Minggu, 26 Januari 2014

Menulis Kembali Kisah Ramayana (Part I)

 Ramayana.
Apa yang terbayang di benak kita ketika mendengar kisah Ramayana? Cerita romantis yang epik? Kisah melegenda dari daratan India yang berakhir dengan keduanya hidup happily ever after? Kisah heroik Pangeran Rama dengan busur pusakanya merebut kembali Shinta dari tangan Rahwana si Raksasa? Semua bayangan itu tentu tidak sepenuhnya salah, karena setidaknya begitulah yang lebih suka didengar orang tentang sepasang kekasih ini.
Rama dan Shinta adalah pasangan masyhur yang kisahnya terbekukan dalam syair-syair Ramayana karya tangan resi walmiki dan masih di kenal hingga detik ini, bahkan setelah ratusan tahun berlalu. Sampai beberapa saat yang lalu saya masih berpikir sama bahwa Ramayana adalah fairytale yang berkisah tentang pangeran pemberani berjuang sampai mati demi menyelamatkan kekasih hatinya dari tawanan musuh Entah dari mana saya pertamakali membaca atau mendengarnya dulu, rasanya sudah lama sekali dan kabur dalam ingatan, apa sesungguhnya yang disampaikan kisah tersebut.
Namun beberapa waktu lalu saya tak sengaja membaca kembali kisah ini yang ditulis ulang oleh seorang penulis Indonesia dalam sub judul sebuah bukunya, dengan sudut pandang dan penekanan yang sungguh berbeda. Saya belum pernah membaca literature aslinya ataupun mendengar langsung dari para pendongeng di India sana. Tapi versi Ramayana yang satu ini sungguh membuat saya termanggu dan berfikir kembali tentang hakekat cinta dan pondasi yang membuat nya tetap berdiri. Tentang cintanya Rama dan Shinta, cinta ayah dan ibu saya, cinta orang-orang disekitar kita, dan cinta yang (pasti) suatu hari nanti akan menghampiri hidup saya (meski entah kapan). saya akan menuliskan secara singkat saja kisah tersebut, untuk versi lengkapnya bisa di baca di buku ‘Sepotong Hati Yang Baru’ bab: ‘Percayakah Kau Padaku’.
Here we go;
Adalah Rama, seorang pangeran tampan nan gagah perkasa yang sedang mengemban tugas menumpas raksasa ketika terbetik sebuah kabar tentang sayembara memperebutkan putri kerajaan Wideha, Dewi Shinta yang jelita, konon keharumannya bahkan bisa tercium dari jarak ratusan meter. Maka berangkatlah rama dan adiknya, Laksmana ke ibukota kerajaan Wideha. Sayembara itu mudah sekaligus rumit. Mudah karna tidak ada pertarungan fisik, hanya menarik sebuah busur. Namun rumit karna busur itu adalah pusaka hadiah dewa Siwa, senjata paling menggetarkan di seluruh daratan India. Diantara seluruh pangeran yang hadir, Rama lah satu-satunya yang berhasil menarik busur tersebut. Rama memang kesatria yang sakti mandraguna, namun bukan itu yang membuat panah dewa siwa takluk padanya, ada kekuatan lain yang membuat hal itu terjadi. Di seberang sana, Dewi Shinta tersipu malu, tersenyum bahagia melihat calon suami yang telah ditakdirkan dewata untuknya.
Singkat cerita, pernikahan pun dilangsungkan. Selesai dari tugasnya semula, Rama membawa pengantinnya pulang ke Ayodya, ibukota kerajaan Kosala. Sang raja bahagia alang kepalang melihat putra mahkota nya pulang membawa bidadari yang cantik pekertinya dan berniat menjadikan Rama penerus tahtanya. Namun ada yang tidak bahagia dengan kenyataan itu. Ibu tiri Rama, istri muda raja kosala menyiapkan scenario licik yang pada akhirnya membuat Rama terusir dari istana, memaksanya menghabiskan 14 tahun dalam pengasingan, hidup menderita ditengah buasnya hutan belantara… lantas kemanakah Shinta?
Bagi Shinta segalanya sederhana. Ia telah memilih Rama, maka kemanapun Rama pergi dan bagaimanapun keadaan suaminya, Shinta akan menemani. Itulah pengabdian cintanya. Toh, dimanapun itu, mereka bisa tetap bahagia. Kekuatan cinta memungkinkan itu terjadi. Mereka diuji berbagai rintangan, dan puncaknya adalah ketika Rahwana, raja para raksasa dari Alengka menculik Shinta yang jelita. Kesaktian Rahwana tiada tara, tak seorangpun penduduk bumi akan mampu menumbangkannya. Ia membawa Shinta ke kerajaan Alengka di seberang lautan dan menawannya di taman Ashoka.
Maka dimulailah kisah legendaris itu, petualangan Rama menyelamatkan Kekasih hatinya, istri tercinta. Rama memutuskan meminta bantuan bangsa Wanara, alias manusia kera. Melalui sebuah perjanjian saling membantu, ribuan pasukan manusia kera dipimpin oleh panglimanya yang mahsyur itu, Hanoman, berangkat ke medan perang.
Tapi masalah pertama langsung menghadang rombongan itu, bagaimana menyeberangi lautan? Tidak semua anggota pasukan manusia kera bisa terbang. Bagaimana mereka bisa melewati lautan ribuan kilometer, sementara entah bagaimana nasib Shinta di kerajaan Alengka sekarang. Berhari-hari Rama meminta bantuan Baruna, dewa yang mengurus samudera. Baruna menolaknya, menolak terlibat dalam urusan manusia. Rama habis kesabaran, di penghujung hari ketiga, Rama mengangkat busur Dewa Siwa, berdiri penuh rasa marah, menghadap lautan yang menghambat mereka. Anak panah ditarik, dan Rama berseru lantang, “Jika kau tidak mau membantuku, wahai Baruna, akan aku keringkan seluruh lautan ini dengan anak panahku.”
Menggetarkan sekali melihat ancaman Rama. Itu bukan senjata biasa, itu pusaka paling sakti milik dunia. Baruna gemetar berpikir, pilihannya terbatas, binasa seluruh lautan, atau membantu penyerbuan Rama. Maka Baruna menawarkan membangun sebuah jembatan, lebih lambat memang, tapi itu lebih masuk akal. Rama, Laksmana dan Hanoman menyetujuinya, Segera, semua pekerja dikerahkan, siang malam, termasuk penduduk lautan, dan dalam waktu singkat, jembatan dahsyat itu terwujud, membentang panjang atas nama cinta. Setelah berhari-hari bertempur panah Rama akhirnya menancap di dada Rahwana, emmbuatnya tumbang seketika. Shinta pun kembali…
Sayangnya, cerita itu baru saja dimulai, kisah abadi Rama dan Shinta. Sungguh bukan petualangan Rama merebut Shinta dari Rahwana yang menjadi cerita utamanya, seperti yang disangkakan orang-orang, seperti yang lebih suka didengar orang banyak. Cerita pentingnya justeru baru dimulai persis saat pasangan abadi itu kembali ke Ayodya. Tentang kepercayaan. Tentang salah-satu pondasi dasar sebuah cinta.
***
“Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja, Laksmana.” Rama menghembuskan nafas panjang, berdiri menatap langit, tangannya bersidekap resah, sejak tadi siang dia terus berpikir.
“Bagaimana mungkin kau tidak mempercayainya, Kakanda?” Laksmana berseru putus asa, “Empat belas tahun Shinta setia menemani di hutan rimba. Empat belas tahun hidup penuh penderitaan demi mengabdi pada suaminya. Ditambah berbulan-bulan di tahan oleh Rahwana, berbulan-bulan menanggung penderitaan di sarang raksasa. Bagaimana mungkin kau tidak mempercayai Shinta?”
“Berbulan-bulan.” Rama mendesah, “Karena berbulan-bulan itulah, Laksmana. Siapa yang tahu apa yang telah terjadi di Alengka? Siapa yang bisa memastikannya?”
“Tidak.” Laksmana menggeleng kencang-kencang, seperti berusaha mengusir kalimat Rama barusan jauh-jauh, “Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutmu, Kakanda.”
Ruangan singgasana hening sejenak
Inilah masalah baru pasangan Rama dan Shinta.
Jutaan rakyat Kosala bersorak senang saat Rama membawa pulang Shinta ke ibukota Ayodya. Kembalinya Rama juga mengakhiri hukuman empat belas tahun terbuang. Tahta raja Kosala dikembalikan oleh adiknya, Barata. Kabar tumbangnya Rahwana, raja raksasa penyebab semua masalah daratan India membuat rakyat berpesta, dan lebih besar lagi pesta itu karena yang mengalahkan Rahwana adalah raja baru mereka, Rama.
Tapi kesenangan itu hanya sebentar, entah siapa yang memulai, bisik-bisik kotor merasuki penduduk kerajaan Kosala. Kabar burung menyebar begitu cepat. Di sudut-sudut istana, di pasar-pasar kumuh, di kampung-kampung. Apalagi kalau bukan kabar burung: Shinta sudah tidak suci lagi. Berbulan-bulan ditawan Rahwana, siapa yang bisa memastikan Shinta tetap mampu menjaga diri? Rahwana adalah raksasa licik yang sakti, dia bisa menipu siapa saja, bukan?
Bisik-bisik kotor itu bagai jelaga hitam ditumpahkan di langit-langit Ayodya, membuat kelam sejauh mata memandang, dan hanya tinggal waktu saja, bisik-bisik itu tiba di telinga Rama. Rakyatnya meragukan kesucian Shinta.
“Omong kosong, Kakanda.” Laksmana berseru, “Omong kosong semua ini. Aku bersumpah, Shinta tidak akan pernah berkhianat. Kakanda seharusnya tidak mendengarkan bisik-bisik di luar sana. Di mana mereka saat Kakanda dan Shinta terusir empat belas tahun di hutan rimba? Di mana mereka saat Kakanda memimpin ribuan pasukan Wanara? Tidak ada satu pun rakyat Kosala yang peduli? Kenapa sekarang mereka peduli sekali dengan sesuatu yang bukan urusa mereka?”
Ruangan singgasana semakin tegang. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Rama mengajak adiknya membicarakan masalah pelik tersebut.
“Tetapi mereka rakyatku, Laksmana. Aku tidak bisa menjadi Raja mereka yang baik jika mereka tidak mempercayai Ratunya.” Rama menatap kosong ke depan, resah.
“Karena Kakanda Raja dan mereka rakyat, maka Kakanda bisa memerintahkan untuk menghentikan seluruh omong kosong.” Laksmana menjawab gemas, dia mulai kehabisan cara membujuk Rama.
Rama menggeleng, urusan ini tidak sesederhana yang dipikirkan oleh Laksmana.
Apakah Shinta tetap suci? Berbulan-bulan dia ditahan di taman Asoka yang indah, di dalam istana kerajaan Alengka, dijaga belasan raksasa buruk rupa. Apakah Shinta bisa menjaga kehormatan dirinya?
Keputusan besar itu diambil Rama, dia memerintahkan agar ujian kesucian digelar untuk Shinta. Melewati api yang berkobar tinggi. Jika Shinta selamat melaluinya, maka tidak akan ada keraguan lagi.
“Apakah Kakanda masih mencintai Shinta?” Laksmana bertanya lirih, keputusan telah diambil, tidak banyak yang bisa dilakukannya.
“Aku mencintainya, Laksmana. Bagaimana mungkin kau bertanya hal itu?”
Laksmana tertunduk, “Maka Kakanda telah melakukan kesalahan besar. Kepercayaan adalah pondasi penting sebuah cinta, Kakanda telah kehilangan pondasi itu. Besok lusa, hal ini akan terulang kembali. Besok lusa, tanpa pondasi tersebut, Kakanda hanya akan menjadi olok-olok seluruh penduduk Ayodya.”
Rama terdiam, menelan ludah, menatap adiknya tidak mengerti. Ruangan singgsana lengang.
“Bukan, sungguh bukan karena ingin mendengarkan penduduk Ayodya ujian kesucian ini dilakukan.” Laksmana masih tertunduk, “Ujian ini dilakukan hanya untuk menutup resah di hati Kakanda. Besok, Shinta akan berhasil melewati kobaran api itu, tapi Kakanda, tidak akan pernah berhasil memadamkan keresahan itu.”
Laksmana membungkuk, ijin pamit, melangkah pelan menuju pintu ruangan, punggungnya hilang di antara helaan nafas Rama.
Ujian kesucian itu dilakukan di halaman istana, ditonton ribuan penduduk Ayodya. Apakah Shinta menolak ujian tersebut? Merasa ujian itu melecehkan harga dirinya? Shinta bahkan tidak terpikirkan hal buruk sedikitpun. Dia tidak merasa suaminya meragukan dirinya, ujian ini hanya untuk membuktikan kepada rakyat banyak. Jangankan melewati kobaran api suci, diminta Rama melakukan hal yang lebih sulit dibanding itu dia bersedia.
Pagi itu, di tengah mendung langit kota Ayodya, api berkobar, menjilat-jilat terasa begitu panas bahkan dari jarak belasan meter. Penduduk yang sejak malam buta berduyun-duyun datang hendak menonton, terdiam menatap kobaran api, menunggu prosesi ujian dimulai.
Shinta melangkah keluar dari Istana. Mengenakan pakaian berwarna putih dan selendang putih. Wajahnya terlihat jelita tanpa riasan sedikit pun, rambutnya terurai panjang, dan halaman luas istana seketika diterpa semerbak wangi yang belum pernah dicium banyak orang.
Resi-resi istana memulai prosesi. Sebuah kidung dinyanyikan. Puja-puji untuk seorang puteri yang akan membuktikan diri.
“Dusta takkan bercampur dengan jujur
Hina takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air

Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina

Habis lagu itu membungkus khidmat, Shinta melangkah mantap menuju kobaran api yang menyala tinggi. Penduduk berseru jerih, beberapa pingsan tidak tahan menonton saat tubuh Shinta ditelan api tersebut. Resi-resi berseru lirih. Rama memejamkan mata, tidak mampu melihat istrinya menuju kobaran api suci

Laksmana benar. Satu menit berlalu, Shinta melangkah anggun keluar dari kobaran api, lihatlah, bahkan api tidak kuasa membakar seujung kuku pakaian yang dikenakan Shinta. Penduduk terperangah, sejenak bersorak gembira. Shinta berhasil melewati ujian itu. Gegap gempita memenuhi lapangan istana, Rama menghela nafas lega, ikut berseru riang. Tetapi cerita jauh dari selesai.
~to be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar