***
Kalimat
lain Laksmana juga benar, adik Rama yang tidak tahan dengan situasi istana, dan
akhirnya memutuskan pergi menjadi pertapa itu selalu bijak menilai sesuatu,
Shinta berhasil melalui ujian api suci, tapi itu tidak pernah memadamkan resah
di hati orang-orang yang tidak mau percaya.
Hanya
berbilang bulan sejak prosesi api suci, bisik-bisik kembali melanda seluruh
Ayodya. Kabar burung berhembus bersama angin musim kemarau. Dan bagai api yang
membakar sekam, cepat sekali menjalar, menghanguskan apa saja. Orang-orang
berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong, mereka ditipu mentah-mentah. Shinta
menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya dari kerajaan Alengka untuk melewati
api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana, bertimbun kesaktiannya, apa susahnya
sebelum dia berhasil dikalahkan Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada
Shinta untuk mengatasi hal ini.
Hanya
berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta kembali hidup rukun, saat gelombang
kedua kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya. Cepat dan merusak sekali
akibatnya. Suasana istana Ayodya kembali tegang.
“Kau
tidak akan melakukannya, Paduka Rama.” Hanoman, manusia kera, bangsa Rawana,
kali ini yang bijak menasehati.
“Tapi
bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota hingga desa, di
setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu. Bagaimana aku
meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak percaya dengan
Ratunya? Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu kita semua?
Siapa?”
Hanoman
menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak percaya, “Astaga, Paduka
Rama, sungguh tidak ada yang terjadi di taman Asoka. Bukankah kau sendiri yang
menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka selama pembuatan jembatan
itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu adalah perempuan
terhormat, dia tidak akan berkhianat walau di pikiran sekalipun. Akulah
saksinya.”
Rama menggeleng.
“Paduka
Rama tidak percaya padaku?”
“Aku
tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini, Pamanda.” Rama menjawab
pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.
Ruangan
singgasana lengang. Senja merah membungkus langit Ayodya, urusan itu ternyata
masih berbuntut panjang.
Keputusan
kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari sekadar melewati api suci.
Orang ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta yang telah menguasai sihir gelap
pasti mampu melewatinya. Lantas dia harus diuji dengan apa? Mudah, usir saja
dia dari Ayodya.
“Kau
telah kehilangan akal sehat, Paduka Rama.” Hanoman berseru, kepalanya
menggeleng-geleng, ekornya mengibas-ngibas, sungguh dia ingin mengusir kalimat
yang baru saja dia dengar dari mulut Rama, “Kau, kau tidak akan melakukannya,
bukan? Itu, itu berlebihan.”
Justeru
sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala Rama, entah alasan apa yang
membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama sudah bulat. Duhai, kemanakah
cinta mereka selama ini? Empat belas tahun Shinta menemani Rama terusir dari
Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan Shinta tidak sekalipun lalai
membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka, berharap suami tercintanya tiba,
merebutnya kembali.
Shinta
diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh Rama, di hadapan
rakyat banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya sungguh
bijaksana, bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan terbuang dari
istana. Lihat, ini sungguh mengharukan.
Hanoman
tertunduk dalam, terpekur menatap lantai.
“Apakah
kau masih mencintai Shinta, Paduka Rama?” Bertanya pelan.
“Tentu
saja, Pamanda. Tentu saja.” Rama menjawab dengan intonasi tersinggung, “Aku
mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta akan mampu
melewati masa pembuangannya.”
Hanoman
menggeleng sedih, “Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka, tapi Padukalah yang
membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam hati. Camkan ini,
Paduka, esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa terbuangnya, tapi Paduka
tidak akan pernah mampu melewati resah itu.”
Hanoman
melangkah perlahan, meninggalkan gegap gempita halaman Istana. Punggungnya hilang
dibalik ribuan rakyat yang mengelu-elukan keputusan rajanya.
Bagaimana
Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan sendiri oleh suaminya?
Shinta mengangguk, kali ini dia memang tidak kuasa menahan kesedihan hati,
matanya berkaca-kaca, tapi dia mengangguk patuh. Shinta tidak sedih karena
keputusan itu, dia sedikitpun tidak pernah meragukan cinta Rama. Shinta sedih
karena dia tidak kunjung mampu meyakinkan rakyat Ayodya, Shinta sedih harus
berpisah dengan suaminya tercinta.
“Jangan
cemaskan aku, Kakanda.” Shinta berbisik lemah, “Aku akan baik-baik saja. Masa
pembuangan ini tidak akan lama, apalah arti sepuluh tahun demi membuktikan
cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, Kakanda. Sedikit pun jangan
terbetik perasaan itu.”
Senja
itu, saat gelap mulai menghampiri ibukota Ayodya, prosesi pengusiran Shinta
dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya, tidak ada yang boleh membantunya.
Rakyat bersorak sorai memenuhi halaman istana, berduyun-duyun puas ingin
menonton.
Resi-resi
istana membacakan kidung kesedihan. Shinta melangkah menuruni anak tangga,
mengenakan pakaian putih, selendang putih, semerbak wangi menyergap
hidung-hidung. Tidak, oh Ibu, aku tidak akan menangis. Anakmu tidak akan
menangis, wahai Dewi Laksmi. Shinta meremas jemarinya, menatap sekitar yang
mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dari
suaminya, aku akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku
kepada suamiku.
Kidung kesedihan resi-resi istana mengambang
di langit-langit halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu. Senja itu,
disaksikan ribuan rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan mata di kursi
singgasana, sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana, meninggalkan gerbang
ibukota Ayodya, menuju barisan rapat pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani
ujian sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorang pun sempat tahu, bahkan Rama, bahwa
Shinta sedang mengandung anak mereka.
Gelap,
hutan gelap menyambut langkah kaki Shinta. Lolongan binatang buas terdengar di
kejauhan. Dengung suara serangga, desis binatang melata, menyeruak malam kelam.
Udara terasa lembab. Gelap, berkali-kali kaki Shinta tersangkut tunggul dan
akar, jatuh berdebam. Pakaiannya bergelimang lumpur hutan, tubuhnya kotor,
padahal dia baru beberapa jam saja menjalani hukuman tersebut.
Kemana
dia harus pergi sekarang?
Gentar
Shinta menatap sekitar. Satu dua larik cahaya hanyalah datang dari mata
binatang hutan, menyala terang di tengah gelap. Entah itu binatang berbahaya
atau tidak. Ratusan nyamuk membungkus kepala, juga binatang kecil yang melata
di tanah, tubuhnya menjadi sasaran empuk.
Aku
akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Berkali-kali Shinta mendesiskan mantra itu,
kalimat sama yang dulu dia ucapkan saat menemani Rama terusir empat belas
tahun, juga saat di taman Asoka. Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Shinta
menyeka mata. Dia sudah berhenti menangis sejak tadi, dia menyeka mata karena
sedang memastikan mahkluk apa yang terlihat mengerikan dan telah menghadangnya
di depan.
Itu
seekor beruang raksasa.
Mengaum
merobek malam.
Shinta
berseru pias, bergegas balik kanan, terseok-seok berusaha melarikan diri.
Beruang
itu mengejarnya, membuat rebah jimpah semak belukar, pohon-pohon kecil patah.
Shinta semakin panik, bajunya robek di sana sini tersangkut ranting. Tidak, dia
tidak akan berakhir malam ini, masa ujiannya masih panjang, dia harus bisa
menyelamatkan diri.
Beruang
itu semakin dekat, dengus nafasnya terdengar menakutkan, air liurnya terpercik
kemana-mana, dan jarinya dengan kuku-kuku yang tajam mencakar kesana kemari,
buas mengejar tubuh ringkih Shinta yang justeru kembali tersungkur, kakinya
tersangkut akar lagi, dan kali ini Shinta tidak bisa berdiri lagi, nafasnya
tersengal hampir habis, Shinta terdesak sudah, menoleh, menatap jerih beruang
raksasa yang siap menerkam, merobek-robek tubuhnya.
Persis
sepersekian detik kuku-kuku itu menyentuh wajahnya, dari balik pepohonan yang
gelap, melesat belasan panah. Cepat sekali kejadian itu, dan sebelum Shinta
sempat membuka matanya yang terpejam ketakutan, bersiap menjemput ajal, beruang
raksasa itu telah tumbang.
Adalah
Resi Walmiki yang menyelamatkannya. Seorang Resi paling arif dan bijak di jaman
itu. Resi inilah yang kelak menuliskan syair kisah-kisah Ramayana. Malam itu,
bersama belasan murid padepokannya, mereka sedang melintas pulang dari
perjalanan jauh, tidak sengaja berpapasan kejadian mengerikan, seorang
perempuan siap diterkam seekor beruang.
Tubuh
terkulai Shinta dibawa ke padepokan Resi Walmiki. Itu sebuah perkampungan
tertutup, jauh di dalam hutan rimba. Ada belasan rumah dari kayu yang berdiri
di dekat air terjun besar. Sawah subur mengitari perkampungan, lembah hijau
yang indah. Sungai mengalir indah dipenuhi ikan-ikan. Resi Walmiki adalah
pertapa yang memiliki kemampuan melihat watak seseorang hanya dengan melihat
wajahnya, maka demi melihat wajah penuh kesedihan Shinta, yang barut oleh luka,
malam itu dengan bijak dia memutuskan menampungnya tanpa bertanya panjang
lebar. Ada banyak keluarga yang tinggal di padepokan itu, anak-anak remaja,
pria dewasa, mereka berseru senang melihat kedatangan penduduk baru.
Tidak
ada penghuni padepokan yang tahu siapa sebenarnya Shinta, kecuali Resi Walmiki.
Mereka adalah murid-murid sederhana yang belajar tentang kebijaksanaan hidup,
bercocok tanam, dan sedikit kemampuan memanah untuk bertahan dari binatang
buas. Dengan segera Shinta berusaha menyesuaikan diri di perkampungan itu.
Apakah
nasib Shinta lebih baik? entahlah, boleh jadi diterkam oleh beruang akan lebih
baik baginya. Lihatlah, meski sekarang dia aman secara fisik tinggal di
perkampungan itu, tapi hatinya terus terluka. Setiap pagi Shinta hanya duduk
termenung menatap air terjun menimpa bebatuan menyanyikan lagu kerinduan.
Shinta sedang mengingat wajah suaminya, wajah pengembara yang salah masuk
bangunan saat hari sayembara. Wajah yang begitu riang saat berhasil menarik
busur Dewa Siwa.
Apakah
nasib Shinta lebih baik? entahlah. Malam-malam Shinta sering menatap langit
penuh bintang. Duhai, bertanya dalam hati sedang apakah suaminya saat ini?
Apakah Rama mulai merindukan dirinya? Seperti dia yang setiap hela nafas
menyebut nama suaminya? Aku akan baik-baik saja, Kakanda. Aku akan mampu
melewati masa-masa pengusiran ini, Shinta berbisik, lantas berharap angin
lembah membawa kalimatnya tiba di ibukota Ayodya yang ratusan kilometer jauhnya.
Hari
demi hari berlalu, bahagia atau tidak, siklus waktu tetap berputar. Perut
Shinta semakin membesar, penduduk padepokan itu diliputi kegembiraan mendengar
kabar penghuni baru mereka akan segera melahirkan. Seorang ibu setengah baya
membantu Shinta melahirkan, dua orang anak kembar, laki-laki, tampan seperti
Ayahnya—yang sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun jauh di tengah hutan
rimba. Shinta memberi nama kedua anak kembarnya: Lawa dan Kusa. Dia dengan air
mata berlinang menciumi dua bayi yang lahir di tanah pembuangan itu. Berbisik,
semua akan baik-baik saja, Ibumu dan kalian berdua akan kuat, Nak.
Hari
demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu terus berputar. Meski
masih sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air terjun, dengan hadirnya
si kembar, suasana hati Shinta jauh lebih baik. Dia punya kesibukan. Dan tanpa
terasa, bagai sebutir batu jatuh, waktu berlalu amat cepat, dua anak kembar itu
tumbuh sehat. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tidak pernah Resi Walmiki memiliki
murid sepintar mereka berdua, menguasai syair-syair panjang kebijaksanaan orang
dewasa.
Lawa
dan Kusa juga tumbuh menjadi ksatria yang baik. Sekecil itu, mereka adalah
pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi Walmiki
menghadiahkan busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata mematikan
dibanding busur Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan rahasia
tersendiri.
Apakah
keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh membanggakan?
Sebaliknya,
Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa sepuluh tahun pengusiran itu
hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan, apakah suaminya masih ingat
istrinya yang terusir di hutan rimba? Apakah suaminya masih merindukannya?
Shinta menyeka ujung mata, dia tidak akan menangis, sungguh aku tidak akan
menangis, oh Ibu, itu janjinya dulu.
Tetapi
saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah, suaminya Rama ternyata
tidak kunjung menjemputnya. Duhai, amat menyedihkan melihat Shinta berdiri
termangu sepanjang hari, menatap pintu gerbang padepokan, berharap rombongan
pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput. Satu derap suara langkah kaki
kuda milik penghuni perkampungan pun sudah membuat Shinta terlonjak, apakah
itu? Apakah itu? Satu suara desir orang datang sudah membuat Shinta berseru
tertahan, apakah itu? Apakah itu Rama yang menjemputnya.
Malang
sekali nasib Shinta, jangankan rombongan yang akan menjemput, datang menyibak
pepohonan rapat yang mengelilingi perkampungan, kabar baik secuil pun tidak
datang dari ibukota Ayodya. Tidak ada.
“Tidurlah,
anakku.” Resi Walmiki berkata takjim, “Ini sudah lewat tengah malam, tidak baik
sendirian di anak tangga.”
Shinta
menggeleng kuat-kuat. Tidak, dia akan berdiri di sini hingga suaminya tiba. Dia
tidak mau sedang tertidur saat Rama datang menjemputnya. Sama persis saat di
taman Asoka dulu, dia tidak mau sedetikpun lalai mengingat Rama. Dia harus
terjaga, lantas tersenyum riang menyambut suaminya.
“Tidak
akan ada yang datang malam ini, anakku.” Resi Walmiki mendesah pelan, menghela
nafas panjang penuh kesedihan, “Suamimu tidak akan datang menjemput.”
Tidak.
Itu sungguh tidak benar. Shinta menjerit dalam hati. Menolak untuk percaya.
Mereka sepasang kekasih abadi, dia akan selalu mencintai suaminya, dan Rama
akan selalu mencintainya. Resi Walmiki berdusta.
Resi
Walmiki menghela nafas panjang lagi. Menatap langit yang dipenuhi bintang
gemintang. Baiklah, dia mengalah, membiarkan Shinta terus menunggu di anak
tangga, menatap kegelapan gerbang perkampungan. Rama tidak akan pernah
menjemput istrinya, Resi Walmiki tahu hal itu, karena beberapa bulan lalu, dia
sendiri yang diam-diam datang ke istana Ayodya, menyamar seperti resi
kebanyakan, menatap wajah Rama. Hanya butuh sekejap saling bersitatap, dia
segera tahu, Paduka Raja yang gagah perkasa itu, amat ringkih hatinya. Paduka
Raja yang berhasil mengalahkan Rahwana, raja raksasa, itu, amat lapuk hatinya.
Apakah Rama masih mencintai Shinta? Tentu saja. Cinta itu sama besarnya seperti
saat mereka pertama kali bertemu dulu. Tetapi cinta tanpa disertai kepercayaan,
maka ibarat meja kehilangan tiga dari empat kaki-kakinya, runtuh menyakitkan.
Sepuluh
tahun berlalu, Rama tidak pernah kunjung berhasil memadamkan api kecurigaan,
prasangka buruk pada istrinya sendiri, dan itu semakin rusak oleh mudahnya dia
percaya bisik-bisik kotor orang di sekitarnya. Apakah Rama tahu ini hari
penghabisan masa pembuangan Shinta? Dia bahkan setiap saat menghitung hari,
tidak sabaran. Apakah Rama masih rindu kepada istrinya? Dia bahkan setiap saat
menyebut nama istrinya. Tetapi resah, curiga, menghapus itu semua. Sia-sia
Shinta menunggu suaminya datang, bagai menunggu nasi tanak menjadi matang tanpa
api di bawah periuknya.
Satu
hari berlalu. Satu minggu. Satu bulan, bahkan sekarang satu tahun lebih, Shinta
mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya kurus kering, dia
menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok oleh kesedihan. Kecantikan
itu masih banyak tersisa, tapi pengharapan yang tak kunjung usai menghabisi
banyak hal.
Penghuni
padepokan juga ikut sedih menyaksikan Shinta yang terus menunggu. Dua anak
kembarnya yang setahun terakhir terus bertanya-tanya kenapa, ada apa gerangan
Ibunya terlihat sedih berkepanjangan, juga ikut sedih. Dan kapiran urusan,
persis usia mereka menginjak dua belas tahun, Lawa dan Kusa menemukan catatan
milik Resi Walmiki, syair tentang Rama dan Shinta, kisah awal Ramayana.
Dua
anak kembar itu tahu.
Mereka
terpukul. Celakanya, tak seorangpun tahu rahasia besar yang paling mengerikan
dari busur Dewa Brahma milik si kembar adalah: kebencian. Busur itu akan
berlipat-lipat kali menjadi lebih hebat saat dipegang oleh orang yang memiliki
alasan kebencian yang sah, berhak, dan direstui terbalaskan.
Apalagi
yang mereka miliki sekarang selain kebencian yang menggunung? Mereka tahu, Ibu
mereka dibuang sepuluh tahun oleh Ayahnya sendiri hanya karena prasangka. Tidak
cukupkah semua pengorbanan Ibunya selama ini? Tidak cukupkah ujian api suci
yang bahkan bisa membakar seorang dewa pendusta? Sekarang, saat masa pembuangan
itu telah berlalu, tidak tergerakkah hati Ayahnya datang menjemput?
Lawa
dan Kusa menggenggam tangan satu sama lain. Lawa dan Kusa sambil menyeka air
mata, bersumpah membalas perlakuan Ayahnya terhadap Ibu mereka. Dua anak itu,
baru dua belas tahun, tapi mereka mewarisi darah ksatria terbaik jaman itu,
darah Ayah yang amat mereka benci. Dan mereka memiliki busur Dewa Brahma, yang
walaupun diciptakan oleh dewa penjaga ketertiban, berubah seratus delapan puluh
derajat merusaknya saat digunakan dengan kebencian.
Hari
itu juga, bagai angin puting beliung Lawa dan Kusa berangkat meninggalkan
padepokan tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka menyerbu satu demi satu kota
kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan kerajaan Kosala
bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah kue besar. Benteng
pertahanan kerajaan Kosala berjatuhan, keributan besar terdengar hingga ibukota
Ayodya. Dua anak kembar itu mengamuk. Tidak ada yang menyangka kerusakan
sebesar itu bisa dilakukan oleh mereka.
Demi
mendengar terbetik kabar peperangan besar di perbatasan kerajaan, tanpa tahu
siapa si kembar itu, Rama memutuskan mengirim pasukan besar dipimpin Hanoman.
Sia-sia, Lawa dan Kusa bukan tandingan Hanoman. Mereka berdua melepas satu anak
panah yang seketika terpecah belah menjadi jutaan anak panah, bagai hujan deras
turun dari langit menerpa pasukan Hanoman, tidak terbayangkan, panglima perang
bangsa Rawana dikalahkan begitu mudah oleh dua anak berusia dua belas tahun.
Rama
berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang didengarnya. Dia
memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala berkumpul di ibukota Ayodya,
bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.
Kecamuk
besar kerajaan Kosala akhirnya tiba di padepokan yang tertutup dari kabar luar.
Shinta yang bahkan tidak menyadari dua anaknya pergi, masih berkutat dengan
kesedihan menunggu suaminya, berseru panik saat Resi Walmiki membawa kabar
buruk itu. Oh Ibu, anakku, anak-anakku Lawa dan Kusa, apa yang akan mereka
lakukan? Kerusakan apa yang telah mereka perbuat? Seberapa besar kebencian itu?
Shinta
menaiki seekor kuda, ditemani oleh Resi Walmiki, mereka pergi menyusul ke
ibukota, mereka harus mencegah pertempuran besar kedua sepanjang sejarah
daratan India sejak duel melawan Rahwana itu terjadi. Shinta menggebah kudanya
agar bergerak lebih kencang, dia tidak boleh datang terlambat.
Sementara
di halaman istana, ratusan ribuan prajurit Ayodya berbaris menunggu perintah.
Raja mereka yang gagah perkasa, Rama, berdiri di singgasana, busur Dewa Siwa
terpasang di punggung. Ketakutan mencekam seluruh Ayodya. Penduduk gemetar,
kabar tentang kehebatan dua anak itu membuat cemas, meskipun itu tidak
mengurungkan mereka pergi ke halaman istana, berduyun-duyun hendak menonton
pertempuran—tabiat lama orang-orang Ayodya, ingin tahu urusan apapun.
Matahari
tiba di puncaknya saat Lawa dan Kusa memasuki gerbang kota Ayodya. Nafas
prajurit dan rakyat jelata tertahan. Lawa dan Kusa melangkah menyibak pasukan,
debu mengepul dari bawah kaki mereka. Busur hadiah Dewa Brahma terpentang
kencang-kencang dengan anak panah mengacung ke depan. Aura mengerikan keluar
dari wajah mereka.
Bagaimana
mungkin? Dua anak kembar ini? Masih kecil sekali, bahkan seperti anak-anak yang
bermain di sekitar rumah. Siapa mereka sesungguhnya? Dan yang membuat helaan
nafas prajurit dan penduduk Ayodya semakin tertahan, Dua anak kembar itu datang
sambil menyanyikan lagu itu, lagu prosesi ujian milik Ibunya:
“Dusta
takkan bercampur dengan jujur
Hina takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan
pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan
gadis hina”
Duhai,
siapakah dua anak kembar ini? Apa yang mereka inginkan? Dendam kesumat apa yang
hendak mereka balaskan ke seluruh Ayodya? Rakyat bersitatap satu sama lain, perasaan
takut tetap dikalahkan oleh tabiat bisik-bisik ingin tahu mereka.
Rama berdiri dari
singgasananya. Menyiapkan busur dan anak panah miliknya. Pertempuran besar ini
tidak bisa dielakkan, musuh tidak memberikan kesempatan negosiasi, dua anak
kecil di halaman istana justeru datang dengan senjata teracung sempurna.