It’s been like 1636782989389873 years since my last
post, but dunno… suddenly I just feel an urge to write something about this,
about a movie that I watch recently even though it actually was out few years
ago. The Great Gatsby by Baz Luhrmann. You know him? Yep, he’s the man behind
Shakespeare’s Romeo + Juliet 1996. Yeah… that ‘Romeo dengan kemeja
kembang-kembang’ XD
Semua berawal ketika gw and gengs lagi duduk-duduk
cantik di McD deket kampus yang kesohor karena memang wifi-nya kenceng (mental
gretongan tak takut mati), jadi sembari ngerjain tugas akhir smester bareng
Vixi dan Baim kenapa gak gw manfaatin waktu aja buat donlot film? Berhubung gw
gak bawa lappy, jadilah si Una yang suruh donlotin. Kenapa pilhan jatuh pada
The Great Gtasby? Karena pertama, gw gak kepikiran film lain, dan kedua…
minggu-minggu itu memang suasananya lagi maraton film2 Om Leo.
Yeah… semenjak kelas dua SD gw tuh semacem ada huge crush
gitu sama Jack Dawson meskipun sekarang Om Leo jelas sudah tak cute lagii
(sigh). Asyik aja kalo inget dulu punya kenangan tentang effort gw yang sampe
bela-belain stay up 2 malem berturut-turut, Cuma demi nonton Titanic yang waktu
itu (kalo ga salah) ditayangin di Indosiar. Apalagi filmnya dipotong jadi dua
bagian dan baru kelar jam 1 malem. Begitulah perjuangan gw berhubung dulu gak
punya VCD (boro-boro donlot) dan gak kenal bioskop pulak. Hiks.
Balik lagi ke The Great Gatsby, ternyata gw baru ngeh
kalo gw udah punya lengkap soundtracknya di almarhum lappy gw yang terdahulu bahkan
sejak film ini belum tayang di bioskop. Beberapa bahkan masih gw hapal kayak
Young and Beautiful nya Lana del Rey dan Church in The Wild nya Jay Z (Jay Z
nggak sih, lupa). Padahal semuanya bukan tipikal lagu yang gw senengin waktu-waktu
itu, tapi entah kenapa tetep gw koleksi. Nah meskipun ost nya lengkap, gw belom
pernah nonton film nya sama sekali. Pertama karena gw shock dan gak bisa nerima
kenyataan kalo Om Leo hanya manusia biasa yang bisa menua (he’s not goblin,
okay!), kedua karena k angger dan k adie yang udah nonton duluan bilang kalo
filmnya rada-rada begitu. I mean… begitu. Bahkan kemarin pas gw bilang mo
donlot film ini, Risma dan Wawa bereaksi … begitu (halahh).
Singkat cerita, selesailah Ujian akhir Semester tujuh
sekaligus ujian terakhir kami dalam upaya menempuh program strata 1 FISIP Moes.
Berempat kita nginep di kostan Wawa, daripada kesiangan dan bolos kerja gw
memutuskan untuk membunuh malam (cieilah) dengan nonton Gatsby sampe pagi. Syukurlah
gw belom pernah baca novelnya, belom pernah juga nonton adaptasi film2 nya yang
dulu-dulu, jadi gak tau what to expect. Gak punya ekspektasi membantu kita buat
lebih attentive pas nonton, dan nerima film yang kita tonton apa adanya (apaan sih?) I mean, kemungkinan untuk kecewa kecil. Right?
Dan… Unexpectedly gw suka film ini. Well that
considered weird, mengingat gw itu orangnya lumayan pemilih soal esensi cerita,
sedangkan the Great Gatsby ini premis nya super-duper-drama. Maklum, karena
film ini memang adaptasi dari Novel klasik tahun 1920an karya Sir F. Scott
Fitzgerald. Sudut pandang penulis mengenai kondisi New York pasca Perang Dunia
I, di masa kejayaan Wall Street dan ekonomi dunia yang disebut The Roaring
Twenties, disampaikan melalui narasi Nick Carraway (Tobey Maguire). Nick bercerita tentang New York saat itu dengan gaya
hidup masyarakatnya, matrealisme, kebobrokan moral dan politik, drug and
liquors, stigma, pesta-pesta gemerlap juga social gap and inequality saat itu.
Adegan dibuka dengan gambaran Nick yang mengalami
depresi berat sepulang dari New York, padahal awalnya ia berangkat ke kota itu
untuk mengejar impiannya yang ambisius dengan berjualan obligasi. Kepada
psikiater nya Nick menceritakan bahwa seluruh peristiwa yang ia saksikan di
sana sepanjang musim panas itu membuatnya muak dan jijik. Nick muak pada semua
orang dan segala hal, kecuali Gatsby.
What Gatsby? Ia adalah pemuda misterius berusia 32
tahun yang tiba-tiba muncul dan membeli istana di Long Island. Tak ada yang tau
si Gatsby ini keturunan siapa, darimana uangnya berasal, dan apa tujuannya
mengadakan grand party yang super grand setiap malam di akhir pekan. Yang jelas…
he is suddenly richer than God, they said. Seisi kota New York Cuma datang ke
istana Gatsby, menikmati pesta, dan bersenang-senang sambil menebak-nebak
apakah kekayaan Gatsby hasil korupsi. Sementara Gatsby memandang ke bawah dari
jendela menara rumahnya, berharap menemukan orang yang ia harap akan datang pada
suatu malam.
Karakter Jay Gatsby disini adalah seseorang yang
misterius dan menyimpan banyak rahasia. Bisa dibilang dia itu multi-dimensional
guy. Modest, menyenangkan, ramah, berkelas, idealis, optimis tapi juga pembual,
desperate, inrealistic, dan terkadang awkward. Pokoknya complex. But Leo’s
Potrayal on him was on point. It just… gw gak bisa bayangin aja kalo yang jadi Gatsby
di sini orang lain dan bukan Om Leo. Therefore, I must admit that he is still charming
*disundut Hanbin*.
Nick yang bertetangga dengan Gatsby sering melihat
tetangga kaya nya itu berdiri di dermaga pada malam hari, tangannya seolah
ingin menggapai sesuatu jauh di sana. A green light. Cahaya hijau yang berasal
dari dermaga di seberang teluk. Kediaman keluarga Buchanan. Tempat Daisy sepupu
Nick—sekaligus Gatsby’s lost love—berada. Daisy (Carey Mulligan) the Golden
Girl… that’s what they said, tapi bagi gw Daisy lebih cocok disebut gold
digger. Ugh, I hate her. At least pas pertama kali nonton film ini gw pengen
pukul-pukul tuh jidat nya pake cutter. Tapi setelah keduakali nonton, karakter
Daisy nggak seburuk itu. Nggak bisa dibilang protagonist sih… tapi yah nggak
seburuk itu juga. Pfft.
Karakter Daisy di film ini adalah spoiled-rich girl,
manja, lemah, gak berguna (ini mah sentimen gw kambuh), eh, I mean… she wanted
to be protected. Sama seperti harapannya bahwa putri nya kelak akan menjadi
gadis yang… beautiful and a little fool, seperti itulah Daisy. But she loves
Gatsby, I don’t thing she loves him as much as he loves her… but they do love
each other. Bahkan di pagi hari pernikahannya Daisy sempat berubah pikiran
setelah menerima surat Gatsby, Cuma aja dia lemah. Menurut teman Daisy, Jordan
Baker (Elizabeth Debicky) yang pretty much witness everything, Daisy
benar-benar mencintai suami nya sepulang honeymoon. Daisy berusaha mencintai suaminya
dan melupakan Gtasby, cuma aja karakter suami nya A***ole, jadi viewer pasti
setuju kalo Daisy tuh super stupid for abandoning Gatsby.
The thing is… realita di masa mereka nggak sesimpel
jaman kita sekarang. Bagi Gatsby nggak cukup Cuma jadi selingkuhan Daisy. Dia mau
nikah sama Daisy lewat jalur yang benar. Itulah kenapa dia ngilang pasca PD I,
supaya bisa sukses dan membuktikan kalo statusnya sepadan dengan keluarga
Daisy. Tapi Daisy lebih realistis daripada Gatsby dan obsesi cintanya. Daisy mengerti bahwa hal-hal indah cepat berlalu, dan mereka tak akan
kembali lagi. Memilih
untuk tetap bersama Tom (and his old clean money) lebih aman dari pada Gatsby
yang kekayaannya masih misterius. Still, I hate her. Can’t help it. Apalagi sikap
selfish nya di ending… she ruined everything.
Oh, ngomong-ngomong soal suami Daisy yang tukang selingkuh
itu, Tom Buchanan (Joel Edgerton). Salah satu selingkuhan Tom, Myrtle,
tanteh-tanteh nggilani yang nggilani banget itu kok kayaknya familiar ya? Haha.
Turns out si Myrtle ini Isla Fisher, yang jadi pacarnya Jesse Eisenberg di Now
You See Me. Kaget pek… lipstick menyembunyikan segalanya ya XD
Gw honestly pengen banget ngomentarin sinematografinya (?) yang beautiful banget. Tapi gak tau gimana caranya. Pokoknya transisi
darin satu scene ke scene lainnya gw sukak, narasi nya Nick, backsound nya,
jalinan scene romantis nya, party-party, well… that leave deep impression. Gw bahkan
nggak terganggu dengan pemilihan lagu Hip Hop untuk setting tahun 20an yang
katanya Jazzy. Doesn’t matter selama soundtrack yang dipilih bisa menggambarkan
apa yang mau disampaikan penulisnya. Dan menurut gw di film ini soundtracknya
pas.
Overall esensi cerita The Great Gatsby ini drama
banget. Dramatisasinya luaarrr biasa. Ini bukan film yang biasanya bakal gw
tulis panjang lebar apalagi setelah hiatus nulis lama, tapi apa yang bikin film
ini worthy adalah: feel. Perasaan attached dan semacamnya yang gw juga bingung
kenapa bisa begitu. Kasarnya, film ini tuh seolah-olah cerita nggak penting
yang mengajarkan pelajaran penting: Move On. Tapi kok ya malah gw gak bisa move
on. Hiks.
Film-film nya Baz Luhrmann memang distinct. Itulah kenapa menurut gw jadi
‘aneh’ (in a good way of course). Rasa aneh nya mungkin sama kayak setelah
nonton R&J 2013, Entah kenapa bagi gw malah versi 1996 yang lebih memorable. Padahal
waktu baru pertama kali nonton gw kesel banget ama tu film karena adaptaskinya
yang terkesan ‘nyeleneh’. Mungkin karena saat itu gw belom berpengalaman sama
film kali, yah, sekarang juga masih cetek sih… tapi seenggaknya gw yang sekarang
lebih open-minded. Apalagi waktu itu kita expecting some classic romance, tapi
yang muncul malah versi MTV kali ya… jadi gak klik. Dan lagi kita nontonnya
pake sub indo padahal dialognya diambil dari bahasa buku, jadilah makin aneh. Eniwei
kenapa gw ngelantur lagi bahas R+J???? Ya sudahlah ya, emang kan judulnya
review ngawur.
Om Leo emang spesialis karakter-karakter tragis.
Dan tragisnya, gw kalo nonton film tragis itu nggak
bisa enggak pasti berandai-andai. Andai aja Daisy nggak se-Bitch itu, andai aja
Tom nggak se-Jerk itu, dan andai aja Nick…
Well, karakternya Nick disini berpegang pada nasehat
ayahnya: “always see the best of people!”, maka dari itu Nick menjadi karakter
yang bisa menghubungkan, bisa dipercaya menjaga rahasia, dan tidak mudah
menghakimi orang lain. Tapi sebagai satu-satunya (literally satu-satu nya) orang yang tau
kebenaran semua cerita, at least he could do something for Gatsby. Yeah…
meskipun kalo begitu nggak bakalan jadi cerita sih. Wkwk. Menurut gw karakter
Nick yang sebetulnya baik itu jadi boomerang buat diri nya sendiri. Disaat dia ingin berbuat sesuatu untuk temannya, dia
nggak bisa karena prinsip nya untuk tidak cepat berprasangka, dan bahwa semua
orang punya alasan dibalik tindakannya. Pada akhirnya Nick tersiksa dan memilih
pergi selamanya dari New York, kota yang dipenuhi oleh orang-orang hipokrit.
As for Gatsby, nothing wrong with his optimism really.
Hanya saja duhai kang mas Leonardo DiCaprio…. Merebut istri orang itu tidak
dibenarkan dalam ajaran agama. Wkwkwkwk abaikan. Obsesi nya terhadap cinta sudah diluar
batas. Jay Gatsby memang punya extraordinary gift of hope, dia nggak pernah
patah harapan. It’s just… he’s too naïve for this world, a bit unrealistic. He’s also wrong about the
past, we can’t repeat the past. Benarlah kata tere liye bahwa melepaskan adalah
salah satu cabang dari pohon cinta (tsahhh). Kita nggak akan pernah bisa melihat
masa depan selama masih berharap pada masa lalu (aahh… ini quote guehh XD). Film
ini bukan tentang jatuh cinta, kehilangan, klimax, bersatu lagi, trus hidup happily
ever after. No. Reality is far darker than that. Gatsby taught us that.
Ps: Film ini ternyata nggak terlalu ‘begitu’ kok :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar