Ramayana.
Apa
yang terbayang di benak kita ketika mendengar kisah Ramayana? Cerita romantis
yang epik? Kisah melegenda dari daratan India yang berakhir dengan keduanya
hidup happily ever after? Kisah heroik Pangeran Rama dengan busur pusakanya
merebut kembali Shinta dari tangan Rahwana si Raksasa? Semua bayangan itu tentu
tidak sepenuhnya salah, karena setidaknya begitulah yang lebih suka didengar
orang tentang sepasang kekasih ini.
Rama
dan Shinta adalah pasangan masyhur yang kisahnya terbekukan dalam syair-syair
Ramayana karya tangan resi walmiki dan masih di kenal hingga detik ini, bahkan
setelah ratusan tahun berlalu. Sampai beberapa saat yang lalu saya masih
berpikir sama bahwa Ramayana adalah fairytale yang berkisah tentang pangeran
pemberani berjuang sampai mati demi menyelamatkan kekasih hatinya dari tawanan
musuh Entah dari mana saya pertamakali membaca atau mendengarnya dulu, rasanya
sudah lama sekali dan kabur dalam ingatan, apa sesungguhnya yang disampaikan
kisah tersebut.
Namun
beberapa waktu lalu saya tak sengaja membaca kembali kisah ini yang ditulis
ulang oleh seorang penulis Indonesia dalam sub judul sebuah bukunya, dengan
sudut pandang dan penekanan yang sungguh berbeda. Saya belum pernah membaca
literature aslinya ataupun mendengar langsung dari para pendongeng di India
sana. Tapi versi Ramayana yang satu ini sungguh membuat saya termanggu dan
berfikir kembali tentang hakekat cinta dan pondasi yang membuat nya tetap
berdiri. Tentang cintanya Rama dan Shinta, cinta ayah dan ibu saya, cinta
orang-orang disekitar kita, dan cinta yang (pasti) suatu hari nanti akan
menghampiri hidup saya (meski entah kapan). saya akan menuliskan secara singkat saja kisah tersebut, untuk versi lengkapnya bisa di baca di buku ‘Sepotong Hati
Yang Baru’ bab: ‘Percayakah Kau Padaku’.
Here
we go;
Adalah
Rama, seorang pangeran tampan nan gagah perkasa yang sedang mengemban tugas
menumpas raksasa ketika terbetik sebuah kabar tentang sayembara memperebutkan
putri kerajaan Wideha, Dewi Shinta yang jelita, konon keharumannya bahkan bisa
tercium dari jarak ratusan meter. Maka berangkatlah rama dan adiknya, Laksmana
ke ibukota kerajaan Wideha. Sayembara itu mudah sekaligus rumit. Mudah karna
tidak ada pertarungan fisik, hanya menarik sebuah busur. Namun rumit karna
busur itu adalah pusaka hadiah dewa Siwa, senjata paling menggetarkan di
seluruh daratan India. Diantara seluruh pangeran yang hadir, Rama lah satu-satunya
yang berhasil menarik busur tersebut. Rama memang kesatria yang sakti
mandraguna, namun bukan itu yang membuat panah dewa siwa takluk padanya, ada
kekuatan lain yang membuat hal itu terjadi. Di seberang sana, Dewi Shinta
tersipu malu, tersenyum bahagia melihat calon suami yang telah ditakdirkan
dewata untuknya.
Singkat
cerita, pernikahan pun dilangsungkan. Selesai dari tugasnya semula, Rama
membawa pengantinnya pulang ke Ayodya, ibukota kerajaan Kosala. Sang raja
bahagia alang kepalang melihat putra mahkota nya pulang membawa bidadari yang
cantik pekertinya dan berniat menjadikan Rama penerus tahtanya. Namun ada yang
tidak bahagia dengan kenyataan itu. Ibu tiri Rama, istri muda raja kosala
menyiapkan scenario licik yang pada akhirnya membuat Rama terusir dari istana,
memaksanya menghabiskan 14 tahun dalam pengasingan, hidup menderita ditengah
buasnya hutan belantara… lantas kemanakah Shinta?
Bagi
Shinta segalanya sederhana. Ia telah memilih Rama, maka kemanapun Rama pergi
dan bagaimanapun keadaan suaminya, Shinta akan menemani. Itulah pengabdian
cintanya. Toh, dimanapun itu, mereka bisa tetap bahagia. Kekuatan cinta memungkinkan
itu terjadi. Mereka diuji berbagai rintangan, dan puncaknya adalah ketika
Rahwana, raja para raksasa dari Alengka menculik Shinta yang jelita. Kesaktian
Rahwana tiada tara, tak seorangpun penduduk bumi akan mampu menumbangkannya. Ia
membawa Shinta ke kerajaan Alengka di seberang lautan dan menawannya di taman
Ashoka.
Maka
dimulailah kisah legendaris itu, petualangan Rama menyelamatkan Kekasih
hatinya, istri tercinta. Rama memutuskan meminta bantuan bangsa Wanara, alias
manusia kera. Melalui sebuah perjanjian saling membantu, ribuan pasukan manusia
kera dipimpin oleh panglimanya yang mahsyur itu, Hanoman, berangkat ke medan
perang.
Tapi
masalah pertama langsung menghadang rombongan itu, bagaimana menyeberangi
lautan? Tidak semua anggota pasukan manusia kera bisa terbang. Bagaimana mereka
bisa melewati lautan ribuan kilometer, sementara entah bagaimana nasib Shinta
di kerajaan Alengka sekarang. Berhari-hari Rama meminta bantuan Baruna, dewa
yang mengurus samudera. Baruna menolaknya, menolak terlibat dalam urusan
manusia. Rama habis kesabaran, di penghujung hari ketiga, Rama mengangkat busur
Dewa Siwa, berdiri penuh rasa marah, menghadap lautan yang menghambat mereka.
Anak panah ditarik, dan Rama berseru lantang, “Jika kau tidak mau membantuku,
wahai Baruna, akan aku keringkan seluruh lautan ini dengan anak panahku.”
Menggetarkan
sekali melihat ancaman Rama. Itu bukan senjata biasa, itu pusaka paling sakti
milik dunia. Baruna gemetar berpikir, pilihannya terbatas, binasa seluruh
lautan, atau membantu penyerbuan Rama. Maka Baruna menawarkan membangun sebuah
jembatan, lebih lambat memang, tapi itu lebih masuk akal. Rama, Laksmana dan
Hanoman menyetujuinya, Segera, semua pekerja dikerahkan, siang malam, termasuk
penduduk lautan, dan dalam waktu singkat, jembatan dahsyat itu terwujud,
membentang panjang atas nama cinta. Setelah berhari-hari bertempur panah Rama
akhirnya menancap di dada Rahwana, emmbuatnya tumbang seketika. Shinta pun
kembali…
Sayangnya,
cerita itu baru saja dimulai, kisah abadi Rama dan Shinta. Sungguh bukan
petualangan Rama merebut Shinta dari Rahwana yang menjadi cerita utamanya,
seperti yang disangkakan orang-orang, seperti yang lebih suka didengar orang
banyak. Cerita pentingnya justeru baru dimulai persis saat pasangan abadi itu
kembali ke Ayodya. Tentang kepercayaan. Tentang salah-satu pondasi dasar sebuah
cinta.
***
“Aku
tidak bisa mempercayainya begitu saja, Laksmana.” Rama menghembuskan nafas
panjang, berdiri menatap langit, tangannya bersidekap resah, sejak tadi siang
dia terus berpikir.
“Bagaimana
mungkin kau tidak mempercayainya, Kakanda?” Laksmana berseru putus asa, “Empat
belas tahun Shinta setia menemani di hutan rimba. Empat belas tahun hidup penuh
penderitaan demi mengabdi pada suaminya. Ditambah berbulan-bulan di tahan oleh
Rahwana, berbulan-bulan menanggung penderitaan di sarang raksasa. Bagaimana
mungkin kau tidak mempercayai Shinta?”
“Berbulan-bulan.”
Rama mendesah, “Karena berbulan-bulan itulah, Laksmana. Siapa yang tahu apa
yang telah terjadi di Alengka? Siapa yang bisa memastikannya?”
“Tidak.”
Laksmana menggeleng kencang-kencang, seperti berusaha mengusir kalimat Rama
barusan jauh-jauh, “Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutmu,
Kakanda.”
Ruangan
singgasana hening sejenak
Inilah
masalah baru pasangan Rama dan Shinta.
Jutaan
rakyat Kosala bersorak senang saat Rama membawa pulang Shinta ke ibukota
Ayodya. Kembalinya Rama juga mengakhiri hukuman empat belas tahun terbuang.
Tahta raja Kosala dikembalikan oleh adiknya, Barata. Kabar tumbangnya Rahwana,
raja raksasa penyebab semua masalah daratan India membuat rakyat berpesta, dan
lebih besar lagi pesta itu karena yang mengalahkan Rahwana adalah raja baru
mereka, Rama.
Tapi
kesenangan itu hanya sebentar, entah siapa yang memulai, bisik-bisik kotor
merasuki penduduk kerajaan Kosala. Kabar burung menyebar begitu cepat. Di
sudut-sudut istana, di pasar-pasar kumuh, di kampung-kampung. Apalagi kalau
bukan kabar burung: Shinta sudah tidak suci lagi. Berbulan-bulan ditawan
Rahwana, siapa yang bisa memastikan Shinta tetap mampu menjaga diri? Rahwana
adalah raksasa licik yang sakti, dia bisa menipu siapa saja, bukan?
Bisik-bisik
kotor itu bagai jelaga hitam ditumpahkan di langit-langit Ayodya, membuat kelam
sejauh mata memandang, dan hanya tinggal waktu saja, bisik-bisik itu tiba di
telinga Rama. Rakyatnya meragukan kesucian Shinta.
“Omong
kosong, Kakanda.” Laksmana berseru, “Omong kosong semua ini. Aku bersumpah,
Shinta tidak akan pernah berkhianat. Kakanda seharusnya tidak mendengarkan
bisik-bisik di luar sana. Di mana mereka saat Kakanda dan Shinta terusir empat
belas tahun di hutan rimba? Di mana mereka saat Kakanda memimpin ribuan pasukan
Wanara? Tidak ada satu pun rakyat Kosala yang peduli? Kenapa sekarang mereka
peduli sekali dengan sesuatu yang bukan urusa mereka?”
Ruangan
singgasana semakin tegang. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Rama mengajak
adiknya membicarakan masalah pelik tersebut.
“Tetapi
mereka rakyatku, Laksmana. Aku tidak bisa menjadi Raja mereka yang baik jika
mereka tidak mempercayai Ratunya.” Rama menatap kosong ke depan, resah.
“Karena
Kakanda Raja dan mereka rakyat, maka Kakanda bisa memerintahkan untuk
menghentikan seluruh omong kosong.” Laksmana menjawab gemas, dia mulai
kehabisan cara membujuk Rama.
Rama
menggeleng, urusan ini tidak sesederhana yang dipikirkan oleh Laksmana.
Apakah
Shinta tetap suci? Berbulan-bulan dia ditahan di taman Asoka yang indah, di
dalam istana kerajaan Alengka, dijaga belasan raksasa buruk rupa. Apakah Shinta
bisa menjaga kehormatan dirinya?
Keputusan
besar itu diambil Rama, dia memerintahkan agar ujian kesucian digelar untuk
Shinta. Melewati api yang berkobar tinggi. Jika Shinta selamat melaluinya, maka
tidak akan ada keraguan lagi.
“Apakah
Kakanda masih mencintai Shinta?” Laksmana bertanya lirih, keputusan telah
diambil, tidak banyak yang bisa dilakukannya.
“Aku
mencintainya, Laksmana. Bagaimana mungkin kau bertanya hal itu?”
Laksmana
tertunduk, “Maka Kakanda telah melakukan kesalahan besar. Kepercayaan adalah
pondasi penting sebuah cinta, Kakanda telah kehilangan pondasi itu. Besok lusa,
hal ini akan terulang kembali. Besok lusa, tanpa pondasi tersebut, Kakanda
hanya akan menjadi olok-olok seluruh penduduk Ayodya.”
Rama
terdiam, menelan ludah, menatap adiknya tidak mengerti. Ruangan singgsana
lengang.
“Bukan,
sungguh bukan karena ingin mendengarkan penduduk Ayodya ujian kesucian ini
dilakukan.” Laksmana masih tertunduk, “Ujian ini dilakukan hanya untuk menutup
resah di hati Kakanda. Besok, Shinta akan berhasil melewati kobaran api itu,
tapi Kakanda, tidak akan pernah berhasil memadamkan keresahan itu.”
Laksmana
membungkuk, ijin pamit, melangkah pelan menuju pintu ruangan, punggungnya
hilang di antara helaan nafas Rama.
Ujian
kesucian itu dilakukan di halaman istana, ditonton ribuan penduduk Ayodya.
Apakah Shinta menolak ujian tersebut? Merasa ujian itu melecehkan harga
dirinya? Shinta bahkan tidak terpikirkan hal buruk sedikitpun. Dia tidak merasa
suaminya meragukan dirinya, ujian ini hanya untuk membuktikan kepada rakyat
banyak. Jangankan melewati kobaran api suci, diminta Rama melakukan hal yang
lebih sulit dibanding itu dia bersedia.
Pagi
itu, di tengah mendung langit kota Ayodya, api berkobar, menjilat-jilat terasa
begitu panas bahkan dari jarak belasan meter. Penduduk yang sejak malam buta
berduyun-duyun datang hendak menonton, terdiam menatap kobaran api, menunggu
prosesi ujian dimulai.
Shinta
melangkah keluar dari Istana. Mengenakan pakaian berwarna putih dan selendang
putih. Wajahnya terlihat jelita tanpa riasan sedikit pun, rambutnya terurai
panjang, dan halaman luas istana seketika diterpa semerbak wangi yang belum
pernah dicium banyak orang.
Resi-resi
istana memulai prosesi. Sebuah kidung dinyanyikan. Puja-puji untuk seorang
puteri yang akan membuktikan diri.
“Dusta
takkan bercampur dengan jujur
Hina
takkan bercampur dengan mulia
Oh,
minyak takkan pernah menyatu dengan air
Kebaikan
takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan
takkan bercampur dengan pengkhianatan
Oh,
Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina
Habis
lagu itu membungkus khidmat, Shinta melangkah mantap menuju kobaran api yang
menyala tinggi. Penduduk berseru jerih, beberapa pingsan tidak tahan menonton
saat tubuh Shinta ditelan api tersebut. Resi-resi berseru lirih. Rama
memejamkan mata, tidak mampu melihat istrinya menuju kobaran api suci
Laksmana
benar. Satu menit berlalu, Shinta melangkah anggun keluar dari kobaran api,
lihatlah, bahkan api tidak kuasa membakar seujung kuku pakaian yang dikenakan
Shinta. Penduduk terperangah, sejenak bersorak gembira. Shinta berhasil
melewati ujian itu. Gegap gempita memenuhi lapangan istana, Rama menghela nafas
lega, ikut berseru riang. Tetapi cerita jauh dari selesai.
~to be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar