Senin, 27 Januari 2014

Menulis Kembali Kisah Ramayana (part III)

Pertempuran besar itu hanya soal waktu terjadi. Ketegangan menyelimuti kota Ayodya.
“Hentikan!!” Suara teriakan perempuan terdengar dari gerbang kota.
“Hentikan! Aku mohon.” Shinta berseru tersengal, kudanya menerobos rakyat yang menonton. Wajah-wajah tertoleh. Siapa lagi yang datang? Bukankah itu?
Bisik-bisik menjalar bagai api memakan rumput kering.
“Shinta? Kaukah itu?” Rama balas berseru demi melihat perempuan yang loncat turun dari kuda di halaman istana, lantas berusaha memeluk Lawa dan Kusa.
Demi melihatnya, Rama bergegas menurunkan busur, berlari menuruni anak tangga. Shinta, kaukah itu? Jantung Rama berdetak kencang oleh perasaan bahagia. Dia sungguh rindu pada istrinya.
“Lepaskan kami Ibu!” Sementara di halaman istana, Lawa dan Kusa berteriak, menghindari pelukan Ibunya.
“Jangan, Nak. Sungguh jangan.” Shinta berseru serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya.
“Lepaskan kami Ibu!”
“Dia Ayah kalian, Nak.”
“Tidak!” Lawa membentak, meski bentakan itu diarahkan ke depan, ke arah Rama yang sedang menuruni anak tangga, berusaha mendekat.
“Dia bukan Ayah kami.” Kusa tidak kalah membentak galak, menunjuk Rama, “Dia bukan siapa-siapa kami.”
“Jangan, Nak. Demi Ibumu, hentikan semuanya.” Shinta menangis, memohon, suaranya semakin serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya yang terus membentangkan busur.
“Kami akan membalaskan sakit hati Ibu. Kami akan menghukum seluruh Ayodya.”
“Shinta, Shinta istriku.” Rama sudah dekat dengan Shinta yang akhirnya berhasil memeluk anak-anaknya.
Langkah Rama tertahan, menatap tidak mengerti, “Siapa mereka istriku? Siapa dua anak kecil ini? Kenapa kau memeluknya?”
Shinta menangis, mendongak, menatap wajah orang yang dia cintai selama ini, wajah suaminya. Shinta tergugu. Duhai, jika situasinya berbeda, sudah sejak tadi dia loncat memeluk Rama, kerinduan itu sungguh tidak tertahan.
“Siapa mereka, Shinta?” Rama bertanya lagi, diapun begitu, jikalau situasinya berbeda, sudah sejak tadi juga dia akan memeluk Shinta, kerinduan pada istrinya sungguh tidak tertahan dua belas tahun terakhir.
“Dia anak-anakmu, Paduka Raja.” Resi Walmiki yang menjawab, loncat dari kudanya yang baru tiba.
“Anak-anakku?” Rama berseru tertahan.
Dan lebih tidak tertahan lagi seruan rakyat Ayodya. Berbisik-bisik bagai dengung lebah memenuhi langit-langit halaman istana. Dua kembar perusak ini anak Rama yang gagah perkasa? Apakah tidak salah dengar mereka? Dua anak kembar mengerikan ini anak Rama yang hebat?
“Mereka sungguh anak-anakku, Shinta?” Rama bertanya, memastikan, menatap Shinta yang masih berlinang air mata memeluk Lawa dan Kusa.
Shinta mengangguk lemah.
Tidak mungkin. Rakyat Ayodya berbisik-bisik. Bagaimana mungkin raja mereka memiliki anak kalau istrinya yang ternoda itu dibuang belasan tahun ke dalam hutan rimba. Bagaimana dia hamil? Tidak masuk akal. Itu pastilah dusta. Siapa yang tahu istri raja tetap setia selama di pembuangan?
Duhai, urusan ini, kalimat Laksmana, adik Rama, belasan tahun lalu itu selalu benar. Shinta akan berhasil memadamkan api suci, tapi Rama tidak akan pernah berhasil memadamkan resah di hatinya. Kalimat Hanoman dulu juga benar, Shinta akan berhasil melalui masa-masa pembuangannya, tapi Rama tidak akan pernah berhasil melalui resah hatinya.
Hanya sejenak saja buncah kebahagiaan di hati Rama melihat istrinya kembali. Sejenak kemudian, prasangka, kecurigaan itu mengambil alih sisanya. Rama menggeleng, tidak mungkin, tidak mungkin, mereka bukan anakku. Rakyat Ayodya bersorak, itu benar, tidak mungkin Raja yang gagah perkasa memiliki dua anak perusak.
Shinta tertunduk, nafasnya tersengal, dia menangis tersedu. Oh Ibu, lihatlah, setelah begitu banyak pengorbanan yang dia lakukan, setelah begitu besar harapan yang dia bangun, siang ini, disaksikan ribuan orang, suaminya menolak percaya atas anggukan pelannya tadi.
Apalah artinya cinta jika tanpa sebuah kepercayaan?
Semua ini tidak akan pernah berakhir. Semua ini hanya mengulur-ngulur waktu, dan dia terjebak atas harapan kosong. Sia-sia saja dia berharap Rama akan kembali mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cinta itu.
Sebelum semua orang menyadarinya, Shinta menciumi dua anak kembarnya untuk terakhir kali, berlinang air mata, lantas melepas pelukan, kemudian berlari menjauh dari Rama, dari kerumunan orang-orang, sambil berseru-seru,
“Oh Ibu, oh ibu pertiwi, dengarkan anakmu. Dengarkan anakmu.” Shinta memanggil keadilan.
Resi Walmiki yang bijak menelan ludah. Dia tahu sekali apa yang akan dilakukan Shinta. Itulah ujian terbesar yang bisa dilakukan manusia. Itulah pembuktian paling maksimal.
Kejadian itu, kejadian siang itu dibekukan oleh syair yang akan dikenang ratusan tahun kemudian.
“Oh Ibu, belahlah tanahmu, belahlah perutmu.” Shinta berlari, kakinya tertekuk sudah, tapi dia tak peduli, Shinta tersungkur, kakinya tak kuat lagi.
Sungguh dia masih cinta, tapi buat apa?
Bukankah cinta tak pernah dibungkus ketidakpercayaan.
Rama yang menyadari apa yang hendak dilakukan Shinta loncat panik. Rama terbang dengan segala pesonanya.
Shinta tersungkur, tangannya mencabik-cabik tanah, debu mengepul beterbangan, mulutnya lirih nian membaca mantera, Rama sudah amat dekat, dia tak kuasa lari lagi.
“Oh Ibu, bukalah pintumu, buktikanlah ke seluruh semesta, jika anakmu ini memang ternoda, maka tolaklah diriku yang hina, lemparkan aku kembali ke langit tanpa nyawa. Tapi jika aku memang suci, terimalah anakmu kembali, aku mohon. Aku sungguh tidak kuat lagi.”
“Jangan lakukan,” Rama berlutut di depan Shinta, sekejap, akhirnya dia paham, melihat Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, “Jangan lakukan, Shinta, demi aku.”
Tetapi kesadaran itu sudah amat terlambat, Shinta bersiap melakukan prosesi pembuktian paling tinggi.
“Ibu, bukalah pintumu….” Shinta memukul tanah seperti orang gila.
“Dengarkan aku, Shinta.” Rama yang berlutut berusaha menggapai tubuh istrinya.
“Ibu pertiwi, aku mohon.…” Shinta merangkak menjauh.
“Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.”
“Ibu, aku mohon. Aku tidak tahan lagi.”
“Kembalilah padaku, Shinta. Demi anak-anak kita.” Tangan Rama berusaha menggapai rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.
Sejengkal lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih dulu merekah. Sempurna sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak berpikir panjang langsung melompat.
Rama terkesiap, tangannya menggapai kosong. Hendak mengejar, terlambat, rekahan menganga itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat kepulan tinggi.
Hening. Hening.
Hari itu, Rama berdiri gagah, menarik busur pusakanya, hadiah Dewa Siwa. Sejuta guntur menggelegar, langit kelam, “Wahai ibu pertiwi, keluarkan Shintaku, atau kululuh lantakkan tubuhmu.”
Alam mencicit. Busur itu menyebar aroma kedahsyatan tiada tara. Bukankah busur itu bisa membelah bumi bagai tangan orang dewasa merekahkan sebutir jeruk matang. Hari itu, Rama menarik busur pusakanya. Bersiap menukar seluruh kesedihan, penyesalannya dengan binasanya dunia.
Sayangnya, Rama tidak pernah tahu, sebagaimana busur Dewa Brahma yang menyimpan rahasia, busur Dewa Siwa juga menyimpan rahasia. Kecil saja, busur itu sejatinya milik Shinta, dan hanya bisa ditarik oleh orang yang diinginkan Shinta. Itulah kenapa dulu Rama memenangkan sayembara itu. Karena Shinta mencintainya, dan menginginkannya menjadi suaminya. Dengan busur itulah Rama mampu mengalahkan Rahwana, membuat kerajaan Kosala disegani seluruh daratan India, karena Shinta menginginkannya.
Shinta telah ditelan bumi. Tidak ada lagi yang merestui busur itu, tarikan Rama atas busur mengendur, dan dengan wajah bingung tidak mengerti, bahkan sekarang busur itu sama sekali tidak bisa diangkat olehnya, jatuh berdebam di tanah, membuat debu berterbangan. Rama ikut jatuh terduduk, mengais-ngais tempat rekahan yang baru saja menelan tubuh istrinya. Rama berseru-seru, memanggil, memohon. Dia sungguh menyesal. Dia sungguh ingin minta maaf. Tetapi semua sudah terlambat. Kejadian siang itu akan dikenang banyak orang.
Beberapa minggu kemudian, Rama meninggalkan tahta Ayodya, dia memutuskan menyusul adiknya Laksmana menjadi pertapa. Lawa dan Kusa yang menyaksikan kalau Ibunya tetap mencintai Rama hingga detik terakhir, berhasil dibujuk Resi Walmiki kembali ke padepokan. Mereka tetap membenci Ayahnya, tapi mereka menghentikan berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada tanding. Sementara rakyat Ayodya? Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk bisik-bisik kotor itu.
***
*dialog inti dikutip dari novel “sepotong hati yang baru”
**versi asli Ramayana tidak seperti ini
***
Bagaimana mungkin semua kisah bahagia itu berakhir menyedihkan? Entahlah. Tapi satu hal, cinta yang besar tanpa disertai komitmen dan kepercayaan hanya akan menelan diri sendiri. Kepercayaan adalah pondasi dasar yang membuat cinta tetap berdiri. lantas apakah perasaan Rama terhadap Shinta bukan cinta? Itu cinta, itu sungguh cinta. Tapi cinta Rama seumpama meja yang kehilangan tiga dari empat kakinya, hanya soal waktu meja tersebut akan roboh.
Sejak awal Rama memang tak pernah harus menuruti keinginan rakyatnya. Semua keputusannya menguji Shinta itu semata-mata untuk menutup resah hatinya. Hanya untuk memadamkan kecurigaannya. Namun seperti kata Laksmana dan Hanoman, ujian apapun akan bisa Shinta lewati, tapi selamanya, semua itu tak pernah akan memadamkan gundah di hati Rama.
Tabiat bisik-bisik kotor rakyat Ayodia memang buruk, tapi sejatinya Rama sendirilah yang menentukan kepada siapa ia mendengar. Rama bisa memutuskan apakah ia akan menggenggam tangan Shinta dan melaluinya bersama, atau menutup mata dan membiarkan istrinya menanggung semua itu seorang diri.
 Berbilang tahun menghabiskan waktu bersama Shinta, tidakkah itu membuat mereka saling mengenal? Tidak. Saya percaya Rama tau betul istrinya tak berkhianat, tapi jiwanya yang ringkih membuat Rama bimbang. Ia takut menjadi bahan cemoohan rakyatnya, ia tak berani tampil apa adanya dan membela apa yang menjadi miliknya. Ia sendiri yang secara sadar membiarkan keraguan itu merasuk dan menghancurkan sendi-sendi perasaannya. Sia-sia Shinta menunggu. Pengorbanan dan penantian panjang itu telah mencapai batasnya. Siang itu Shinta menyadari tak ada gunanya memperjuangkan cinta seorang diri, dan memilih mengakhiri segalanya. Menyisakan Rama dengan penyesalan yang tak akan pernah terbayar. Selamanya.

Mungkin kisah ini tak pernah benar-benar terjadi. Tak seorangpun bisa membuktikannya. Tapi kita bisa belajar satu hal, bahwa kepercayaan adalah syarat mutlak terjaganya sebuah cinta. Tanpanya… cinta hanya omong kosong belaka. Sekali kita memutuskan untuk saling percaya, jangan biarkan siapapun masuk dan membuatnya keruh. Pun sama, ketika kita menggenggam kepercayaan dari orang lain, jangan sekali-kali merusaknya barang sejengkal. Karna kepercayaan bukanlah hadiah yang jatuh dari langit begitu saja. Ia adalah sesuatu yang dibangun setapak demi setapak melalui proses panjang sebuah hubungan.

2 komentar:

  1. yeeeey hahaha asik bgt reviewnya *salah fokus*
    tapi galau ya jadi shinta hiks hiks~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hueheehee... menggalau bimbang mau nulis apa soalnya. Wkwkwkwkekj

      Hapus