Judul Novel : Kau, Aku,
dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 978 – 979 – 22 – 7913 – 9
Harga : Rp 72.000
Surat bersampul merah,
dilem rapi, dan tanpa nama itulah muasal seluruh cerita.
Kisah manis berlatar kota Pontianak yang mengalir indah semulus aliran sungai
kapuas. Tidak dipaksakan dan jauh dari kesan cengeng novel cinta yang banyak
berjejalan di toko buku.
Tak muluk-muluk, novel
ini berkisah tentang Borno. Seorang pemuda 22 tahun yang tinggal
di sebuah gang sempit. Tidak kaya, tidak juga terlalu tampan, hanya tamatan SMA
dan tinggal di sebuah kota bernama pontianak. Biasa dan ‘sepertinya’ tidak
istimewa. Namun, sungguh ialah bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian
kapuas.
Kisah ini bermula
ketika Borno kecil yang baru berusia 12 tahun mengalami hari terburuk dalam
hidupnya. Saat ketika sang bapak, nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung
keluarga harus menemui ajalnya akibat tersengat ubur-ubur. Dan sebelum semuanya
benar-benar berakhir, bapak Borno mengambil keputusan terhebat dalam hidupnya.
beliau mendonorkan jantungnya, bahkan tanpa meminta sesen pun imbalan. Dan
Borno... sempurna mewarisi kebaikan hati dan ketulusan bapaknya.
Setamat SMA, Borno
tidak melanjutkan kuliyah karena masalah biaya. Maka dimulailah daftar panjang
riwayat pekerjaannya; dari mulai bekerja di pabrik karet yang baunya menyengat
bahkan sampai radius ratusan meter, lanjut melamar ke kantor syahbandar Pontianak
untuk kemudian dirujuk ke dermaga feri sebagai penjaga palang masuk, jadi
penjaga SPBU, dan 6 bulan bekerja serabutan di warung, toko kelontong,
memperbaiki genteng, toilet mampet, bahkan mencari kucing hilang. Namun
semuanya hanya lalu, tak ada yang bertahan. Dan itu menuntunnya kepada takdir
yang akan mempertemukannya dengan cinta sejati, di atas sebuah perahu kayu
berjuluk sepit. Borno akhirnya menjadi pengemudi sepit, meski itu bertentangan
dengan harapan bapaknya semasa hidup.
“sungguh, meski melanggar
wasiat bapak, aku berjanji akan jadi orang baik, setidaknya akuu tidak akan
mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa bekerja keras-meski akhirnya
hanya jadi pengemudi sepit.”
Itulah janji Borno,
janji yang akan selalu ditepatinya. Janji yang tak sekalipun akan dilanggar
selama hidupnya, karena tentu saja; Borno adalah bujang berhati paling lurus di
sepanjang tepian kapuas. Kerja keras, keteguhan hati, dan kejujurannya akan
kehidupan inilah yang kelak akan membawanya pada kebahagiaan. Karena setidaknya,
keteguhan Borno ini membuktikan satu hal;
“sepanjang kau mau
bekerja, kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda
berpendidikan di negeri ini lebih senang menganggur dibanding bekerja seadanya.
Gengsi, dipikirnya tidak pantas dengan ijasah yang dia punya.”
Sepit (dari kata speed)
adalah perahu kayu dengan panjang lima meter, lebar satu meter, dengan tempat
duduk melintang dan bermesin tempel. Salah satu alat transportasi penting di
pontianak. Dan disanalah Borno menemukan takdirnya.
Adalah mei,
satu-satunya gadis berbaju kurung kuning yang memilih untuk tetap duduk persis
di haluan depan sambil mengembangkan payung tradisional berwarna merah, ketika
seisi sepit cemas dan memilih turun dari sepit Borno dihari pertamanya
mengemudikan sepit. Gadis sendu menawan, sang pemilik surat bersampul merah
yang tertinggal di dasar sepit.
Mei yang merupakan
gadis peranakan cina itu adalah guru di sebuah yayasan. Bersamanya, borno
merasakan warna warni kehidupan cinta. Sejenis virus aneh yang kerap menjangkiti
hati. membuat hati terbolak-balik, sekejap mendung dan sekejap kemudian berubah
terang benderang. Kadang terasa manis tak terkira dan kadang pahitnya bisa
membuat badan ikut sakit, nafas terasa berat, dan hari terasa suram. Sepi
ditengah keramaian dan sebaliknya, ramai ditengah kesepian.
Kisah cinta yang apik
tanpa harus memaksakan cerita kelewat sedih atau terlalu gombal. Segalanya
tampak natural dan apa adanya. Sensasi cinta pertama yang lugu, membuat kita
tersenyum saat membacanya. Dari mulai aksi kejar-kejaran dengan boat putih,
ketika Borno harus meneguhkan hati berhari-hari sekedar untuk menanyakan nama,
bahkan ketika Borno bertingkah bodoh; susah payah mengatur waktu agar bisa
menempatkan sepitnya diantrian nomor tiga belas--demi obsesi bodohnya mengantar
mei menyebrangi kapuas setiap hari.
“Aku tidak berani
secara langsung menatapnya, aku ingin berlama-lama mencuri pandang. karena aku
tidak berani menegur, apalagi mengajak berkenalan, aku ingin sekedar berada
dekat-dekat dengannya. Entah perasaan seperti apa yang yang memenuhi kepala.
Rasanya menyenangkan jika aku bisa melihatnya setiap hari, melihat wajahnya
saat melangkah ke atas sepit, senyum manisnya saat disapa orang-orang sekitar,
atau raut mukanya saat berbaris di antrean atau duduk di atas sepit.”
Tentu tak selamanya
cinta pertama Borno itu berjalan mulus, ketika Mei secara sepihak membatalkan
janji tanpa kata, ketika Mei tiba-tiba menghilang tanpa kabar, ketika Mei
berulang kali menolak menemui Borno, bahkan ketika gadis itu menulis sepatah
kalimat yang dengan telak menghanccurkan hati Borno.
“Maafkan aku abang,
seharusnya aku tidak pernah menemui abang!”
Tentu saja semua itu
bukan tanpa alasan. Mei terbebani perasaan bersalah dari masa silam, dan itulah
yang tidak diketahui Borno. Untuk apa gadis itu meninggalkan kotanya dan
memilih magang di Pontianak juga mengapa wajah cantik itu selalu terlihat
sendu. Butuh waktu lama ~hampir setahun~ untuk tahu bahwa jawaban semua
pertanyaan itu ada di dalam sepucuk surat bersampul merah, dilem rapi, dan
tanpa nama yang dahulu tertinggal di sepitnya. Angpau merah yang hingga kini
masih tersimpan rapi di lemarinya.
“Hingga penjelasan itu
datang, semua menjadi lebih jernih, berjanjilah, abang akan tetap mengurus
bengkel itu, aku berjanji akan terus menjadi guru yang baik. Berjanjilah, abang
juga akan memulai kesempatan baru, bertemu gadis baik lain misalnya, abang
berhak menndapatkan yang lebih baik, bukan seseorang yang dibebani masa lalu.
Berjanjilah abang, hingga hari itu tiba, baik atau buruk hasilnya,sesuai atau
tidak sesuai dengan harapan, Abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari,
terus menjadi bujang dengan hati paling lurus
di sepanjang tepian Kapuas. Aku harus pergi, abang. Selamat tinggal”
Dan untuk kesekian
kalinya, Borno menepati janjinya. Menepati seluruh harapan gadis itu. Borno tak
lantas jatuh terpuruk dilanda rindu. Ia terus mengurus bengkelnya, tetap
mengemudi sepit, bahkan melanjutkan kuliyah seperti mimpinya dulu.
Ringkasan cerita ini
mungkin tak cukup bahkan untuk memuat seperseratus pesan dari kisah ini. Karna
sungguh novel ini adalah ladang pembelajaran hidup, bukan sekedar kisah cinta
biasa yang banjir air mata. Akan ada banyak sekali pelajaran yang bisa kita
ambil dari seorang Borno yang tulus dan lurus, tentang baktinya kepada ibunya,
tentang pemahamannya akan hakikat cinta (Borno tak pernah bisa menggombal) dan
keteguhan, tentang kerja keras dan semangat untuk bangkit, juga tentang Borno
yang selalu bersabar... selalu mengalah dan menahan amarah. Kita bisa belajar
dari Andi, sahabat baik Borno yang terkadang suka usil, namun ia selalu ada
untuk berbagi, berkeluh kesah, seorang teman baik yang mengajarkan kita akan
arti persahabatan. Juga dari Bang togar yang merupakan ketua PPSKT, meskipun selalu saja menyebalkan dan sok
berkuasa, bang togar adalah sosok pemimpin yang perhatian pada anggotanya,
setia kawan, dan peduli pada sekitarnya. Selain itu, kita bisa belajar dari
dokter Sarah yang periang, selalu menghadapi segalanya dengan senyuman. Juga Mei yang baik
hati dan tulus mendidik anak-anak dengan sepenuh hati.
Namun diatas segalanya,
kita selalu bisa memetik banyak hikmah dari kalimat-kalimat indah Pak Tua
dengan “rahasia-rahasia kecilnya” yang menakjubkan;
“kau tau, orang paling
bersyukur di dunia ini adalah orang yang selalu makan dengan tamunya.
Sebaliknya, orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja
mengeluhkan makanan di hadapannya.”
“ah, tidak ada yang
lebih indah dibanding masa muda. Ketika kau bisa berlari secepat yang kau mau,
bisa merasakan perasaan sedalam yang kau inginkan, tanpa takut terkena penyakit
atas semua itu.”
“perasaan adalah
perasaan, meski secuil. Walau setitik hitam ditengah lapangan putih luas. Dia
bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan
semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa mengubah hari mu
dalam sekejap.”
“kuberitahu kau sebuah
rahasia kecil, sembilan dari sepuluh kecemasan itu muasalnya hanyalah imajinasi
kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. Nyatanya seperti itu?
Boleh jadi tidak.”
“Kalian tahu, cinta itu
seperti musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari
meskipun musiknya telah lama berhenti.”
“Cinta sejati laksana
sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama
semakin besar karna semakin banyak anak sungai perasaan yang bertemu. Cinta
sejati adalah perjalanan. Cinta sejati tak pernah memiliki ujung, tujuan,
apalagi hanya sekedar muara! Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di
gunung-gunung tinggi dan kembali menjadi ribuan anak sungai perasaan, lantas
menyatu menjadi kapuas. Itu siklus yang tak pernah berhenti, begitu pula
cinta.”
“Camkan Andi, bahwa
cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian ingatlah baik-baik, kau selalu
bisa memberi tanpa sedikitpun rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah
bisa mencintai tanpa selalu memberi.”
“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib,
takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang
dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir,
cemas, serta berbagai perangai norak lainnya…. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan.”
“Kau lupa, Borno. Kalau hati kau sedang banyak pikiran, gelisah, kau selalu
punya teman dekat. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan sebaliknya tambah
kauabaikan. Nah,
itulah tips terhebatnya. Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik,
maka semua akan lebih ringan.”
“Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau diracuni
harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu, menyakitkan.”
“Jangan sekali-kali kaubiarkan prasangka jelek, negatif, buruk, apalah
namanya itu muncul di hati kau. Dalam urusan ini, selalulah berprasangka
positif. Selalulah berharap yang terbaik.”
Dan masih banyak lagi petuah cinta ala Pak Tua yang bisa mengajarkan kita
hakikat cinta dan kehidupan dari sudut pandang yang amat berbeda. Buku yang
sungguh luar biasa, bukan sekedar cinta dan melulu cinta. Bukan novel fantasi
menakjubkan yang membuat pembaca berdecak kagum, melainkan sepotong kisah dari
gang sempit tepian kapuas yang akan membuat pembaca tersenyum lega. Tentang
seorang pengemudi sepit yang menjalani hidup dengan indah.
“Ada tujuh milyar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka
pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu milyar lebih cerita cinta. Akan ada
setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam
setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan
dunia mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan
perasaannya.
Apakah Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau
Merah ini sama spesialnya dengan miliaran cerita cinta lain? Sama istimewanya
dengan kisah cinta kita? Nah, setelah tiba di halaman terakhir, sampaikan,
sampaikan kemana-mana seberapa spesial kisah cinta ini. Ceritakan kepada
mereka.”
(Sulistya Ningrum, Jakarta)