatan milik Resi Walmiki, syair tentang Rama dan Shinta, kisah awal Ramayana.
Dua anak kembar itu tahu.
Mereka terpukul. Celakanya, tak seorangpun tahu rahasia besar yang paling mengerikan dari busur Dewa Brahma milik si kembar adalah: kebencian. Busur itu akan berlipat-lipat kali menjadi lebih hebat saat dipegang oleh orang yang memiliki alasan kebencian yang sah, berhak, dan direstui terbalaskan.
Apalagi yang mereka miliki sekarang selain kebencian yang menggunung? Mereka tahu, Ibu mereka dibuang sepuluh tahun oleh Ayahnya sendiri hanya karena prasangka. Tidak cukupkah semua pengorbanan Ibunya selama ini? Tidak cukupkah ujian api suci yang bahkan bisa membakar seorang dewa pendusta? Sekarang, saat masa pembuangan itu telah berlalu, tidak tergerakkah hati Ayahnya datang menjemput?
Lawa dan Kusa menggenggam tangan satu sama lain. Lawa dan Kusa sambil menyeka air mata, bersumpah membalas perlakuan Ayahnya terhadap Ibu mereka. Dua anak itu, baru dua belas tahun, tapi mereka mewarisi darah ksatria terbaik jaman itu, darah Ayah yang amat mereka benci. Dan mereka memiliki busur Dewa Brahma, yang walaupun diciptakan oleh dewa penjaga ketertiban, berubah seratus delapan puluh derajat merusaknya saat digunakan dengan kebencian.
Hari itu juga, bagai angin puting beliung Lawa dan Kusa berangkat meninggalkan padepokan tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka menyerbu satu demi satu kota kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan kerajaan Kosala bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah kue besar. Benteng pertahanan kerajaan Kosala berjatuhan, keributan besar terdengar hingga ibukota Ayodya. Dua anak kembar itu mengamuk. Tidak ada yang menyangka kerusakan sebesar itu bisa dilakukan oleh mereka.
Demi mendengar terbetik kabar peperangan besar di perbatasan kerajaan, tanpa tahu siapa si kembar itu, Rama memutuskan mengirim pasukan besar dipimpin Hanoman. Sia-sia, Lawa dan Kusa bukan tandingan Hanoman. Mereka berdua melepas satu anak panah yang seketika terpecah belah menjadi jutaan anak panah, bagai hujan deras turun dari langit menerpa pasukan Hanoman, tidak terbayangkan, panglima perang bangsa Rawana dikalahkan begitu mudah oleh dua anak berusia dua belas tahun.
Rama berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang didengarnya. Dia memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala berkumpul di ibukota Ayodya, bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.
Kecamuk besar kerajaan Kosala akhirnya tiba di padepokan yang tertutup dari kabar luar. Shinta yang bahkan tidak menyadari dua anaknya pergi, masih berkutat dengan kesedihan menunggu suaminya, berseru panik saat Resi Walmiki membawa kabar buruk itu. Oh Ibu, anakku, anak-anakku Lawa dan Kusa, apa yang akan mereka lakukan? Kerusakan apa yang telah mereka perbuat? Seberapa besar kebencian itu?
Shinta menaiki seekor kuda, ditemani oleh Resi Walmiki, mereka pergi menyusul ke ibukota, mereka harus mencegah pertempuran besar kedua sepanjang sejarah daratan India sejak duel melawan Rahwana itu terjadi. Shinta menggebah kudanya agar bergerak lebih kencang, dia tidak boleh datang terlambat.
Sementara di halaman istana, ratusan ribuan prajurit Ayodya berbaris menunggu perintah. Raja mereka yang gagah perkasa, Rama, berdiri di singgasana, busur Dewa Siwa terpasang di punggung. Ketakutan mencekam seluruh Ayodya. Penduduk gemetar, kabar tentang kehebatan dua anak itu membuat cemas, meskipun itu tidak mengurungkan mereka pergi ke halaman istana, berduyun-duyun hendak menonton pertempuran—tabiat lama orang-orang Ayodya, ingin tahu urusan apapun.
Matahari tiba di puncaknya saat Lawa dan Kusa memasuki gerbang kota Ayodya. Nafas prajurit dan rakyat jelata tertahan. Lawa dan Kusa melangkah menyibak pasukan, debu mengepul dari bawah kaki mereka. Busur hadiah Dewa Brahma terpentang kencang-kencang dengan anak panah mengacung ke depan. Aura mengerikan keluar dari wajah mereka.
Bagaimana mungkin? Dua anak kembar ini? Masih kecil sekali, bahkan seperti anak-anak yang bermain di sekitar rumah. Siapa mereka sesungguhnya? Dan yang membuat helaan nafas prajurit dan penduduk Ayodya semakin tertahan, Dua anak kembar itu datang sambil menyanyikan lagu itu, lagu prosesi ujian milik Ibunya:
“Dusta takkan bercampur dengan jujur
 Hina takkan bercampur dengan mulia
 Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
 Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
 Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
 Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”
Duhai, siapakah dua anak kembar ini? Apa yang mereka inginkan? Dendam kesumat apa yang hendak mereka balaskan ke seluruh Ayodya? Rakyat bersitatap satu sama lain, perasaan takut tetap dikalahkan oleh tabiat bisik-bisik ingin tahu mereka.
           Rama berdiri dari singgasananya. Menyiapkan busur dan anak panah miliknya. Pertempuran besar ini tidak bisa dielakkan, musuh tidak memberikan kesempatan negosiasi, dua anak kecil di halaman istana justeru datang dengan senjata teracung sempurna.

Minggu, 26 Januari 2014

Daun Keladi

Siang tadi aku berjalan di sepanjang pematang sawah
Membiarkan kaki ini terus melangkah
Dengan kepala tertunduk menatap tanah
Jangan kau tanya kemana hendak melangkah,
Karena entahlah...
Lalu di penghujung jalan setapak yang kulalui
Aku melihat serumpun keladi tumbuh diatas lumpur basah
Di atas daunnya tergenang air, sisa hujan semalam ini
Yang jika angin berhembus, maka daun itupun goyah
Oleng ke kanan dan ke kiri
Kemudian genangan airnya rebah ke tanah
Kau tau tuhan... aku sungguh malu mengaku
Bahwa aku melihat diriku seperti daun keladi itu
Yang rapuh dan limbung menahan apa yang kau bebankan di pundakku
Dan air di atasnya seumpama kecintaanku padamu
Yang begitu kecil dan tak ada apa-apanya bagimu
Aku hanya seumpama daun keladi dengan setitik air diatasnya
Yang jika kau hembuskan sedikit angin cobaan, akan begitu mudah patah
Dan genangan air cinta padamu itupun segera tumpah,
Luruh oleh keluh kesah
Tuhanku....
sungguh tak pantas aku mengetuk pintumu yang suci
Hanya untuk meminta ini dan itu
Lalu kembali esok dan esoknya lagi
Juga untuk meminta ini dan itu
Aku bahkan sering lupa berterimakasih padamu
Bahwa hari ini begitu indah dan damai,
Hanya karena sibuk meminta padamu
Hari esok yang lebih indah dan lebih indah lagi.
                                                                                                      Jakarta, 02 November 2012

Menulis Kembali Kisah Ramayana (Part I)

 Ramayana.
Apa yang terbayang di benak kita ketika mendengar kisah Ramayana? Cerita romantis yang epik? Kisah melegenda dari daratan India yang berakhir dengan keduanya hidup happily ever after? Kisah heroik Pangeran Rama dengan busur pusakanya merebut kembali Shinta dari tangan Rahwana si Raksasa? Semua bayangan itu tentu tidak sepenuhnya salah, karena setidaknya begitulah yang lebih suka didengar orang tentang sepasang kekasih ini.
Rama dan Shinta adalah pasangan masyhur yang kisahnya terbekukan dalam syair-syair Ramayana karya tangan resi walmiki dan masih di kenal hingga detik ini, bahkan setelah ratusan tahun berlalu. Sampai beberapa saat yang lalu saya masih berpikir sama bahwa Ramayana adalah fairytale yang berkisah tentang pangeran pemberani berjuang sampai mati demi menyelamatkan kekasih hatinya dari tawanan musuh Entah dari mana saya pertamakali membaca atau mendengarnya dulu, rasanya sudah lama sekali dan kabur dalam ingatan, apa sesungguhnya yang disampaikan kisah tersebut.
Namun beberapa waktu lalu saya tak sengaja membaca kembali kisah ini yang ditulis ulang oleh seorang penulis Indonesia dalam sub judul sebuah bukunya, dengan sudut pandang dan penekanan yang sungguh berbeda. Saya belum pernah membaca literature aslinya ataupun mendengar langsung dari para pendongeng di India sana. Tapi versi Ramayana yang satu ini sungguh membuat saya termanggu dan berfikir kembali tentang hakekat cinta dan pondasi yang membuat nya tetap berdiri. Tentang cintanya Rama dan Shinta, cinta ayah dan ibu saya, cinta orang-orang disekitar kita, dan cinta yang (pasti) suatu hari nanti akan menghampiri hidup saya (meski entah kapan). saya akan menuliskan secara singkat saja kisah tersebut, untuk versi lengkapnya bisa di baca di buku ‘Sepotong Hati Yang Baru’ bab: ‘Percayakah Kau Padaku’.
Here we go;
Adalah Rama, seorang pangeran tampan nan gagah perkasa yang sedang mengemban tugas menumpas raksasa ketika terbetik sebuah kabar tentang sayembara memperebutkan putri kerajaan Wideha, Dewi Shinta yang jelita, konon keharumannya bahkan bisa tercium dari jarak ratusan meter. Maka berangkatlah rama dan adiknya, Laksmana ke ibukota kerajaan Wideha. Sayembara itu mudah sekaligus rumit. Mudah karna tidak ada pertarungan fisik, hanya menarik sebuah busur. Namun rumit karna busur itu adalah pusaka hadiah dewa Siwa, senjata paling menggetarkan di seluruh daratan India. Diantara seluruh pangeran yang hadir, Rama lah satu-satunya yang berhasil menarik busur tersebut. Rama memang kesatria yang sakti mandraguna, namun bukan itu yang membuat panah dewa siwa takluk padanya, ada kekuatan lain yang membuat hal itu terjadi. Di seberang sana, Dewi Shinta tersipu malu, tersenyum bahagia melihat calon suami yang telah ditakdirkan dewata untuknya.
Singkat cerita, pernikahan pun dilangsungkan. Selesai dari tugasnya semula, Rama membawa pengantinnya pulang ke Ayodya, ibukota kerajaan Kosala. Sang raja bahagia alang kepalang melihat putra mahkota nya pulang membawa bidadari yang cantik pekertinya dan berniat menjadikan Rama penerus tahtanya. Namun ada yang tidak bahagia dengan kenyataan itu. Ibu tiri Rama, istri muda raja kosala menyiapkan scenario licik yang pada akhirnya membuat Rama terusir dari istana, memaksanya menghabiskan 14 tahun dalam pengasingan, hidup menderita ditengah buasnya hutan belantara… lantas kemanakah Shinta?
Bagi Shinta segalanya sederhana. Ia telah memilih Rama, maka kemanapun Rama pergi dan bagaimanapun keadaan suaminya, Shinta akan menemani. Itulah pengabdian cintanya. Toh, dimanapun itu, mereka bisa tetap bahagia. Kekuatan cinta memungkinkan itu terjadi. Mereka diuji berbagai rintangan, dan puncaknya adalah ketika Rahwana, raja para raksasa dari Alengka menculik Shinta yang jelita. Kesaktian Rahwana tiada tara, tak seorangpun penduduk bumi akan mampu menumbangkannya. Ia membawa Shinta ke kerajaan Alengka di seberang lautan dan menawannya di taman Ashoka.
Maka dimulailah kisah legendaris itu, petualangan Rama menyelamatkan Kekasih hatinya, istri tercinta. Rama memutuskan meminta bantuan bangsa Wanara, alias manusia kera. Melalui sebuah perjanjian saling membantu, ribuan pasukan manusia kera dipimpin oleh panglimanya yang mahsyur itu, Hanoman, berangkat ke medan perang.
Tapi masalah pertama langsung menghadang rombongan itu, bagaimana menyeberangi lautan? Tidak semua anggota pasukan manusia kera bisa terbang. Bagaimana mereka bisa melewati lautan ribuan kilometer, sementara entah bagaimana nasib Shinta di kerajaan Alengka sekarang. Berhari-hari Rama meminta bantuan Baruna, dewa yang mengurus samudera. Baruna menolaknya, menolak terlibat dalam urusan manusia. Rama habis kesabaran, di penghujung hari ketiga, Rama mengangkat busur Dewa Siwa, berdiri penuh rasa marah, menghadap lautan yang menghambat mereka. Anak panah ditarik, dan Rama berseru lantang, “Jika kau tidak mau membantuku, wahai Baruna, akan aku keringkan seluruh lautan ini dengan anak panahku.”
Menggetarkan sekali melihat ancaman Rama. Itu bukan senjata biasa, itu pusaka paling sakti milik dunia. Baruna gemetar berpikir, pilihannya terbatas, binasa seluruh lautan, atau membantu penyerbuan Rama. Maka Baruna menawarkan membangun sebuah jembatan, lebih lambat memang, tapi itu lebih masuk akal. Rama, Laksmana dan Hanoman menyetujuinya, Segera, semua pekerja dikerahkan, siang malam, termasuk penduduk lautan, dan dalam waktu singkat, jembatan dahsyat itu terwujud, membentang panjang atas nama cinta. Setelah berhari-hari bertempur panah Rama akhirnya menancap di dada Rahwana, emmbuatnya tumbang seketika. Shinta pun kembali…
Sayangnya, cerita itu baru saja dimulai, kisah abadi Rama dan Shinta. Sungguh bukan petualangan Rama merebut Shinta dari Rahwana yang menjadi cerita utamanya, seperti yang disangkakan orang-orang, seperti yang lebih suka didengar orang banyak. Cerita pentingnya justeru baru dimulai persis saat pasangan abadi itu kembali ke Ayodya. Tentang kepercayaan. Tentang salah-satu pondasi dasar sebuah cinta.
***
“Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja, Laksmana.” Rama menghembuskan nafas panjang, berdiri menatap langit, tangannya bersidekap resah, sejak tadi siang dia terus berpikir.
“Bagaimana mungkin kau tidak mempercayainya, Kakanda?” Laksmana berseru putus asa, “Empat belas tahun Shinta setia menemani di hutan rimba. Empat belas tahun hidup penuh penderitaan demi mengabdi pada suaminya. Ditambah berbulan-bulan di tahan oleh Rahwana, berbulan-bulan menanggung penderitaan di sarang raksasa. Bagaimana mungkin kau tidak mempercayai Shinta?”
“Berbulan-bulan.” Rama mendesah, “Karena berbulan-bulan itulah, Laksmana. Siapa yang tahu apa yang telah terjadi di Alengka? Siapa yang bisa memastikannya?”
“Tidak.” Laksmana menggeleng kencang-kencang, seperti berusaha mengusir kalimat Rama barusan jauh-jauh, “Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutmu, Kakanda.”
Ruangan singgasana hening sejenak
Inilah masalah baru pasangan Rama dan Shinta.
Jutaan rakyat Kosala bersorak senang saat Rama membawa pulang Shinta ke ibukota Ayodya. Kembalinya Rama juga mengakhiri hukuman empat belas tahun terbuang. Tahta raja Kosala dikembalikan oleh adiknya, Barata. Kabar tumbangnya Rahwana, raja raksasa penyebab semua masalah daratan India membuat rakyat berpesta, dan lebih besar lagi pesta itu karena yang mengalahkan Rahwana adalah raja baru mereka, Rama.
Tapi kesenangan itu hanya sebentar, entah siapa yang memulai, bisik-bisik kotor merasuki penduduk kerajaan Kosala. Kabar burung menyebar begitu cepat. Di sudut-sudut istana, di pasar-pasar kumuh, di kampung-kampung. Apalagi kalau bukan kabar burung: Shinta sudah tidak suci lagi. Berbulan-bulan ditawan Rahwana, siapa yang bisa memastikan Shinta tetap mampu menjaga diri? Rahwana adalah raksasa licik yang sakti, dia bisa menipu siapa saja, bukan?
Bisik-bisik kotor itu bagai jelaga hitam ditumpahkan di langit-langit Ayodya, membuat kelam sejauh mata memandang, dan hanya tinggal waktu saja, bisik-bisik itu tiba di telinga Rama. Rakyatnya meragukan kesucian Shinta.
“Omong kosong, Kakanda.” Laksmana berseru, “Omong kosong semua ini. Aku bersumpah, Shinta tidak akan pernah berkhianat. Kakanda seharusnya tidak mendengarkan bisik-bisik di luar sana. Di mana mereka saat Kakanda dan Shinta terusir empat belas tahun di hutan rimba? Di mana mereka saat Kakanda memimpin ribuan pasukan Wanara? Tidak ada satu pun rakyat Kosala yang peduli? Kenapa sekarang mereka peduli sekali dengan sesuatu yang bukan urusa mereka?”
Ruangan singgasana semakin tegang. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Rama mengajak adiknya membicarakan masalah pelik tersebut.
“Tetapi mereka rakyatku, Laksmana. Aku tidak bisa menjadi Raja mereka yang baik jika mereka tidak mempercayai Ratunya.” Rama menatap kosong ke depan, resah.
“Karena Kakanda Raja dan mereka rakyat, maka Kakanda bisa memerintahkan untuk menghentikan seluruh omong kosong.” Laksmana menjawab gemas, dia mulai kehabisan cara membujuk Rama.
Rama menggeleng, urusan ini tidak sesederhana yang dipikirkan oleh Laksmana.
Apakah Shinta tetap suci? Berbulan-bulan dia ditahan di taman Asoka yang indah, di dalam istana kerajaan Alengka, dijaga belasan raksasa buruk rupa. Apakah Shinta bisa menjaga kehormatan dirinya?
Keputusan besar itu diambil Rama, dia memerintahkan agar ujian kesucian digelar untuk Shinta. Melewati api yang berkobar tinggi. Jika Shinta selamat melaluinya, maka tidak akan ada keraguan lagi.
“Apakah Kakanda masih mencintai Shinta?” Laksmana bertanya lirih, keputusan telah diambil, tidak banyak yang bisa dilakukannya.
“Aku mencintainya, Laksmana. Bagaimana mungkin kau bertanya hal itu?”
Laksmana tertunduk, “Maka Kakanda telah melakukan kesalahan besar. Kepercayaan adalah pondasi penting sebuah cinta, Kakanda telah kehilangan pondasi itu. Besok lusa, hal ini akan terulang kembali. Besok lusa, tanpa pondasi tersebut, Kakanda hanya akan menjadi olok-olok seluruh penduduk Ayodya.”
Rama terdiam, menelan ludah, menatap adiknya tidak mengerti. Ruangan singgsana lengang.
“Bukan, sungguh bukan karena ingin mendengarkan penduduk Ayodya ujian kesucian ini dilakukan.” Laksmana masih tertunduk, “Ujian ini dilakukan hanya untuk menutup resah di hati Kakanda. Besok, Shinta akan berhasil melewati kobaran api itu, tapi Kakanda, tidak akan pernah berhasil memadamkan keresahan itu.”
Laksmana membungkuk, ijin pamit, melangkah pelan menuju pintu ruangan, punggungnya hilang di antara helaan nafas Rama.
Ujian kesucian itu dilakukan di halaman istana, ditonton ribuan penduduk Ayodya. Apakah Shinta menolak ujian tersebut? Merasa ujian itu melecehkan harga dirinya? Shinta bahkan tidak terpikirkan hal buruk sedikitpun. Dia tidak merasa suaminya meragukan dirinya, ujian ini hanya untuk membuktikan kepada rakyat banyak. Jangankan melewati kobaran api suci, diminta Rama melakukan hal yang lebih sulit dibanding itu dia bersedia.
Pagi itu, di tengah mendung langit kota Ayodya, api berkobar, menjilat-jilat terasa begitu panas bahkan dari jarak belasan meter. Penduduk yang sejak malam buta berduyun-duyun datang hendak menonton, terdiam menatap kobaran api, menunggu prosesi ujian dimulai.
Shinta melangkah keluar dari Istana. Mengenakan pakaian berwarna putih dan selendang putih. Wajahnya terlihat jelita tanpa riasan sedikit pun, rambutnya terurai panjang, dan halaman luas istana seketika diterpa semerbak wangi yang belum pernah dicium banyak orang.
Resi-resi istana memulai prosesi. Sebuah kidung dinyanyikan. Puja-puji untuk seorang puteri yang akan membuktikan diri.
“Dusta takkan bercampur dengan jujur
Hina takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air

Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina

Habis lagu itu membungkus khidmat, Shinta melangkah mantap menuju kobaran api yang menyala tinggi. Penduduk berseru jerih, beberapa pingsan tidak tahan menonton saat tubuh Shinta ditelan api tersebut. Resi-resi berseru lirih. Rama memejamkan mata, tidak mampu melihat istrinya menuju kobaran api suci

Laksmana benar. Satu menit berlalu, Shinta melangkah anggun keluar dari kobaran api, lihatlah, bahkan api tidak kuasa membakar seujung kuku pakaian yang dikenakan Shinta. Penduduk terperangah, sejenak bersorak gembira. Shinta berhasil melewati ujian itu. Gegap gempita memenuhi lapangan istana, Rama menghela nafas lega, ikut berseru riang. Tetapi cerita jauh dari selesai.
~to be continue...