Jakarta. Kata orang Jakarta itu ibarat durian besar. Kulitnya tebal dan
berduri tajam, untuk mengupasnya saja butuh pisau super tajam dan perjuangan
ekstra. Belum lagi, begitu sayatan pisau merekahkan kulit durian sedikit saja, bau menyengat
akan segera menguar menusuk hidung. Kita yang sudah terbiasa mungkin akan
baik-baik saja, akan tetapi bagi mereka yang sama sekali baru pertama mengenal
durian reaksinya pasti beragam. Ada yang Cuma terkejut, ada yang merasa mual,
pusing, atau bahkan pingsan (oke, yang ini sudah keterlaluan hiperboliknya).
Seperti itulah Jakarta. Bagi anda yang baru menginjakkan kaki di Jakarta
mungkin akan terkejut dengan satu dua hal yang ‘jakarta banget’ seperti macet,
polusi, kawasan kumuh, kriminalitas, banjir, PMKS, dan masih banyak lagi hal-hal
sejenis yang terlihat mencolok diawal kedatangan. Akan tetapi let’s say… itulah
kulit luar Jakarta.
Seperti durian besar yang terasa aneh ketika pertama kali menyentuh
lidah, mungkin tak sedikit juga orang yang bertanya apa pula enaknya buah ini.
Bahkan setelah beberapa kali mencobanya, ada juga yang tetap tidak ‘doyan’ baik itu durian maupun Jakarta. Akan tetapi bagi saya yang lahir dan besar di
Jakarta, tempat ini sudah seperti rumah, dimana saya menghabiskan
sebagian besar waktu saya hingga kini. Jika masa depan saya di Indonesia, maka
kota yang saya pilih untuk ditinggali tetaplah Jakarta, atau minimal di kawasan
penyangga ibukota seperti Bogor, Tangerang, Depok atau Bekasi. Jadi, kenyamanan
tinggal di Jakarta tentu termasuk dalam satu dari sedikit hal dalam hidup ini
yang mendapat perhatian saya.
Sekitar tiga hari yang lalu, wacana Gubernur DKI tentang penghapusan
peraturan 3 in 1 yang mengundang pro-kontra dari publik
benar-benar genap dilaksanakan. Tidak ada lagi larangan—yang menurut saya
sangat masuk akal—untuk melarang penggunaan mobil sendirian pada jam-jam
sibuk. Bicara dari sudut pandang pengguna jalan yang tidak menggunakan mobil,
implikasi dari penghapusan peraturan tersebut sangat sangat terasa, dan… sorry
to say, hingga hari ini belum satupun dampak positif yang saya rasakan. Hari pertama 3 in 1
dihapuskan, kemacetan terjadi hampir di semua jalan protokol yang semula
memberlakukan aturan ini. tidak tanggung-tanggung, perjalanan saya dari tempat
kerja ke kampus via jalan Jend Sudirman memakan waktu hingga dua kali lipat lebih lama dari
biasanya. Jika saja kita punya alat untuk mengkonversi kerugian waktu menjadi
uang, maka mungkin akan lebih sakit hati lagi melihatnya.
Apa sebenarnya yang terlintas di benak bapak Gubernur ketika ide untuk
menghapus peraturan ini datang? Entahlah. Dari semua alasan yang dikemukakan,
nalar ecek-ecek saya tidak menangkap satu alasan pun yang bisa diterima. Ketika
ditanya apa solusi pengganti yang dimiliki untuk membendung kemacetan, beliau menjelaskan
bahwa perbaikan transportasi umum sudah dilakukan, armada nya juga diperbanyak,
jadi dengan sendirinya warga akan lebih memilih transportasi umum begitu merasa
jalanan menjadi sangat macet karena dihilangkannya aturan 3 in 1. Sekali lagi maaf,
menurut saya itu solusi yang terdengar naif—jika tidak bisa dibilang sama
sekali bukan solusi. Saya bukan fans setia bapak gubernur, tapi jujur saja
tidak sedikit dari tindakan beliau yang selama ini sangat saya dukung, bahkan
keberanian beliau bicara terus terang di media boleh lah saya beri nilai 9 dari
10 angka. Saya juga merasa bahwa hasil kerja beliau cukup terasa efeknya, tidak
sehambar periode sebelumnya. Saya juga seorang yang tergolong optimis bahwa
Jakarta sangat bisa diperbaiki. Namun sekali ini saya merasa ide penghapusan 3
in 1, sudah terdengar kelewat utopis bahkan sejak pertama kali diberitakan—jauh
sebelum pelaksanaannya diberlakukan. Mengapa?
Karena jujur saja, mengendarai mobil pribadi ke kantor itu bukan semata
karena transportasi umum tidak nyaman. Benar memang bahwa ketidaknyamanan—yang
sebenarnya tidak berlebihan jika disebut ketidaklayakan—sarana umum menjadi
salah satu penyebab utama, tapi itu bukan satu-satunya alasan. Selfish,
merupakan satu dari banyak alasan lainnya. Jadi jika beliau menganggap orang-orang
akan beralih menggunakan kendaraan umum hanya karena macet parah, maka saya
sangat tidak percaya. Setidaknya didalam mobil pribadi sudah pasti dapat duduk,
sudah pasti AC-nya dingin, sudah pasti tidak berdesakan. Bebas makan-minum ataupun
menyetel musik sambil menunggu kemacetan. Berbanding terbalik dengan pengguna
transportasi umum yang mesti berdesak-desakan, mencium bau keringat orang lain,
dan tetap saja terkena macet juga. Tidak bisa bberbuat apa-apa.
Tapi kan jika semua pengendara mobil bersepakat menggunakan transportasi
umum tidak akan ada yang namanya macet lagi? 100% benar. Hanya saja, prestise
adalah alasan selanjutnya mengapa transportasi umum tidak menjadi pilihan
pertama. Bawa mobil ke kantor-kampus-sekolah itu keren, bukan begitu? Di
Indonesia menggunakan sepeda belum se-trendy di negara maju. The same goes to
public transportation. Dan sayangnya, belum ada usaha maksimal untuk
mempopulerkan penggunaan kedua alternatif tersebut.
Sudah menjadi watak dari kerumunan, hanya akan bergerak ketika
ada yang memulai. Ketika satu orang berubah, apakah dunia otomatis berubah?
Tentu tidak, tanpa dukungan publikasi dan teknik promosi yang tepat. Jangan harap publik
akan sadar dengan sendirinya untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi jika
tidak ada sang ‘pied piper’ yang memimpin anak-anak dengan suling dan pakaian warna-warni. Uniknya, jaman sekarang ini menyetir
arah kerumunan itu susah-susah gampang. Di instagram, dengan hashtag
#tukeranbajupacar atau #ciumketekpacar saja, kelakuan remaja alay yang memalukan
bisa diikuti banyak orang seolah itu wajar saja, tanpa sadar betapa menggelikan perbuatan yang mereka
pertontonkan di media sosial tersebut. Sebesar itulah kekuatan media di zaman kita ini. Saya tidak pernah secara langsung
melakukan survey tentang ini, tapi saya yakin metode promosi pasangan cagub
Jokowi-Ahok di pemilu yang lalu mendulang cukup banyak dukungan (terutama kelompok muda) melalui metode
promosinya yang ‘gaul’. Ingat parodi lagu One Direction versi kelurahan? Itu
salah satu contoh iklan kreatif yang sukses besar tanpa harus ditayangkan di televisi.
Jadi, kenapa juga tidak mencoba menjadikan perbuatan baik dan bermanfaat
sebagai trend dengan menggunakan media sosial sebagai pied piper? Tambahkan
lagi dukungan dari selebritis, yaitu orang-orang terkenal seperti artis, atlet, seniman, youtuber atau sekedar akun-akun medsos populer yang punya banyak follower, maka lengkap sudah
laskar peniup suling kita. Minta mereka mengarahkan publik ke jalan yang lurus
(eh?) dengan cara masing-masing. Toh, kita sudah sepakat bahwa bukan hanya
produk komersial saja yang bisa diiklankan? Gencarkan juga promosi melalui
komunitas-komunitas, berikan embel-embel mencolok, maka genaplah amunisi berikutnya. Atau lebih keren lagi kalau bapak gubernur sendiri
yang mencontohkan dengan mulai menggunakan kendaraan umum. Saya tau bapak
sibuk, tapi kan itu salah satu kiat mensukseskan rencana yang anda buat
sendiri. Tak ada yang tau berhasil tidaknya memang, tapi kan minimal lebih baik
daripada duduk diam menunggu keajaiban datang, disebut keajaiban karena probabilitasnya 1:100000 orang jakarta sebanyak itu bisa sadar dengan sendirinya.
Nevertheless, i still love my Jakarta-my Indonesia... saya masih tetap akan tinggal di kota ini, meskipun Jakarta tanpa
macet masih di angan-angan. Adios.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar