Pertempuran
besar itu hanya soal waktu terjadi. Ketegangan menyelimuti kota Ayodya.
“Hentikan!!”
Suara teriakan perempuan terdengar dari gerbang kota.
“Hentikan!
Aku mohon.” Shinta berseru tersengal, kudanya menerobos rakyat yang menonton.
Wajah-wajah tertoleh. Siapa lagi yang datang? Bukankah itu?
Bisik-bisik
menjalar bagai api memakan rumput kering.
“Shinta?
Kaukah itu?” Rama balas berseru demi melihat perempuan yang loncat turun dari
kuda di halaman istana, lantas berusaha memeluk Lawa dan Kusa.
Demi
melihatnya, Rama bergegas menurunkan busur, berlari menuruni anak tangga.
Shinta, kaukah itu? Jantung Rama berdetak kencang oleh perasaan bahagia. Dia sungguh
rindu pada istrinya.
“Lepaskan
kami Ibu!” Sementara di halaman istana, Lawa dan Kusa berteriak, menghindari
pelukan Ibunya.
“Jangan,
Nak. Sungguh jangan.” Shinta berseru serak, masih berusaha memeluk
anak-anaknya.
“Lepaskan
kami Ibu!”
“Dia
Ayah kalian, Nak.”
“Tidak!”
Lawa membentak, meski bentakan itu diarahkan ke depan, ke arah Rama yang sedang
menuruni anak tangga, berusaha mendekat.
“Dia
bukan Ayah kami.” Kusa tidak kalah membentak galak, menunjuk Rama, “Dia bukan
siapa-siapa kami.”
“Jangan,
Nak. Demi Ibumu, hentikan semuanya.” Shinta menangis, memohon, suaranya semakin
serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya yang terus membentangkan busur.
“Kami
akan membalaskan sakit hati Ibu. Kami akan menghukum seluruh Ayodya.”
“Shinta,
Shinta istriku.” Rama sudah dekat dengan Shinta yang akhirnya berhasil memeluk
anak-anaknya.
Langkah
Rama tertahan, menatap tidak mengerti, “Siapa mereka istriku? Siapa dua anak
kecil ini? Kenapa kau memeluknya?”
Shinta
menangis, mendongak, menatap wajah orang yang dia cintai selama ini, wajah
suaminya. Shinta tergugu. Duhai, jika situasinya berbeda, sudah sejak tadi dia
loncat memeluk Rama, kerinduan itu sungguh tidak tertahan.
“Siapa
mereka, Shinta?” Rama bertanya lagi, diapun begitu, jikalau situasinya berbeda,
sudah sejak tadi juga dia akan memeluk Shinta, kerinduan pada istrinya sungguh
tidak tertahan dua belas tahun terakhir.
“Dia
anak-anakmu, Paduka Raja.” Resi Walmiki yang menjawab, loncat dari kudanya yang
baru tiba.
“Anak-anakku?”
Rama berseru tertahan.
Dan
lebih tidak tertahan lagi seruan rakyat Ayodya. Berbisik-bisik bagai dengung
lebah memenuhi langit-langit halaman istana. Dua kembar perusak ini anak Rama
yang gagah perkasa? Apakah tidak salah dengar mereka? Dua anak kembar
mengerikan ini anak Rama yang hebat?
“Mereka
sungguh anak-anakku, Shinta?” Rama bertanya, memastikan, menatap Shinta yang
masih berlinang air mata memeluk Lawa dan Kusa.
Shinta
mengangguk lemah.
Tidak
mungkin. Rakyat Ayodya berbisik-bisik. Bagaimana mungkin raja mereka memiliki
anak kalau istrinya yang ternoda itu dibuang belasan tahun ke dalam hutan
rimba. Bagaimana dia hamil? Tidak masuk akal. Itu pastilah dusta. Siapa yang
tahu istri raja tetap setia selama di pembuangan?
Duhai,
urusan ini, kalimat Laksmana, adik Rama, belasan tahun lalu itu selalu benar.
Shinta akan berhasil memadamkan api suci, tapi Rama tidak akan pernah berhasil
memadamkan resah di hatinya. Kalimat Hanoman dulu juga benar, Shinta akan
berhasil melalui masa-masa pembuangannya, tapi Rama tidak akan pernah berhasil
melalui resah hatinya.
Hanya
sejenak saja buncah kebahagiaan di hati Rama melihat istrinya kembali. Sejenak
kemudian, prasangka, kecurigaan itu mengambil alih sisanya. Rama menggeleng,
tidak mungkin, tidak mungkin, mereka bukan anakku. Rakyat Ayodya bersorak, itu
benar, tidak mungkin Raja yang gagah perkasa memiliki dua anak perusak.
Shinta
tertunduk, nafasnya tersengal, dia menangis tersedu. Oh Ibu, lihatlah, setelah
begitu banyak pengorbanan yang dia lakukan, setelah begitu besar harapan yang
dia bangun, siang ini, disaksikan ribuan orang, suaminya menolak percaya atas
anggukan pelannya tadi.
Apalah
artinya cinta jika tanpa sebuah kepercayaan?
Semua
ini tidak akan pernah berakhir. Semua ini hanya mengulur-ngulur waktu, dan dia
terjebak atas harapan kosong. Sia-sia saja dia berharap Rama akan kembali
mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cinta itu.
Sebelum
semua orang menyadarinya, Shinta menciumi dua anak kembarnya untuk terakhir
kali, berlinang air mata, lantas melepas pelukan, kemudian berlari menjauh dari
Rama, dari kerumunan orang-orang, sambil berseru-seru,
“Oh
Ibu, oh ibu pertiwi, dengarkan anakmu. Dengarkan anakmu.” Shinta memanggil
keadilan.
Resi
Walmiki yang bijak menelan ludah. Dia tahu sekali apa yang akan dilakukan
Shinta. Itulah ujian terbesar yang bisa dilakukan manusia. Itulah pembuktian
paling maksimal.
Kejadian
itu, kejadian siang itu dibekukan oleh syair yang akan dikenang ratusan tahun kemudian.
“Oh
Ibu, belahlah tanahmu, belahlah perutmu.” Shinta berlari, kakinya tertekuk
sudah, tapi dia tak peduli, Shinta tersungkur, kakinya tak kuat lagi.
Sungguh
dia masih cinta, tapi buat apa?
Bukankah
cinta tak pernah dibungkus ketidakpercayaan.
Rama
yang menyadari apa yang hendak dilakukan Shinta loncat panik. Rama terbang
dengan segala pesonanya.
Shinta
tersungkur, tangannya mencabik-cabik tanah, debu mengepul beterbangan, mulutnya
lirih nian membaca mantera, Rama sudah amat dekat, dia tak kuasa lari lagi.
“Oh
Ibu, bukalah pintumu, buktikanlah ke seluruh semesta, jika anakmu ini memang
ternoda, maka tolaklah diriku yang hina, lemparkan aku kembali ke langit tanpa
nyawa. Tapi jika aku memang suci, terimalah anakmu kembali, aku mohon. Aku
sungguh tidak kuat lagi.”
“Jangan
lakukan,” Rama berlutut di depan Shinta, sekejap, akhirnya dia paham, melihat
Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, “Jangan lakukan, Shinta, demi aku.”
Tetapi
kesadaran itu sudah amat terlambat, Shinta bersiap melakukan prosesi pembuktian
paling tinggi.
“Ibu,
bukalah pintumu….” Shinta memukul tanah seperti orang gila.
“Dengarkan
aku, Shinta.” Rama yang berlutut berusaha menggapai tubuh istrinya.
“Ibu
pertiwi, aku mohon.…” Shinta merangkak menjauh.
“Maafkan
aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.”
“Ibu,
aku mohon. Aku tidak tahan lagi.”
“Kembalilah
padaku, Shinta. Demi anak-anak kita.” Tangan Rama berusaha menggapai rambut
beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.
Sejengkal
lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih dulu merekah. Sempurna
sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak berpikir panjang langsung
melompat.
Rama
terkesiap, tangannya menggapai kosong. Hendak mengejar, terlambat, rekahan menganga
itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat kepulan tinggi.
Hening.
Hening.
Hari
itu, Rama berdiri gagah, menarik busur pusakanya, hadiah Dewa Siwa. Sejuta
guntur menggelegar, langit kelam, “Wahai ibu pertiwi, keluarkan Shintaku, atau
kululuh lantakkan tubuhmu.”
Alam
mencicit. Busur itu menyebar aroma kedahsyatan tiada tara. Bukankah busur itu
bisa membelah bumi bagai tangan orang dewasa merekahkan sebutir jeruk matang.
Hari itu, Rama menarik busur pusakanya. Bersiap menukar seluruh kesedihan,
penyesalannya dengan binasanya dunia.
Sayangnya,
Rama tidak pernah tahu, sebagaimana busur Dewa Brahma yang menyimpan rahasia,
busur Dewa Siwa juga menyimpan rahasia. Kecil saja, busur itu sejatinya milik
Shinta, dan hanya bisa ditarik oleh orang yang diinginkan Shinta. Itulah kenapa
dulu Rama memenangkan sayembara itu. Karena Shinta mencintainya, dan
menginginkannya menjadi suaminya. Dengan busur itulah Rama mampu mengalahkan
Rahwana, membuat kerajaan Kosala disegani seluruh daratan India, karena Shinta
menginginkannya.
Shinta
telah ditelan bumi. Tidak ada lagi yang merestui busur itu, tarikan Rama atas
busur mengendur, dan dengan wajah bingung tidak mengerti, bahkan sekarang busur
itu sama sekali tidak bisa diangkat olehnya, jatuh berdebam di tanah, membuat
debu berterbangan. Rama ikut jatuh terduduk, mengais-ngais tempat rekahan yang
baru saja menelan tubuh istrinya. Rama berseru-seru, memanggil, memohon. Dia
sungguh menyesal. Dia sungguh ingin minta maaf. Tetapi semua sudah terlambat. Kejadian
siang itu akan dikenang banyak orang.
Beberapa
minggu kemudian, Rama meninggalkan tahta Ayodya, dia memutuskan menyusul
adiknya Laksmana menjadi pertapa. Lawa dan Kusa yang menyaksikan kalau Ibunya
tetap mencintai Rama hingga detik terakhir, berhasil dibujuk Resi Walmiki
kembali ke padepokan. Mereka tetap membenci Ayahnya, tapi mereka menghentikan
berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada tanding. Sementara
rakyat Ayodya? Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk bisik-bisik kotor itu.
***
*dialog inti dikutip
dari novel “sepotong hati yang baru”
**versi asli Ramayana
tidak seperti ini
***
Bagaimana
mungkin semua kisah bahagia itu berakhir menyedihkan? Entahlah. Tapi satu hal,
cinta yang besar tanpa disertai komitmen dan kepercayaan hanya akan menelan
diri sendiri. Kepercayaan adalah pondasi dasar yang membuat cinta tetap
berdiri. lantas apakah perasaan Rama terhadap Shinta bukan cinta? Itu cinta,
itu sungguh cinta. Tapi cinta Rama seumpama meja yang kehilangan tiga dari
empat kakinya, hanya soal waktu meja tersebut akan roboh.
Sejak
awal Rama memang tak pernah harus menuruti keinginan rakyatnya. Semua keputusannya
menguji Shinta itu semata-mata untuk menutup resah hatinya. Hanya untuk
memadamkan kecurigaannya. Namun seperti kata Laksmana dan Hanoman, ujian apapun
akan bisa Shinta lewati, tapi selamanya, semua itu tak pernah akan memadamkan
gundah di hati Rama.
Tabiat
bisik-bisik kotor rakyat Ayodia memang buruk, tapi sejatinya Rama sendirilah
yang menentukan kepada siapa ia mendengar. Rama bisa memutuskan apakah ia akan
menggenggam tangan Shinta dan melaluinya bersama, atau menutup mata dan membiarkan
istrinya menanggung semua itu seorang diri.
Berbilang tahun menghabiskan waktu bersama
Shinta, tidakkah itu membuat mereka saling mengenal? Tidak. Saya percaya Rama
tau betul istrinya tak berkhianat, tapi jiwanya yang ringkih membuat Rama
bimbang. Ia takut menjadi bahan cemoohan rakyatnya, ia tak berani tampil apa
adanya dan membela apa yang menjadi miliknya. Ia sendiri yang secara sadar membiarkan
keraguan itu merasuk dan menghancurkan sendi-sendi perasaannya. Sia-sia Shinta
menunggu. Pengorbanan dan penantian panjang itu telah mencapai batasnya. Siang itu
Shinta menyadari tak ada gunanya memperjuangkan cinta seorang diri, dan memilih
mengakhiri segalanya. Menyisakan Rama dengan penyesalan yang tak akan pernah
terbayar. Selamanya.
Mungkin
kisah ini tak pernah benar-benar terjadi. Tak seorangpun bisa membuktikannya. Tapi
kita bisa belajar satu hal, bahwa kepercayaan adalah syarat mutlak terjaganya
sebuah cinta. Tanpanya… cinta hanya omong kosong belaka. Sekali kita
memutuskan untuk saling percaya, jangan biarkan siapapun masuk dan membuatnya
keruh. Pun sama, ketika kita menggenggam kepercayaan dari orang lain, jangan
sekali-kali merusaknya barang sejengkal. Karna kepercayaan bukanlah hadiah yang
jatuh dari langit begitu saja. Ia adalah sesuatu yang dibangun setapak demi
setapak melalui proses panjang sebuah hubungan.
yeeeey hahaha asik bgt reviewnya *salah fokus*
BalasHapustapi galau ya jadi shinta hiks hiks~
Hueheehee... menggalau bimbang mau nulis apa soalnya. Wkwkwkwkekj
Hapus