Rabu, 17 Desember 2014

Story of A Mother

Within the wood the mother came to cross roads, and she knew not which to take. Just by stood a thorn-bush; it had neither leaf nor flower, for it was the cold winter time, and icicles hung on the branches.
“Have you not seen Death go by, with my little child?” she asked.
“Yes,” replied the thorn-bush; “but I will not tell you which way he has taken until you have warmed me in your bosom. I am freezing to death here, and turning to ice.”
Then she pressed the bramble to her bosom quite close, so that it might be thawed, and the thorns pierced her flesh, and great drops of blood flowed; but the bramble shot forth fresh green leaves, and they became flowers on the cold winter’s night, so warm is the heart of a sorrowing mother.
                                                                   *****
Hari ini entah darimana muasalnya saya teringat cerita tentang seorang ibu yang pernah saya dengar tahun lalu. Saya mengenal kisah perjuangan sang ibu justru dari sebuah drama Asia yang storyline nya terinspirasi dari cerita ini. Tale yang ditulis oleh Hans Christian Andersen pada abad 18 ini sama sekali nggak familiar  bagi saya. Yeah… sebagai generasi 90an yang masih sempat rukun dengan cerita pengantar tidur dan dongeng2 dalam buku paket pelajaran di sekolah, cukup banyak karya2 Andersen yang akrab di telinga saya, sebut saja ‘Princess and Pea’, 'Thumbellina' dan ‘the little mermaid’, juga banyak lagi buah karya penulis yang well-known sebagai ahli dongeng ini  telah diterjemahkan ke berbagai Bahasa dan menjadi konsumsi anak2 dari berbagai era. Akan tetapi entah dengan alasan apa tale berjudul The Story of A Mother ini rasanya tidak sepopuler karya2 Andersen lainnya. Apakah terlalu ‘dark’? atau endingnya dianggap kejam untuk didengar anak2? Tapi saya personally suka sekali dengan cerita ini, selain karena terdapat banyak pesan moral di dalamnya, cerita ini juga mewakili hati dan pengorbanan seorang ibu demi anaknya.
Dengan bantuan om Google saya menemukan kisah utuh nya dan memutuskan membaca hingga tuntas. Saya terhenyak menyadari begitulah mungkin seorang ibu, terkadang mereka berusaha melakukan apapun demi memberi segalanya bagi sang anak, merasa lebih tau yang terbaik dan bahkan sampai bersikeras meyakinkan anak2 mereka. Dan dari sudut pandang saya sebagai anak, terkadang sikap kekeuh para ibu yang terkesan memaksa ini cukup menjengkelkan--terutama ketika kita berselisih pendapat dan merasa tau yang lebih baik bagi diri kita sendiri. Tapi begitulah ibu… tak ada yang tak bisa dilakukannya jika itu demi sang buah hati. Dan segala yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan kita. Maka ketahuilah ketika terjadi pertentangan… kita hanya perlu membuat ibu kita mengerti bahwa tuhan tau yang terbaik, bahwa kita sungguh bahagia dengan pilihan kita, dan bahwa kita bahagia memilikinya yang selalu mengkhawatirkan kita.
Saya ingin menulis ulang kisah tentang seorang ibu tersebut disini, akan tetapi mungkin dengan standar penulisan amatir saya dan kemampuan menerjemahkan yang amat terbatas, juga deskripsi pendek dan umum dengan berbagai penyesuaian dari saya sendiri. Untuk versi asli dalam Bahasa Inggris nya dapat dicari sendiri di Google :p
Dan bersamaan dengan ini saya sampaikan kerinduan terdalam saya kepada ibunda nun jauh disana, love you mama! :’)
                                                            *****
Suatu malam, seorang ibu duduk di samping anaknya yang terbaring sakit. Wajahnya pucat, matanya terpejam dan sesekali terlihat sulit bernafas. Sang ibu menangis takut. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, seorang kakek tua berjalan masuk dengan terbungkus pakaian dari kain yang kasar. Ia memohon untuk dibiarkan tinggal sejenak demi menghangatkan diri. Malam itu adalah puncak musim dingin, seluruh kota tertutup salju dan angin yang berhembus tajam bahkan seolah bisa menggores wajah. Sang ibu mengangguk, kepada si kakek tua ia menghidangkan semangkuk sup untuk menghangatkan tubuh, lalu duduk tak jauh dari sana. Sang ibu meraih tangan anaknya.
“Menurutmu aku akan bisa menjaganya, kan?” ujar sang ibu “Tuhan kita yang maha pemurah tak akan mengambilnya dariku, kan?”
Sang kakek--yang sesungguhnya adalah jelmaan dari kematian itu sendiri--mengangguk dengan gelagat yang aneh, entah bermaksud menjawab ya atau tidak. Sang ibu menundukkan wajahnya dengan sedih, bersamaan dengan air mata yang menetes dari ujung dagu lancipnya. Tiba-tiba saja kepalanya tersa berat, matanya perih. Sudah 3 hari 3 malam ia terjaga. Kemudian ia tertidur, sesaat, hanya sesaat… karena hembusan angin yang tajam membangunkannya. Ia melihat sekeliling dan menemukan bahwa pria tua itu menghilang— anak nya juga. Kakek tua itu membawa pergi anaknya. Segera saja ia berlari keluar sambil meneriakkan nama anaknya dengan pilu. Menerabas kegelapan malam, menyusuri jalan setapak yang membeku. Diluar sana seorang wanita mengenakan jubah hitam panjang duduk seorang diri, dan ia berkata pada sang ibu,”sejak tadi kematian duduk bersama mu di dalam rumah. Aku melihatnya bergegas pergi membawa anakmu, ia melangkah secepat angin… dan tak pernah mengembalikan apa yang telah dia ambil”.
“Beritahu saja aku kemana ia pergi, beritahu aku arahnya, dan aku yang akan menemukannya” pinta sang ibu.
“Aku tahu kemana kematian pergi, tapi sebelum aku memberitahumu aku ingin kau menyanyikan semua lagu yang selalu kau nyanyikan untuk anakmu. Akulah sang malam. Aku selalu mendengarkan lagu yang kau nyanyikan untuknya, dan bagaimana kau selalu meneteskan airmata saat menyanyikannya. Aku menyukainya, jadi nyanyikanlah untukku!” ujar wanita berjubah hitam.
“Aku akan menyanyikannya untukmu, tapi tidak sekarang! Aku harus mengejar kematian dan menemukan anakku…” jawab sang ibu. Akan tetapi sang malam duduk, dan tetap diam sampai sang ibu mulai menyanyi. Senandung yang bercampur dengan ratap dan air mata, terdengar sendu menyayat hati. Malam kemudian berkata, “Pergilah ke arah kanan, di hutan hitam yang penuh kegelapan. Aku melihat kematian membawa anakmu kesana.”
Di dalam hutan nan gelap itu sang ibu menyusuri jalan berliku, hingga ia menemukan persimpangan dan tak tahu harus kemana. Disana tumbuh serumpun semak berduri, tanpa sehelaipun daun atau bunga, selain salju yang menggantung di ujung-ujung rantingnya. “Apakah kau lihat kematian membawa anakku? Tahukan kau kemana ia pergi?” Tanya sang ibu.
“Ya!” jawab semak berduri itu,”Tapi peluklah aku dengan tubuhmu yang hangat itu, sebelum aku mati beku disini, aku sangat kedinginan…” pintanya.
Sang ibu lalu memeluk semak berduri seerat mungkin, sangat lekat, sampai ujung rantingnya menembus kulit dan merah darah mengalir dari tubuhnya. Perlahan daun-daun tumbuh dari cabang ranting semak berduri, bahkan bunga pun bermekaran di malam puncak musim dingin itu, dari kehangatan hati seorang ibu yang berduka. Lalu semak berduri menunjukkan kemana ia harus pegi. Sang ibu menemukan dihadapannya terbentang danau yang amat luas. Sebagian membeku tertutup es, akan tetapi tak cukup kuat untuk diinjak, terlihat dari gemerlap airnya yang rapuh. Tak ada satupun perahu disana. Sang ibu meratap pedih, akan tetapi tekadnya belum runtuh. Ia meminum air danau tersebut sambil berharap keajaiban akan datang, karena ia tau pasti ia tak akan pernah berhasil menghabiskan air di danau itu.
Sang danau yang melihat kesedihan ibu berkata “Mari kita buat perjanjian yang lebih baik dari upaya sia-sia ini, aku suka sekali mengumpulkan mutiara di dasar danau ku, dan kedua matamu itu adalah yang paling murni bersinar yang pernah kulihat. Berikan padaku mata indahmu… maka akan kubantu kau menyebrangi danauku dan mengantarmu ke tempat dimana kematian menyimpan pepohonan dan bunga milik kehidupan manusia”.
“Oh, Apa yang tak akan kuberikan jika itu akan mampu membawaku pada anakku…” Ratap sang ibu yang malang. Tanpa keraguan ia menundukkan wajahnya dan menangis hingga kedua bola matanya jatuh tenggelam ke dasar danau, dan berubah menjadi batu permata yang sangat berharga. Sang danau menepati janjinya, ia membawa ibu ke rumah tinggal kematian.
Sebuah lembah tertutup yang dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi, dan di tengah nya terdapat gubuk kecil tempat kematian tinggal. Sang ibu yang telah memberikan matanya kepada danau. tak mengetahui bahwa ia dikelilingi bunga-bunga dan pohon kehidupan manusia. Disana tumbuh segala jenis tumbuhan dengan  berbagai kondisi yang berbeda satu sama lain, ada pohon besar yang ditanam dalam pot yang kecil hingga akar2nya terlihat mendesak pot, ada pula bunga kecil nan rapuh yang ditanam dalam pot besar dan mewah. Kesemuanya itu merefleksikan kehidupan manusia di dunia, dan kesemuanya itu masing-masing dimiliki oleh manusia yang masih hidup. Sang ibu mendengar suara yang menandakan kedatangan seseorang, dan bertanya padanya,”Dimanakah aku bisa menemui kematian yang membawa pergi anakku?”
“Dia belum sampai kesini” sahut seorang wanita tua berambut putih,”Tapi bagaimana mungkin seorang manusia menemukan jalan sampai kesini? Siapakah yang telah membantumu?” tanyanya.
“Tuhan yang membantuku. Dia maha pemurah; dan tak akankah kau bermurah hati juga? Dimanakah aku bisa menemukan anakku? Bagaimana aku bisa mendapatkannya kembali?” Ratap sang ibu pada wanita tua.
“Apa yang akan kau berikan padaku, jika aku memberi tahu bagaimana cara menemukan anakmu?” Tanya wanita tua berambut putih. “Aku tak lagi memiliki apapun untuk diberikan, tapi aku bersedia pergi sampai ke ujung dunia untukmu!” jawab sang ibu yang nyaris putus asa.
“Aku tidak memerlukan apapun dari ujung dunia. Tapi kau bisa menghadiahkan padaku rambut hitam legammu yang cantik. Kau lebih dari tahu bahwa itu indah dan menyenangkan untuk dilihat. Sebagai gantinya kau boleh mengambil rambut putihku yanag usang!” ujar wanita tua tersebut. Sang ibu menghapus air matanya. “Apa hanya itu yang kau inginkan? Baiklah… aku akan menmberikannya padamu dengan senang hati.” Jawabnya sembari menghela nafas lega.
“Meskipun kau buta, kau masih bisa mendengar. Kau sendiri tahu bahwa setiap manusia punya pohon kehidupannya masing-masing. Setiap pohon memiliki detak jantung. Dengarkanlah, kau mungkin akan mengenali detak jantung anakmu.” Sang ibu lantas berjalan perlahan menyusuri begitu banyak tumbuhan yang berbaris seolah membentuk labirin. Ia sampai kepada sebuah tanaman kecil yang rapuh dan lemah, sekelilingnya ditumbuhi lumut yang lembut dan melindunginya. Sang ibu mengenali detak jantung itu, detak jantung anaknya. Satu diantara miliaran lainnya.
“Ini dia” lirih sang ibu sembari melingkarkan jemarinya menyentuh bunga lotus yang nyaris luruh itu.
“Jangan sentuh!” hardik wanita tua,”Jangan sentuh bunganya, tapi kau tetaplah disini sampai kematian datang. Saat itu jangan biarkan kematian mencabut tanaman anakmu. Kau bisa mengancam akan melakukan hal yang sama pada semua tanaman lainnya, itu cukup untuk membuat kematian takut, karena ia akan harus mempertanggungjawabkannya kepada tuhan. Dan tak satupun tanaman yang telah mati bisa dihidupkan olehnya—kecuali atas izin tuhan.” Selesai mengatakan semuanya, si wanita tua pun menghilang pergi.
Tiba-tiba sang ibu merasakan hembusan napas yang sedingin es datang menghampirinya. Sadarlah ia bahwa kematian telah sampai disana.
“Bagaimana kau menemukan jalan ke tempat ini?” Tanya kematian, “Bagaimana mungkin kau bisa sampai kemari lebih cepat daripada aku?”
“Aku seorang ibu!” Jawabnya.
Kematian lalu meraih pot berisi pohon kehidupan sang anak, akan tetapi disaat bersamaan sang ibu menahannya sekuat tenaga. Kematian lalu meniupkan napas nya yang sedingin es, dan seketika itu juga jemari sang ibu terkulai lemah.
“Kau tak akan bisa melawanku dalam hal ini” Ujar kematian
“Tapi tuhan yang kuasa bisa…” Jawab sang ibu
“Aku hanya melakukan perintahnya.” Lanjut kematian, “Akulah penjaga tamannya, aku juga yang mengantarkan tanaman2 ini ke taman surga di sebuah tanah tak dikenal. Siapa yang akan merawat mereka disana, dan seperti apa tempatnya, kau tak boleh tahu!”
“Berikan kembali anakku!!!” Jerit sang ibu sembari meraih dua pot berisi bunga yang amat cantik dan meratap sesenggukan, “Kembalikan anakku, atau Aku akan mencabut semua tanamanmu sebagai ganti rasa sakit ku!”
“Jangan sentuh itu! Kau bilang kau sedih, kau bilang kau sakit dan tak bahagia… apa kau juga akan membuat ibu lainnya merasakan hal yang sama sepertimu?” Sergah kematian. Sang ibu terhenyak, “Ibu yang lain?” lirihnya, ia melepaskan kedua pot itu sambil menangis. Kematian meletakkan dua permata di tangan sang ibu. “Ini matamu. Aku mengeluarkannya dari danau tanpa mengetahui bahwa itu milikmu. Aku mengambilnya karena matamu berkilauan begitu jernih di dasar danau. Ambilah, dan lihat kedalam sumur itu!” jelasnya sembari menunjuk sebuah sumur.
Pantulan air dalam sumur memperlihatkan kehidupan dua orang yang bertolak belakang. Yang satu menjadi berkah bagi dunia, begitu banyak kebahagiaan yang ia bawa, dan banyak pula yang peduli serta mencintainya. Yang lain hidup dalam kepapaan, rasa sakit, penderitaan dan sengsara. “Keduanya adalah masa depan dari bunga-bunga yang ingin kau hancurkan tadi, karena kepedihan dan keputusasaanmu!” Ujar kematian pada sang ibu, “Akan tetapi keduanya adalah kehendak tuhan”
“Manakah bunga yang bahagia? Dan yang manakah yang sengsara?” Tanya sang ibu. Kematian menggeleng, “Hanya sejauh inilah yang bisa ku katakan, akan tetapi ketahuilah, bahwa salah satunya serupa dengan gambaran masa depan anakmu!”
Sang ibu menjerit ketakutan, ia bertanya pada kematian sambil menangis, “Yang mana kah takdir milik anakku? Beritahu aku!!! Antarkanlah anak yang tidak bahagia, bebaskan ia dari penderitaan tak berkesudahan. Lebih baik kau ambil dia, bawa dia ke kerajaan tuhan yang indah. Lupakan semua air mata dan rasa sakitku, lupakan semua yang kukatakan atau kulakukan…” ratap sang ibu pada kematian.
“Aku tidak mengerti denganmu,” Ujar kematian, “Akankah kau mengambil kembali anakmu, atau haruskah aku membawanya ke tempat yang bahkan tak kau ketahui?”
Kemudian sang ibu berlutut sambil meremas tangannya, menangis dan berdoa kepada tuhan, “Jangan kabulkan doaku, jangan penuhi keinginanku jika mereka berlawanan dengan kehendakmu… jangan dengarkan do’aku…” ratapnya.
Kemudian kematian membawa sang anak bersamanya ke sebuah tempat yang tak seorangpun tahu.

                                                                      *by : Hans Christian Andersen (1848)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar