Rabu, 20 Juni 2012

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.


http://media.tumblr.com/tumblr_m0gj0j4EOa1qb7t48.jpgJudul Novel : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 978 – 979 – 22 – 7913 – 9
Harga : Rp 72.000
Surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama itulah muasal seluruh cerita. Kisah manis berlatar kota Pontianak yang mengalir indah semulus aliran sungai kapuas. Tidak dipaksakan dan jauh dari kesan cengeng novel cinta yang banyak berjejalan di toko buku.
Tak muluk-muluk, novel ini berkisah tentang Borno. Seorang pemuda 22 tahun yang tinggal di sebuah gang sempit. Tidak kaya, tidak juga terlalu tampan, hanya tamatan SMA dan tinggal di sebuah kota bernama pontianak. Biasa dan ‘sepertinya’ tidak istimewa. Namun, sungguh ialah bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian kapuas.
Kisah ini bermula ketika Borno kecil yang baru berusia 12 tahun mengalami hari terburuk dalam hidupnya. Saat ketika sang bapak, nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga harus menemui ajalnya akibat tersengat ubur-ubur. Dan sebelum semuanya benar-benar berakhir, bapak Borno mengambil keputusan terhebat dalam hidupnya. beliau mendonorkan jantungnya, bahkan tanpa meminta sesen pun imbalan. Dan Borno... sempurna mewarisi kebaikan hati dan ketulusan bapaknya.
Setamat SMA, Borno tidak melanjutkan kuliyah karena masalah biaya. Maka dimulailah daftar panjang riwayat pekerjaannya; dari mulai bekerja di pabrik karet yang baunya menyengat bahkan sampai radius ratusan meter, lanjut melamar ke kantor syahbandar Pontianak untuk kemudian dirujuk ke dermaga feri sebagai penjaga palang masuk, jadi penjaga SPBU, dan 6 bulan bekerja serabutan di warung, toko kelontong, memperbaiki genteng, toilet mampet, bahkan mencari kucing hilang. Namun semuanya hanya lalu, tak ada yang bertahan. Dan itu menuntunnya kepada takdir yang akan mempertemukannya dengan cinta sejati, di atas sebuah perahu kayu berjuluk sepit. Borno akhirnya menjadi pengemudi sepit, meski itu bertentangan dengan harapan bapaknya semasa hidup.
“sungguh, meski melanggar wasiat bapak, aku berjanji akan jadi orang baik, setidaknya akuu tidak akan mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa bekerja keras-meski akhirnya hanya jadi pengemudi sepit.”
Itulah janji Borno, janji yang akan selalu ditepatinya. Janji yang tak sekalipun akan dilanggar selama hidupnya, karena tentu saja; Borno adalah bujang berhati paling lurus di sepanjang tepian kapuas. Kerja keras, keteguhan hati, dan kejujurannya akan kehidupan inilah yang kelak akan membawanya pada kebahagiaan. Karena setidaknya, keteguhan Borno ini membuktikan satu hal;
“sepanjang kau mau bekerja, kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini lebih senang menganggur dibanding bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya tidak pantas dengan ijasah yang dia punya.”
Sepit (dari kata speed) adalah perahu kayu dengan panjang lima meter, lebar satu meter, dengan tempat duduk melintang dan bermesin tempel. Salah satu alat transportasi penting di pontianak. Dan disanalah Borno menemukan takdirnya.
Adalah mei, satu-satunya gadis berbaju kurung kuning yang memilih untuk tetap duduk persis di haluan depan sambil mengembangkan payung tradisional berwarna merah, ketika seisi sepit cemas dan memilih turun dari sepit Borno dihari pertamanya mengemudikan sepit. Gadis sendu menawan, sang pemilik surat bersampul merah yang tertinggal di dasar sepit.
Mei yang merupakan gadis peranakan cina itu adalah guru di sebuah yayasan. Bersamanya, borno merasakan warna warni kehidupan cinta. Sejenis virus aneh yang kerap menjangkiti hati. membuat hati terbolak-balik, sekejap mendung dan sekejap kemudian berubah terang benderang. Kadang terasa manis tak terkira dan kadang pahitnya bisa membuat badan ikut sakit, nafas terasa berat, dan hari terasa suram. Sepi ditengah keramaian dan sebaliknya, ramai ditengah kesepian.
Kisah cinta yang apik tanpa harus memaksakan cerita kelewat sedih atau terlalu gombal. Segalanya tampak natural dan apa adanya. Sensasi cinta pertama yang lugu, membuat kita tersenyum saat membacanya. Dari mulai aksi kejar-kejaran dengan boat putih, ketika Borno harus meneguhkan hati berhari-hari sekedar untuk menanyakan nama, bahkan ketika Borno bertingkah bodoh; susah payah mengatur waktu agar bisa menempatkan sepitnya diantrian nomor tiga belas--demi obsesi bodohnya mengantar mei menyebrangi kapuas setiap hari.
“Aku tidak berani secara langsung menatapnya, aku ingin berlama-lama mencuri pandang. karena aku tidak berani menegur, apalagi mengajak berkenalan, aku ingin sekedar berada dekat-dekat dengannya. Entah perasaan seperti apa yang yang memenuhi kepala. Rasanya menyenangkan jika aku bisa melihatnya setiap hari, melihat wajahnya saat melangkah ke atas sepit, senyum manisnya saat disapa orang-orang sekitar, atau raut mukanya saat berbaris di antrean atau duduk di atas sepit.”
Tentu tak selamanya cinta pertama Borno itu berjalan mulus, ketika Mei secara sepihak membatalkan janji tanpa kata, ketika Mei tiba-tiba menghilang tanpa kabar, ketika Mei berulang kali menolak menemui Borno, bahkan ketika gadis itu menulis sepatah kalimat yang dengan telak menghanccurkan hati Borno.
“Maafkan aku abang, seharusnya aku tidak pernah menemui abang!”
Tentu saja semua itu bukan tanpa alasan. Mei terbebani perasaan bersalah dari masa silam, dan itulah yang tidak diketahui Borno. Untuk apa gadis itu meninggalkan kotanya dan memilih magang di Pontianak juga mengapa wajah cantik itu selalu terlihat sendu. Butuh waktu lama ~hampir setahun~ untuk tahu bahwa jawaban semua pertanyaan itu ada di dalam sepucuk surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama yang dahulu tertinggal di sepitnya. Angpau merah yang hingga kini masih tersimpan rapi di lemarinya.
“Hingga penjelasan itu datang, semua menjadi lebih jernih, berjanjilah, abang akan tetap mengurus bengkel itu, aku berjanji akan terus menjadi guru yang baik. Berjanjilah, abang juga akan memulai kesempatan baru, bertemu gadis baik lain misalnya, abang berhak menndapatkan yang lebih baik, bukan seseorang yang dibebani masa lalu. Berjanjilah abang, hingga hari itu tiba, baik atau buruk hasilnya,sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, Abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari, terus menjadi bujang dengan hati paling lurus  di sepanjang tepian Kapuas. Aku harus pergi, abang. Selamat  tinggal”
Dan untuk kesekian kalinya, Borno menepati janjinya. Menepati seluruh harapan gadis itu. Borno tak lantas jatuh terpuruk dilanda rindu. Ia terus mengurus bengkelnya, tetap mengemudi sepit, bahkan melanjutkan kuliyah seperti mimpinya dulu.
Ringkasan cerita ini mungkin tak cukup bahkan untuk memuat seperseratus pesan dari kisah ini. Karna sungguh novel ini adalah ladang pembelajaran hidup, bukan sekedar kisah cinta biasa yang banjir air mata. Akan ada banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari seorang Borno yang tulus dan lurus, tentang baktinya kepada ibunya, tentang pemahamannya akan hakikat cinta (Borno tak pernah bisa menggombal) dan keteguhan, tentang kerja keras dan semangat untuk bangkit, juga tentang Borno yang selalu bersabar... selalu mengalah dan menahan amarah. Kita bisa belajar dari Andi, sahabat baik Borno yang terkadang suka usil, namun ia selalu ada untuk berbagi, berkeluh kesah, seorang teman baik yang mengajarkan kita akan arti persahabatan. Juga dari Bang togar yang merupakan ketua PPSKT,  meskipun selalu saja menyebalkan dan sok berkuasa, bang togar adalah sosok pemimpin yang perhatian pada anggotanya, setia kawan, dan peduli pada sekitarnya. Selain itu, kita bisa belajar dari dokter Sarah yang periang, selalu menghadapi segalanya dengan senyuman. Juga Mei yang baik hati dan tulus mendidik anak-anak dengan sepenuh hati.
Namun diatas segalanya, kita selalu bisa memetik banyak hikmah dari kalimat-kalimat indah Pak Tua dengan “rahasia-rahasia kecilnya” yang menakjubkan;
“kau tau, orang paling bersyukur di dunia ini adalah orang yang selalu makan dengan tamunya. Sebaliknya, orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya.”
“ah, tidak ada yang lebih indah dibanding masa muda. Ketika kau bisa berlari secepat yang kau mau, bisa merasakan perasaan sedalam yang kau inginkan, tanpa takut terkena penyakit atas semua itu.”
“perasaan adalah perasaan, meski secuil. Walau setitik hitam ditengah lapangan putih luas. Dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa mengubah hari mu dalam sekejap.”
“kuberitahu kau sebuah rahasia kecil, sembilan dari sepuluh kecemasan itu muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. Nyatanya seperti itu? Boleh jadi tidak.”
“Kalian tahu, cinta itu seperti musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.”
“Cinta sejati laksana sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar karna semakin banyak anak sungai perasaan yang bertemu. Cinta sejati adalah perjalanan. Cinta sejati tak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara! Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi dan kembali menjadi ribuan anak sungai perasaan, lantas menyatu menjadi kapuas. Itu siklus yang tak pernah berhenti, begitu pula cinta.”
“Camkan Andi, bahwa cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian ingatlah baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikitpun rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi.”
“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya…. Jika berjodoh, Tuhan s­­­endiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan.”
“Kau lupa, Borno. Kalau hati kau sedang banyak pikiran, gelisah, kau selalu punya teman dekat. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan sebaliknya tambah kauabaikan. Nah, itulah tips terhebatnya. Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan.”
“Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu, menyakitkan.”
“Jangan sekali-kali kaubiarkan prasangka jelek, negatif, buruk, apalah namanya itu muncul di hati kau. Dalam urusan ini, selalulah berprasangka positif. Selalulah berharap yang terbaik.”
Dan masih banyak lagi petuah cinta ala Pak Tua yang bisa mengajarkan kita hakikat cinta dan kehidupan dari sudut pandang yang amat berbeda. Buku yang sungguh luar biasa, bukan sekedar cinta dan melulu cinta. Bukan novel fantasi menakjubkan yang membuat pembaca berdecak kagum, melainkan sepotong kisah dari gang sempit tepian kapuas yang akan membuat pembaca tersenyum lega. Tentang seorang pengemudi sepit yang menjalani hidup dengan indah.
Ada tujuh milyar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu milyar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan dunia mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan perasaannya.
Apakah  Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini sama spesialnya dengan miliaran cerita cinta lain? Sama istimewanya dengan kisah cinta kita? Nah, setelah tiba di halaman terakhir, sampaikan, sampaikan kemana-mana seberapa spesial kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka.”
(Sulistya Ningrum, Jakarta)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar