Senin, 27 Januari 2014

Menulis Kembali Kisah Ramayana (part II)

***
Kalimat lain Laksmana juga benar, adik Rama yang tidak tahan dengan situasi istana, dan akhirnya memutuskan pergi menjadi pertapa itu selalu bijak menilai sesuatu, Shinta berhasil melalui ujian api suci, tapi itu tidak pernah memadamkan resah di hati orang-orang yang tidak mau percaya.
Hanya berbilang bulan sejak prosesi api suci, bisik-bisik kembali melanda seluruh Ayodya. Kabar burung berhembus bersama angin musim kemarau. Dan bagai api yang membakar sekam, cepat sekali menjalar, menghanguskan apa saja. Orang-orang berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong, mereka ditipu mentah-mentah. Shinta menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya dari kerajaan Alengka untuk melewati api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana, bertimbun kesaktiannya, apa susahnya sebelum dia berhasil dikalahkan Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada Shinta untuk mengatasi hal ini.
Hanya berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta kembali hidup rukun, saat gelombang kedua kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya. Cepat dan merusak sekali akibatnya. Suasana istana Ayodya kembali tegang.
“Kau tidak akan melakukannya, Paduka Rama.” Hanoman, manusia kera, bangsa Rawana, kali ini yang bijak menasehati.
“Tapi bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota hingga desa, di setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu. Bagaimana aku meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak percaya dengan Ratunya? Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu kita semua? Siapa?”
Hanoman menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak percaya, “Astaga, Paduka Rama, sungguh tidak ada yang terjadi di taman Asoka. Bukankah kau sendiri yang menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka selama pembuatan jembatan itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu adalah perempuan terhormat, dia tidak akan berkhianat walau di pikiran sekalipun. Akulah saksinya.”
 Rama menggeleng.
“Paduka Rama tidak percaya padaku?”
“Aku tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini, Pamanda.” Rama menjawab pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.
Ruangan singgasana lengang. Senja merah membungkus langit Ayodya, urusan itu ternyata masih berbuntut panjang.
Keputusan kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari sekadar melewati api suci. Orang ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta yang telah menguasai sihir gelap pasti mampu melewatinya. Lantas dia harus diuji dengan apa? Mudah, usir saja dia dari Ayodya.
“Kau telah kehilangan akal sehat, Paduka Rama.” Hanoman berseru, kepalanya menggeleng-geleng, ekornya mengibas-ngibas, sungguh dia ingin mengusir kalimat yang baru saja dia dengar dari mulut Rama, “Kau, kau tidak akan melakukannya, bukan? Itu, itu berlebihan.”
Justeru sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala Rama, entah alasan apa yang membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama sudah bulat. Duhai, kemanakah cinta mereka selama ini? Empat belas tahun Shinta menemani Rama terusir dari Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan Shinta tidak sekalipun lalai membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka, berharap suami tercintanya tiba, merebutnya kembali.
Shinta diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh Rama, di hadapan rakyat banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya sungguh bijaksana, bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan terbuang dari istana. Lihat, ini sungguh mengharukan.
Hanoman tertunduk dalam, terpekur menatap lantai.
“Apakah kau masih mencintai Shinta, Paduka Rama?” Bertanya pelan.
“Tentu saja, Pamanda. Tentu saja.” Rama menjawab dengan intonasi tersinggung, “Aku mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta akan mampu melewati masa pembuangannya.”
Hanoman menggeleng sedih, “Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka, tapi Padukalah yang membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam hati. Camkan ini, Paduka, esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa terbuangnya, tapi Paduka tidak akan pernah mampu melewati resah itu.”
Hanoman melangkah perlahan, meninggalkan gegap gempita halaman Istana. Punggungnya hilang dibalik ribuan rakyat yang mengelu-elukan keputusan rajanya.
Bagaimana Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan sendiri oleh suaminya? Shinta mengangguk, kali ini dia memang tidak kuasa menahan kesedihan hati, matanya berkaca-kaca, tapi dia mengangguk patuh. Shinta tidak sedih karena keputusan itu, dia sedikitpun tidak pernah meragukan cinta Rama. Shinta sedih karena dia tidak kunjung mampu meyakinkan rakyat Ayodya, Shinta sedih harus berpisah dengan suaminya tercinta.
“Jangan cemaskan aku, Kakanda.” Shinta berbisik lemah, “Aku akan baik-baik saja. Masa pembuangan ini tidak akan lama, apalah arti sepuluh tahun demi membuktikan cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, Kakanda. Sedikit pun jangan terbetik perasaan itu.”
Senja itu, saat gelap mulai menghampiri ibukota Ayodya, prosesi pengusiran Shinta dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya, tidak ada yang boleh membantunya. Rakyat bersorak sorai memenuhi halaman istana, berduyun-duyun puas ingin menonton.
Resi-resi istana membacakan kidung kesedihan. Shinta melangkah menuruni anak tangga, mengenakan pakaian putih, selendang putih, semerbak wangi menyergap hidung-hidung. Tidak, oh Ibu, aku tidak akan menangis. Anakmu tidak akan menangis, wahai Dewi Laksmi. Shinta meremas jemarinya, menatap sekitar yang mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dari suaminya, aku akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku kepada suamiku.
 Kidung kesedihan resi-resi istana mengambang di langit-langit halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu. Senja itu, disaksikan ribuan rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan mata di kursi singgasana, sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana, meninggalkan gerbang ibukota Ayodya, menuju barisan rapat pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani ujian sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorang pun sempat tahu, bahkan Rama, bahwa Shinta sedang mengandung anak mereka.
Gelap, hutan gelap menyambut langkah kaki Shinta. Lolongan binatang buas terdengar di kejauhan. Dengung suara serangga, desis binatang melata, menyeruak malam kelam. Udara terasa lembab. Gelap, berkali-kali kaki Shinta tersangkut tunggul dan akar, jatuh berdebam. Pakaiannya bergelimang lumpur hutan, tubuhnya kotor, padahal dia baru beberapa jam saja menjalani hukuman tersebut.
Kemana dia harus pergi sekarang?
Gentar Shinta menatap sekitar. Satu dua larik cahaya hanyalah datang dari mata binatang hutan, menyala terang di tengah gelap. Entah itu binatang berbahaya atau tidak. Ratusan nyamuk membungkus kepala, juga binatang kecil yang melata di tanah, tubuhnya menjadi sasaran empuk.
Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Berkali-kali Shinta mendesiskan mantra itu, kalimat sama yang dulu dia ucapkan saat menemani Rama terusir empat belas tahun, juga saat di taman Asoka. Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Shinta menyeka mata. Dia sudah berhenti menangis sejak tadi, dia menyeka mata karena sedang memastikan mahkluk apa yang terlihat mengerikan dan telah menghadangnya di depan.
Itu seekor beruang raksasa.
Mengaum merobek malam.
Shinta berseru pias, bergegas balik kanan, terseok-seok berusaha melarikan diri.
Beruang itu mengejarnya, membuat rebah jimpah semak belukar, pohon-pohon kecil patah. Shinta semakin panik, bajunya robek di sana sini tersangkut ranting. Tidak, dia tidak akan berakhir malam ini, masa ujiannya masih panjang, dia harus bisa menyelamatkan diri.
Beruang itu semakin dekat, dengus nafasnya terdengar menakutkan, air liurnya terpercik kemana-mana, dan jarinya dengan kuku-kuku yang tajam mencakar kesana kemari, buas mengejar tubuh ringkih Shinta yang justeru kembali tersungkur, kakinya tersangkut akar lagi, dan kali ini Shinta tidak bisa berdiri lagi, nafasnya tersengal hampir habis, Shinta terdesak sudah, menoleh, menatap jerih beruang raksasa yang siap menerkam, merobek-robek tubuhnya.
Persis sepersekian detik kuku-kuku itu menyentuh wajahnya, dari balik pepohonan yang gelap, melesat belasan panah. Cepat sekali kejadian itu, dan sebelum Shinta sempat membuka matanya yang terpejam ketakutan, bersiap menjemput ajal, beruang raksasa itu telah tumbang.
Adalah Resi Walmiki yang menyelamatkannya. Seorang Resi paling arif dan bijak di jaman itu. Resi inilah yang kelak menuliskan syair kisah-kisah Ramayana. Malam itu, bersama belasan murid padepokannya, mereka sedang melintas pulang dari perjalanan jauh, tidak sengaja berpapasan kejadian mengerikan, seorang perempuan siap diterkam seekor beruang.
Tubuh terkulai Shinta dibawa ke padepokan Resi Walmiki. Itu sebuah perkampungan tertutup, jauh di dalam hutan rimba. Ada belasan rumah dari kayu yang berdiri di dekat air terjun besar. Sawah subur mengitari perkampungan, lembah hijau yang indah. Sungai mengalir indah dipenuhi ikan-ikan. Resi Walmiki adalah pertapa yang memiliki kemampuan melihat watak seseorang hanya dengan melihat wajahnya, maka demi melihat wajah penuh kesedihan Shinta, yang barut oleh luka, malam itu dengan bijak dia memutuskan menampungnya tanpa bertanya panjang lebar. Ada banyak keluarga yang tinggal di padepokan itu, anak-anak remaja, pria dewasa, mereka berseru senang melihat kedatangan penduduk baru.
Tidak ada penghuni padepokan yang tahu siapa sebenarnya Shinta, kecuali Resi Walmiki. Mereka adalah murid-murid sederhana yang belajar tentang kebijaksanaan hidup, bercocok tanam, dan sedikit kemampuan memanah untuk bertahan dari binatang buas. Dengan segera Shinta berusaha menyesuaikan diri di perkampungan itu.
Apakah nasib Shinta lebih baik? entahlah, boleh jadi diterkam oleh beruang akan lebih baik baginya. Lihatlah, meski sekarang dia aman secara fisik tinggal di perkampungan itu, tapi hatinya terus terluka. Setiap pagi Shinta hanya duduk termenung menatap air terjun menimpa bebatuan menyanyikan lagu kerinduan. Shinta sedang mengingat wajah suaminya, wajah pengembara yang salah masuk bangunan saat hari sayembara. Wajah yang begitu riang saat berhasil menarik busur Dewa Siwa.
Apakah nasib Shinta lebih baik? entahlah. Malam-malam Shinta sering menatap langit penuh bintang. Duhai, bertanya dalam hati sedang apakah suaminya saat ini? Apakah Rama mulai merindukan dirinya? Seperti dia yang setiap hela nafas menyebut nama suaminya? Aku akan baik-baik saja, Kakanda. Aku akan mampu melewati masa-masa pengusiran ini, Shinta berbisik, lantas berharap angin lembah membawa kalimatnya tiba di ibukota Ayodya yang ratusan kilometer jauhnya.
Hari demi hari berlalu, bahagia atau tidak, siklus waktu tetap berputar. Perut Shinta semakin membesar, penduduk padepokan itu diliputi kegembiraan mendengar kabar penghuni baru mereka akan segera melahirkan. Seorang ibu setengah baya membantu Shinta melahirkan, dua orang anak kembar, laki-laki, tampan seperti Ayahnya—yang sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun jauh di tengah hutan rimba. Shinta memberi nama kedua anak kembarnya: Lawa dan Kusa. Dia dengan air mata berlinang menciumi dua bayi yang lahir di tanah pembuangan itu. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Ibumu dan kalian berdua akan kuat, Nak.
Hari demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu terus berputar. Meski masih sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air terjun, dengan hadirnya si kembar, suasana hati Shinta jauh lebih baik. Dia punya kesibukan. Dan tanpa terasa, bagai sebutir batu jatuh, waktu berlalu amat cepat, dua anak kembar itu tumbuh sehat. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tidak pernah Resi Walmiki memiliki murid sepintar mereka berdua, menguasai syair-syair panjang kebijaksanaan orang dewasa.
Lawa dan Kusa juga tumbuh menjadi ksatria yang baik. Sekecil itu, mereka adalah pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi Walmiki menghadiahkan busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata mematikan dibanding busur Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan rahasia tersendiri.
Apakah keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh membanggakan?
Sebaliknya, Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa sepuluh tahun pengusiran itu hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan, apakah suaminya masih ingat istrinya yang terusir di hutan rimba? Apakah suaminya masih merindukannya? Shinta menyeka ujung mata, dia tidak akan menangis, sungguh aku tidak akan menangis, oh Ibu, itu janjinya dulu.
Tetapi saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah, suaminya Rama ternyata tidak kunjung menjemputnya. Duhai, amat menyedihkan melihat Shinta berdiri termangu sepanjang hari, menatap pintu gerbang padepokan, berharap rombongan pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput. Satu derap suara langkah kaki kuda milik penghuni perkampungan pun sudah membuat Shinta terlonjak, apakah itu? Apakah itu? Satu suara desir orang datang sudah membuat Shinta berseru tertahan, apakah itu? Apakah itu Rama yang menjemputnya.
Malang sekali nasib Shinta, jangankan rombongan yang akan menjemput, datang menyibak pepohonan rapat yang mengelilingi perkampungan, kabar baik secuil pun tidak datang dari ibukota Ayodya. Tidak ada.
“Tidurlah, anakku.” Resi Walmiki berkata takjim, “Ini sudah lewat tengah malam, tidak baik sendirian di anak tangga.”
Shinta menggeleng kuat-kuat. Tidak, dia akan berdiri di sini hingga suaminya tiba. Dia tidak mau sedang tertidur saat Rama datang menjemputnya. Sama persis saat di taman Asoka dulu, dia tidak mau sedetikpun lalai mengingat Rama. Dia harus terjaga, lantas tersenyum riang menyambut suaminya.
“Tidak akan ada yang datang malam ini, anakku.” Resi Walmiki mendesah pelan, menghela nafas panjang penuh kesedihan, “Suamimu tidak akan datang menjemput.”
Tidak. Itu sungguh tidak benar. Shinta menjerit dalam hati. Menolak untuk percaya. Mereka sepasang kekasih abadi, dia akan selalu mencintai suaminya, dan Rama akan selalu mencintainya. Resi Walmiki berdusta.
Resi Walmiki menghela nafas panjang lagi. Menatap langit yang dipenuhi bintang gemintang. Baiklah, dia mengalah, membiarkan Shinta terus menunggu di anak tangga, menatap kegelapan gerbang perkampungan. Rama tidak akan pernah menjemput istrinya, Resi Walmiki tahu hal itu, karena beberapa bulan lalu, dia sendiri yang diam-diam datang ke istana Ayodya, menyamar seperti resi kebanyakan, menatap wajah Rama. Hanya butuh sekejap saling bersitatap, dia segera tahu, Paduka Raja yang gagah perkasa itu, amat ringkih hatinya. Paduka Raja yang berhasil mengalahkan Rahwana, raja raksasa, itu, amat lapuk hatinya. Apakah Rama masih mencintai Shinta? Tentu saja. Cinta itu sama besarnya seperti saat mereka pertama kali bertemu dulu. Tetapi cinta tanpa disertai kepercayaan, maka ibarat meja kehilangan tiga dari empat kaki-kakinya, runtuh menyakitkan.
Sepuluh tahun berlalu, Rama tidak pernah kunjung berhasil memadamkan api kecurigaan, prasangka buruk pada istrinya sendiri, dan itu semakin rusak oleh mudahnya dia percaya bisik-bisik kotor orang di sekitarnya. Apakah Rama tahu ini hari penghabisan masa pembuangan Shinta? Dia bahkan setiap saat menghitung hari, tidak sabaran. Apakah Rama masih rindu kepada istrinya? Dia bahkan setiap saat menyebut nama istrinya. Tetapi resah, curiga, menghapus itu semua. Sia-sia Shinta menunggu suaminya datang, bagai menunggu nasi tanak menjadi matang tanpa api di bawah periuknya.
Satu hari berlalu. Satu minggu. Satu bulan, bahkan sekarang satu tahun lebih, Shinta mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya kurus kering, dia menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok oleh kesedihan. Kecantikan itu masih banyak tersisa, tapi pengharapan yang tak kunjung usai menghabisi banyak hal.
Penghuni padepokan juga ikut sedih menyaksikan Shinta yang terus menunggu. Dua anak kembarnya yang setahun terakhir terus bertanya-tanya kenapa, ada apa gerangan Ibunya terlihat sedih berkepanjangan, juga ikut sedih. Dan kapiran urusan, persis usia mereka menginjak dua belas tahun, Lawa dan Kusa menemukan catatan milik Resi Walmiki, syair tentang Rama dan Shinta, kisah awal Ramayana.
Dua anak kembar itu tahu.
Mereka terpukul. Celakanya, tak seorangpun tahu rahasia besar yang paling mengerikan dari busur Dewa Brahma milik si kembar adalah: kebencian. Busur itu akan berlipat-lipat kali menjadi lebih hebat saat dipegang oleh orang yang memiliki alasan kebencian yang sah, berhak, dan direstui terbalaskan.
Apalagi yang mereka miliki sekarang selain kebencian yang menggunung? Mereka tahu, Ibu mereka dibuang sepuluh tahun oleh Ayahnya sendiri hanya karena prasangka. Tidak cukupkah semua pengorbanan Ibunya selama ini? Tidak cukupkah ujian api suci yang bahkan bisa membakar seorang dewa pendusta? Sekarang, saat masa pembuangan itu telah berlalu, tidak tergerakkah hati Ayahnya datang menjemput?
Lawa dan Kusa menggenggam tangan satu sama lain. Lawa dan Kusa sambil menyeka air mata, bersumpah membalas perlakuan Ayahnya terhadap Ibu mereka. Dua anak itu, baru dua belas tahun, tapi mereka mewarisi darah ksatria terbaik jaman itu, darah Ayah yang amat mereka benci. Dan mereka memiliki busur Dewa Brahma, yang walaupun diciptakan oleh dewa penjaga ketertiban, berubah seratus delapan puluh derajat merusaknya saat digunakan dengan kebencian.
Hari itu juga, bagai angin puting beliung Lawa dan Kusa berangkat meninggalkan padepokan tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka menyerbu satu demi satu kota kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan kerajaan Kosala bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah kue besar. Benteng pertahanan kerajaan Kosala berjatuhan, keributan besar terdengar hingga ibukota Ayodya. Dua anak kembar itu mengamuk. Tidak ada yang menyangka kerusakan sebesar itu bisa dilakukan oleh mereka.
Demi mendengar terbetik kabar peperangan besar di perbatasan kerajaan, tanpa tahu siapa si kembar itu, Rama memutuskan mengirim pasukan besar dipimpin Hanoman. Sia-sia, Lawa dan Kusa bukan tandingan Hanoman. Mereka berdua melepas satu anak panah yang seketika terpecah belah menjadi jutaan anak panah, bagai hujan deras turun dari langit menerpa pasukan Hanoman, tidak terbayangkan, panglima perang bangsa Rawana dikalahkan begitu mudah oleh dua anak berusia dua belas tahun.
Rama berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang didengarnya. Dia memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala berkumpul di ibukota Ayodya, bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.
Kecamuk besar kerajaan Kosala akhirnya tiba di padepokan yang tertutup dari kabar luar. Shinta yang bahkan tidak menyadari dua anaknya pergi, masih berkutat dengan kesedihan menunggu suaminya, berseru panik saat Resi Walmiki membawa kabar buruk itu. Oh Ibu, anakku, anak-anakku Lawa dan Kusa, apa yang akan mereka lakukan? Kerusakan apa yang telah mereka perbuat? Seberapa besar kebencian itu?
Shinta menaiki seekor kuda, ditemani oleh Resi Walmiki, mereka pergi menyusul ke ibukota, mereka harus mencegah pertempuran besar kedua sepanjang sejarah daratan India sejak duel melawan Rahwana itu terjadi. Shinta menggebah kudanya agar bergerak lebih kencang, dia tidak boleh datang terlambat.
Sementara di halaman istana, ratusan ribuan prajurit Ayodya berbaris menunggu perintah. Raja mereka yang gagah perkasa, Rama, berdiri di singgasana, busur Dewa Siwa terpasang di punggung. Ketakutan mencekam seluruh Ayodya. Penduduk gemetar, kabar tentang kehebatan dua anak itu membuat cemas, meskipun itu tidak mengurungkan mereka pergi ke halaman istana, berduyun-duyun hendak menonton pertempuran—tabiat lama orang-orang Ayodya, ingin tahu urusan apapun.
Matahari tiba di puncaknya saat Lawa dan Kusa memasuki gerbang kota Ayodya. Nafas prajurit dan rakyat jelata tertahan. Lawa dan Kusa melangkah menyibak pasukan, debu mengepul dari bawah kaki mereka. Busur hadiah Dewa Brahma terpentang kencang-kencang dengan anak panah mengacung ke depan. Aura mengerikan keluar dari wajah mereka.
Bagaimana mungkin? Dua anak kembar ini? Masih kecil sekali, bahkan seperti anak-anak yang bermain di sekitar rumah. Siapa mereka sesungguhnya? Dan yang membuat helaan nafas prajurit dan penduduk Ayodya semakin tertahan, Dua anak kembar itu datang sambil menyanyikan lagu itu, lagu prosesi ujian milik Ibunya:
“Dusta takkan bercampur dengan jujur
 Hina takkan bercampur dengan mulia
 Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
 Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
 Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
 Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”
Duhai, siapakah dua anak kembar ini? Apa yang mereka inginkan? Dendam kesumat apa yang hendak mereka balaskan ke seluruh Ayodya? Rakyat bersitatap satu sama lain, perasaan takut tetap dikalahkan oleh tabiat bisik-bisik ingin tahu mereka.
           Rama berdiri dari singgasananya. Menyiapkan busur dan anak panah miliknya. Pertempuran besar ini tidak bisa dielakkan, musuh tidak memberikan kesempatan negosiasi, dua anak kecil di halaman istana justeru datang dengan senjata teracung sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar