Ilustrasi Demokrasi dan Penegakan Hukum (Sumber : https://riesalam.wordpress.com/author/riesalam) |
“Kebenaran pasti menang”
Adalah sebuah frasa yang begitu luas dikenal, baik
sebagai suatu kutipan maupun berupa sebentuk keyakinan. Secara hipotesis
manusia mempercayai bahwa pada akhirnya kebenaran akan menang, karena memang
itulah yang kita inginkan. Akan tetapi yang harus kita pahami adalah kebenaran
tidak mungkin muncul dengan sendirinya, ia menunggu untuk diungkap dan diperjuangkan.
Sayangnya jalan menuju kebenaran seringkali terjal dan berliku.
Apakah kebenaran sudah pasti menang? belum tentu.
Hari ini, 31 Oktober 2017, lebih enam bulan berlalu
sejak terakhir kali Amelia Nasution melangkah melewati gerbang sekolahnya di SMK
Negeri 3 Kota Padang Sidempuan, Sumatra Utara. Ia bukannya sedang ikut
pertukaran pelajar sehingga bisa absent sampai enam bulan, bukan sedang
berpartisipasi dalam olimpiade, maupun sekadar malas sekolah dan ijin tidak
masuk. Amel pergi selamanya. Ia telah memilih melepas impian dan cita-citanya
ketika memutuskan menenggak racun tanaman pada 5 April 2017 silam.
Amel dan dua orang temannya mengetahui tentang
perbuatan curang seorang guru yang membocorkan jawaban Ujian Nasional Berbasis Komputer
(UNBK). Mereka lalu menyuarakannya lewat postingan di media sosial. Perbuatan
ini membuat ketiganya dipanggil dan diinterogasi oleh guru BK dan kedua guru
lain. Kedua teman Amel mengungkap bahwa interogasi yang dilakukan oknum
pendidik tersebut cenderung mengintimidasi, dengan jalan mengancam akan
memenjarakan mereka dan denda 750 juta. Ucapan-ucapan guru mereka saat proses
interogasi yang menimbulkan rasa takut, cemas, dan stress sehingga mendorong
Amel untuk melakukan bunuh diri dapat pula dikategorikan sebagai tindakan bullying
dengan tujuan menutupi kebenaran.
Kejadian nahas ini mau tidak mau menggulirkan kembali ingatan
kita ke pertengahan 2011, ketika publik dikejutkan dengan kasus yang menimpa Ibu
Siami. Warga Gadel, Surabaya ini diusir secara paksa dari rumahnya setelah
melaporkan perbuatan curang seorang guru. Oknum guru tersebut merancang
contek-mencontek yang sistematis ketika ujian dan memaksa Al, putra Ibu Siami,
memberikan contekan kepada teman sekelasnya. Sang guru bahkan merasa cukup
percaya diri untuk menggelar simulasi tentang bagaimana caranya menyebarkan
contekan. Sungguh sebuah kasus unik yang mencerminkan sebagian wajah gelap pendidikan
negeri ini.
Akan tetapi yang lebih unik lagi adalah reaksi
masyarakat ketika kebenaran terungkap. Siami yang tak habis pikir bagaimana hal
seperti itu terjadi di suatu institusi pendidikan lantas protes kepada pihak
sekolah, akan tetapi respon yang diberikan pihak sekolah tidak memuaskan. Oleh
sebab itu, dia melaporkan peristiwa ini kepada Dinas Pendidikan dan media
sehingga kasus ini menjadi perhatian publik. Laporan itu berujung pada
dicopotnya kepala sekolah dan dua guru di sekolah tersebut.
Kejadian selanjutnya justru di luar nalar, warga dan
wali murid yang marah terang-terangan menyalahkan Siami, menganggapnya pembuat
onar dan telah mencoreng nama baik sekolah. Warga bahkan menggeruduk rumahnya
dan menuntut supaya Siami meminta maaf secara terbuka atas perbuatannya. Ironis sekali membayangkan niat tulus Siami menanamkan
kejujuran kepada putranya justru membawa ia sekeluarga berdiri dihadapan
ratusan warga sambil menangis minta maaf. Sayangnya kemarahan warga tak
berhenti di situ. Ratusan massa yang menyemut di balai RW dan sekitarnya bahkan
mengusir keluarga Siami dari rumahnya.
“Usir…usir… tidak punya hati nurani!” begitu teriakan
menghujat yang diucapkan warga dengan penuh emosi. Entahlah apa kita masih
hidup di dunia yang sama, karena sepertinya sekarang kita punya musuh bersama
yang benar-benar baru : kejujuran. Saat itu polisi sampai memutuskan harus
mengevakuasi Siami dan keluarganya dengan mobil patroli karena massa yang
semakin beringas berusaha merangsek dan menarik-narik kerudung Siami. Pada
akhirnya keluarga ini terpaksa diungsikan ke Gresik karena merasa tidak aman
dan dikucilkan di lingkungan rumahnya.
Apa yang terjadi kepada Siami, tentu membuat nyali
ciut. Ketika kejujuran dan keberanian mengungkap kecurangan harus dibayar
begitu mahalnya. Selama menguntungkan semua pihak, kecurangan bukanlah hal
buruk. Ini toh demi kebaikan semua. Sama-sama untung memungkinkan kita
untuk sama-sama diam. Untuk apa mengungkapkan kebenaran yang bisa merugikan?
kubur saja, abaikan. White lie, kata mereka. Berbohong demi kebaikan.
Pertanyaan nya adalah : kebaikan siapa?
Bahkan bagi para orangtua yang buncah memprotes Siami
tak punya hati nurani, apakah berbuat curang seperti ini baik untuk masa depan anak-anak
mereka? Dunia berputar cepat. Persaingan akan semakin ketat. Di masa mendatang
anak-anak ini akan dengan mudah tergilas kompetisi karena memang tidak kompeten
dan parahnya lagi tidak memiliki semangat juang karena mereka terbiasa menang mudah sejak kecil.
Setelah remaja, para orangtua mungkin harus menyuap untuk meluluskan anak-anaknya masuk universitas unggulan. Menyingkirkan
kandidat lain yang lebih pantas. Lalu ketika dewasa orangtua mereka masih juga akan menyogok untuk mendapat pekerjaan, karena sejak awal mereka memang sudah
gagal memenuhi kualifikasi. Jadi
berhentilah mengharapkan pemerintahan diisi oleh pejabat yang jujur dan tidak
korup serta para pelayan masyarakat yang berdedikasi. Kita sendiri yang telah mendidik
generasi muda kita seperti itu, minimal dengan diam saja ketika menyaksikan
kecurangan saat ujian. Siklus ini terus berputar seperti lingkaran setan,
hingga tidak ada lagi kesempatan untuk bakat murni dan kerja keras, menyisakan
budaya korup dan curang yang mengakar.
Anak-anak yang ujiannya saja harus mencontek supaya
bisa lulus tidak akan menjadi apa-apa selain benalu. Merepotkan, dan lebih
parahnya lagi merusak! Disadari atau tidak, menyepelekan kecurangan ‘kecil’
seperti ini lambat laun akan merapuhkan fondasi sistem pendidikan dan penegakan hukum. Jangan
heran kalau sekarang ini media semakin sering menyuguhi kita drama-drama
menggelikan antara institusi pemerintah yang saling serang dan korupsi yang
merajalela.
Saya selalu percaya bahwa pendidikan dan penegakan
hukum adalah sesuatu yang paling dibutuhkan bangsa ini jika ingin benar-benar
bangkit dari keterpurukan. Keduanya adalah investasi jangka panjang yang
terkesan ‘kurang seksi’ untuk dijanjikan saat kampanye karena hasilnya tidak
bisa langsung terlihat. Akan tetapi pada hakikatnya pembangunan infrastruktur
tidaklah lebih penting ketimbang memprioritaskan pendidikan dan keadilan di
negeri ini. Infrastruktur tak ubahnya alat dan pada akhirnya sumberdaya manusia yang
mengelola serta kontrol atas sistemlah yang menentukan seberapa besar alat
tersebut bisa bermanfaat.
“Honesty
doesn’t always pay, but dishonesty always costs”
Amel dan Siami. Dua nama yang secara nyata menjadi
antitesis bagi kutipan Michael Josephson di atas. Mereka terpaksa membayar
mahal keputusan mereka menyuarakan kebenaran. Siapa sangka keberanian untuk melaporkan
sesuatu yang memang salah akan mengundang kebencian, membuat mereka dimusuhi
hingga mengarah ke persekusi? Sangat masuk akal jika pada gilirannya masyarakat
mulai ragu untuk melawan kejahatan dan kecurangan seperti ini.
Namun demikian jangan pernah berputus harapan. Bahwa masih
ada lembaga yang bersedia memastikan niat kita berdiri tegak demi kebenaran terlindungi.
Adalah LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), suatu lembaga mandiri yang
yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan
kepada saksi dan/atau korban sesuai tugas dan kewenangan yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Saat ini LPSK memang masih terkendala karena terpusat
di kota besar dan belum menjangkau daerah-daerah tertentu. Masih kurang nya perhatian
pemerintah terhadap hak-hak saksi dan korban ini terlihat dari
minimnya anggaran yang dialokasikan kepada LPSK untuk menjalankan mandat. Akan
tetapi dengan kesungguhan penuh, lembaga ini terus berusaha memberikan
perlindungan yang layak sehingga setiap warga negara Indonesia mendapatkan hak
mereka menyuarakan kebenaran tanpa merasa keselamatan jiwanya terancam. Kita bisa
mempercayakan perlindungan kita sebagai saksi atau korban dari tindak bullying,
persekusi, maupun kejahatan lainnya kepada LPSK, lantas berdiri kokoh membela nilai-nilai yang kita yakini. Diam tak pernah jadi pilihan.
Suarakan! Jangan ragu barang sejenak. Lapor! Lawan! Karena
diam bukan pilihan. Dengan begitu semoga kita menjadi bagian kecil dari suara perubahan.
Karena pada akhirnya kita mesti harus memilih antara yang benar dan yang mudah.
Hari ini kurang dari dua bulan sebelum ulangan umum
dilaksanakan di sekolah-sekolah. Kita tentu berharap agar jangan ada lagi Amel
dan Siami berikutnya yang mesti mengalami tindakan bully atau persekusi,
terusir dan bahkan nekad mengakhiri hidup karena keberanian mereka untuk bersuara. Memastikan bahwa kebaikan dan keburukan diletakkan pada tempatnya. Demi
masa depan yang cerah untuk anak cucu kita, demi pendidikan yang lebih baik dan
penegakan hukum yang lebih adil, tak ada harga yang terlalu mahal untuk mewujudkannya.
Jadi, apakah kebenaran sudah pasti menang?
Jawabannya masih sama : belum tentu.
Kabar baiknya adalah kita selalu bisa memilih ambil
bagian dalam memenangkan kebenaran dan membuat mereka yang salah menerima
hukumannya. Yang kita butuhkan hanyalah sedikit keberanian dan kepercayaan
bahwa negara ada untuk melindungi.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar