Within the wood the mother came to cross roads, and she knew not which
to take. Just by stood a thorn-bush; it had neither leaf nor flower, for it was
the cold winter time, and icicles hung on the branches.
“Have you not seen Death go by, with my little child?” she asked.
“Yes,” replied the thorn-bush; “but I will not tell you which way he has
taken until you have warmed me in your bosom. I am freezing to death here, and
turning to ice.”
Then she pressed the bramble to her bosom quite close, so that it might
be thawed, and the thorns pierced her flesh, and great drops of blood flowed;
but the bramble shot forth fresh green leaves, and they became flowers on the
cold winter’s night, so warm is the heart of a sorrowing mother.
*****
Hari ini entah darimana muasalnya saya teringat cerita tentang seorang
ibu yang pernah saya dengar tahun lalu. Saya mengenal kisah perjuangan sang ibu
justru dari sebuah drama Asia yang storyline nya terinspirasi dari cerita ini. Tale
yang ditulis oleh Hans Christian Andersen pada abad 18 ini sama sekali nggak
familiar bagi saya. Yeah… sebagai generasi
90an yang masih sempat rukun dengan cerita pengantar tidur dan dongeng2 dalam
buku paket pelajaran di sekolah, cukup banyak karya2 Andersen yang akrab di
telinga saya, sebut saja ‘Princess and Pea’, 'Thumbellina' dan ‘the little mermaid’, juga
banyak lagi buah karya penulis yang well-known sebagai ahli dongeng ini telah diterjemahkan
ke berbagai Bahasa dan menjadi konsumsi anak2 dari berbagai era. Akan tetapi
entah dengan alasan apa tale berjudul The Story of A Mother ini rasanya tidak
sepopuler karya2 Andersen lainnya. Apakah terlalu ‘dark’? atau endingnya
dianggap kejam untuk didengar anak2? Tapi saya personally suka sekali dengan
cerita ini, selain karena terdapat banyak pesan moral di dalamnya, cerita ini
juga mewakili hati dan pengorbanan seorang ibu demi anaknya.
Dengan bantuan om Google saya menemukan kisah utuh nya dan memutuskan
membaca hingga tuntas. Saya terhenyak menyadari begitulah mungkin seorang ibu,
terkadang mereka berusaha melakukan apapun demi memberi segalanya bagi sang
anak, merasa lebih tau yang terbaik dan bahkan sampai bersikeras meyakinkan
anak2 mereka. Dan dari sudut pandang saya sebagai anak, terkadang sikap kekeuh
para ibu yang terkesan memaksa ini cukup menjengkelkan--terutama ketika kita
berselisih pendapat dan merasa tau yang lebih baik bagi diri kita sendiri. Tapi
begitulah ibu… tak ada yang tak bisa dilakukannya jika itu demi sang buah hati.
Dan segala yang ia inginkan hanyalah kebahagiaan kita. Maka ketahuilah ketika
terjadi pertentangan… kita hanya perlu membuat ibu kita mengerti bahwa tuhan
tau yang terbaik, bahwa kita sungguh bahagia dengan pilihan kita, dan bahwa
kita bahagia memilikinya yang selalu mengkhawatirkan kita.
Saya ingin menulis ulang kisah tentang seorang ibu tersebut disini, akan
tetapi mungkin dengan standar penulisan amatir saya dan kemampuan menerjemahkan
yang amat terbatas, juga deskripsi pendek dan umum dengan berbagai penyesuaian
dari saya sendiri. Untuk versi asli dalam Bahasa Inggris nya dapat dicari sendiri di Google :p
Dan bersamaan dengan ini saya sampaikan kerinduan terdalam saya kepada
ibunda nun jauh disana, love you mama! :’)
*****
Suatu malam, seorang ibu duduk di samping anaknya yang terbaring sakit.
Wajahnya pucat, matanya terpejam dan sesekali terlihat sulit bernafas. Sang ibu
menangis takut. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, seorang kakek tua berjalan
masuk dengan terbungkus pakaian dari kain yang kasar. Ia memohon untuk dibiarkan
tinggal sejenak demi menghangatkan diri. Malam itu adalah puncak musim dingin,
seluruh kota tertutup salju dan angin yang berhembus tajam bahkan seolah bisa
menggores wajah. Sang ibu mengangguk, kepada si kakek tua ia menghidangkan
semangkuk sup untuk menghangatkan tubuh, lalu duduk tak jauh dari sana. Sang
ibu meraih tangan anaknya.
“Menurutmu aku akan bisa menjaganya, kan?” ujar sang ibu “Tuhan kita
yang maha pemurah tak akan mengambilnya dariku, kan?”
Sang kakek--yang sesungguhnya adalah jelmaan dari kematian itu
sendiri--mengangguk dengan gelagat yang aneh, entah bermaksud menjawab ya atau
tidak. Sang ibu menundukkan wajahnya dengan sedih, bersamaan dengan air mata
yang menetes dari ujung dagu lancipnya. Tiba-tiba saja kepalanya tersa berat,
matanya perih. Sudah 3 hari 3 malam ia terjaga. Kemudian ia tertidur, sesaat,
hanya sesaat… karena hembusan angin yang tajam membangunkannya. Ia melihat
sekeliling dan menemukan bahwa pria tua itu menghilang— anak nya juga. Kakek
tua itu membawa pergi anaknya. Segera saja ia berlari keluar sambil meneriakkan
nama anaknya dengan pilu. Menerabas kegelapan malam, menyusuri jalan setapak
yang membeku. Diluar sana seorang wanita mengenakan jubah hitam panjang duduk
seorang diri, dan ia berkata pada sang ibu,”sejak tadi kematian duduk bersama
mu di dalam rumah. Aku melihatnya bergegas pergi membawa anakmu, ia melangkah
secepat angin… dan tak pernah mengembalikan apa yang telah dia ambil”.
“Beritahu saja aku kemana ia pergi, beritahu aku arahnya, dan aku yang
akan menemukannya” pinta sang ibu.
“Aku tahu kemana kematian pergi, tapi sebelum aku memberitahumu aku
ingin kau menyanyikan semua lagu yang selalu kau nyanyikan untuk anakmu. Akulah
sang malam. Aku selalu mendengarkan lagu yang kau nyanyikan untuknya, dan
bagaimana kau selalu meneteskan airmata saat menyanyikannya. Aku menyukainya,
jadi nyanyikanlah untukku!” ujar wanita berjubah hitam.
“Aku akan menyanyikannya untukmu, tapi tidak sekarang! Aku harus
mengejar kematian dan menemukan anakku…” jawab sang ibu. Akan tetapi sang malam
duduk, dan tetap diam sampai sang ibu mulai menyanyi. Senandung yang bercampur
dengan ratap dan air mata, terdengar sendu menyayat hati. Malam kemudian
berkata, “Pergilah ke arah kanan, di hutan hitam yang penuh kegelapan. Aku
melihat kematian membawa anakmu kesana.”
Di dalam hutan nan gelap itu sang ibu menyusuri jalan berliku, hingga ia
menemukan persimpangan dan tak tahu harus kemana. Disana tumbuh serumpun semak
berduri, tanpa sehelaipun daun atau bunga, selain salju yang menggantung di ujung-ujung
rantingnya. “Apakah kau lihat kematian membawa anakku? Tahukan kau kemana ia
pergi?” Tanya sang ibu.
“Ya!” jawab semak berduri itu,”Tapi peluklah aku dengan tubuhmu yang
hangat itu, sebelum aku mati beku disini, aku sangat kedinginan…” pintanya.
Sang ibu lalu memeluk semak berduri seerat mungkin, sangat lekat, sampai
ujung rantingnya menembus kulit dan merah darah mengalir dari tubuhnya.
Perlahan daun-daun tumbuh dari cabang ranting semak berduri, bahkan bunga pun
bermekaran di malam puncak musim dingin itu, dari kehangatan hati seorang ibu
yang berduka. Lalu semak berduri menunjukkan kemana ia harus pegi. Sang ibu
menemukan dihadapannya terbentang danau yang amat luas. Sebagian membeku
tertutup es, akan tetapi tak cukup kuat untuk diinjak, terlihat dari gemerlap
airnya yang rapuh. Tak ada satupun perahu disana. Sang ibu meratap pedih, akan
tetapi tekadnya belum runtuh. Ia meminum air danau tersebut sambil berharap
keajaiban akan datang, karena ia tau pasti ia tak akan pernah berhasil menghabiskan
air di danau itu.
Sang danau yang melihat kesedihan ibu berkata “Mari kita buat perjanjian
yang lebih baik dari upaya sia-sia ini, aku suka sekali mengumpulkan mutiara di
dasar danau ku, dan kedua matamu itu adalah yang paling murni bersinar yang
pernah kulihat. Berikan padaku mata indahmu… maka akan kubantu kau menyebrangi
danauku dan mengantarmu ke tempat dimana kematian menyimpan pepohonan dan bunga
milik kehidupan manusia”.
“Oh, Apa yang tak akan kuberikan jika itu akan mampu membawaku pada anakku…”
Ratap sang ibu yang malang. Tanpa keraguan ia menundukkan wajahnya dan menangis
hingga kedua bola matanya jatuh tenggelam ke dasar danau, dan berubah menjadi
batu permata yang sangat berharga. Sang danau menepati janjinya, ia membawa ibu
ke rumah tinggal kematian.
Sebuah lembah tertutup yang dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi,
dan di tengah nya terdapat gubuk kecil tempat kematian tinggal. Sang ibu yang
telah memberikan matanya kepada danau. tak mengetahui bahwa ia dikelilingi
bunga-bunga dan pohon kehidupan manusia. Disana tumbuh segala jenis tumbuhan
dengan berbagai kondisi yang berbeda
satu sama lain, ada pohon besar yang ditanam dalam pot yang kecil hingga
akar2nya terlihat mendesak pot, ada pula bunga kecil nan rapuh yang ditanam
dalam pot besar dan mewah. Kesemuanya itu merefleksikan kehidupan manusia di
dunia, dan kesemuanya itu masing-masing dimiliki oleh manusia yang masih hidup.
Sang ibu mendengar suara yang menandakan kedatangan seseorang, dan bertanya
padanya,”Dimanakah aku bisa menemui kematian yang membawa pergi anakku?”
“Dia belum sampai kesini” sahut seorang wanita tua berambut putih,”Tapi
bagaimana mungkin seorang manusia menemukan jalan sampai kesini? Siapakah yang
telah membantumu?” tanyanya.
“Tuhan yang membantuku. Dia maha pemurah; dan tak akankah kau bermurah
hati juga? Dimanakah aku bisa menemukan anakku? Bagaimana aku bisa
mendapatkannya kembali?” Ratap sang ibu pada wanita tua.
“Apa yang akan kau berikan padaku, jika aku memberi tahu bagaimana cara
menemukan anakmu?” Tanya wanita tua berambut putih. “Aku tak lagi memiliki
apapun untuk diberikan, tapi aku bersedia pergi sampai ke ujung dunia untukmu!”
jawab sang ibu yang nyaris putus asa.
“Aku tidak memerlukan apapun dari ujung dunia. Tapi kau bisa
menghadiahkan padaku rambut hitam legammu yang cantik. Kau lebih dari tahu
bahwa itu indah dan menyenangkan untuk dilihat. Sebagai gantinya kau boleh
mengambil rambut putihku yanag usang!” ujar wanita tua tersebut. Sang ibu
menghapus air matanya. “Apa hanya itu yang kau inginkan? Baiklah… aku akan
menmberikannya padamu dengan senang hati.” Jawabnya sembari menghela nafas
lega.
“Meskipun kau buta, kau masih bisa mendengar. Kau sendiri tahu bahwa
setiap manusia punya pohon kehidupannya masing-masing. Setiap pohon memiliki
detak jantung. Dengarkanlah, kau mungkin akan mengenali detak jantung anakmu.”
Sang ibu lantas berjalan perlahan menyusuri begitu banyak tumbuhan yang
berbaris seolah membentuk labirin. Ia sampai kepada sebuah tanaman kecil yang
rapuh dan lemah, sekelilingnya ditumbuhi lumut yang lembut dan
melindunginya. Sang ibu mengenali detak jantung itu, detak jantung anaknya. Satu
diantara miliaran lainnya.
“Ini dia” lirih sang ibu sembari melingkarkan jemarinya menyentuh bunga
lotus yang nyaris luruh itu.
“Jangan sentuh!” hardik wanita tua,”Jangan sentuh bunganya, tapi kau
tetaplah disini sampai kematian datang. Saat itu jangan biarkan kematian
mencabut tanaman anakmu. Kau bisa mengancam akan melakukan hal yang sama pada
semua tanaman lainnya, itu cukup untuk membuat kematian takut, karena ia akan
harus mempertanggungjawabkannya kepada tuhan. Dan tak satupun tanaman yang
telah mati bisa dihidupkan olehnya—kecuali atas izin tuhan.” Selesai mengatakan
semuanya, si wanita tua pun menghilang pergi.
Tiba-tiba sang ibu merasakan hembusan napas yang sedingin es datang
menghampirinya. Sadarlah ia bahwa kematian telah sampai disana.
“Bagaimana kau menemukan jalan ke tempat ini?” Tanya kematian,
“Bagaimana mungkin kau bisa sampai kemari lebih cepat daripada aku?”
“Aku seorang ibu!” Jawabnya.
Kematian lalu meraih pot berisi pohon kehidupan sang anak, akan tetapi
disaat bersamaan sang ibu menahannya sekuat tenaga. Kematian lalu meniupkan
napas nya yang sedingin es, dan seketika itu juga jemari sang ibu terkulai
lemah.
“Kau tak akan bisa melawanku dalam hal ini” Ujar kematian
“Tapi tuhan yang kuasa bisa…” Jawab sang ibu
“Aku hanya melakukan perintahnya.” Lanjut kematian, “Akulah penjaga
tamannya, aku juga yang mengantarkan tanaman2 ini ke taman surga di sebuah
tanah tak dikenal. Siapa yang akan merawat mereka disana, dan seperti apa
tempatnya, kau tak boleh tahu!”
“Berikan kembali anakku!!!” Jerit sang ibu sembari meraih dua pot berisi
bunga yang amat cantik dan meratap sesenggukan, “Kembalikan anakku, atau Aku
akan mencabut semua tanamanmu sebagai ganti rasa sakit ku!”
“Jangan sentuh itu! Kau bilang kau sedih, kau bilang kau sakit dan tak
bahagia… apa kau juga akan membuat ibu lainnya merasakan hal yang sama
sepertimu?” Sergah kematian. Sang ibu terhenyak, “Ibu yang lain?” lirihnya, ia
melepaskan kedua pot itu sambil menangis. Kematian meletakkan dua permata di
tangan sang ibu. “Ini matamu. Aku mengeluarkannya dari danau tanpa mengetahui
bahwa itu milikmu. Aku mengambilnya karena matamu berkilauan begitu jernih di
dasar danau. Ambilah, dan lihat kedalam sumur itu!” jelasnya sembari menunjuk
sebuah sumur.
Pantulan air dalam sumur memperlihatkan kehidupan dua orang yang
bertolak belakang. Yang satu menjadi berkah bagi dunia, begitu banyak
kebahagiaan yang ia bawa, dan banyak pula yang peduli serta mencintainya. Yang
lain hidup dalam kepapaan, rasa sakit, penderitaan dan sengsara. “Keduanya
adalah masa depan dari bunga-bunga yang ingin kau hancurkan tadi, karena
kepedihan dan keputusasaanmu!” Ujar kematian pada sang ibu, “Akan tetapi
keduanya adalah kehendak tuhan”
“Manakah bunga yang bahagia? Dan yang manakah yang sengsara?” Tanya sang
ibu. Kematian menggeleng, “Hanya sejauh inilah yang bisa ku katakan, akan
tetapi ketahuilah, bahwa salah satunya serupa dengan gambaran masa depan
anakmu!”
Sang ibu menjerit ketakutan, ia bertanya pada kematian sambil menangis,
“Yang mana kah takdir milik anakku? Beritahu aku!!! Antarkanlah anak yang tidak
bahagia, bebaskan ia dari penderitaan tak berkesudahan. Lebih baik kau ambil
dia, bawa dia ke kerajaan tuhan yang indah. Lupakan semua air mata dan rasa
sakitku, lupakan semua yang kukatakan atau kulakukan…” ratap sang ibu pada
kematian.
“Aku tidak mengerti denganmu,” Ujar kematian, “Akankah kau mengambil
kembali anakmu, atau haruskah aku membawanya ke tempat yang bahkan tak kau ketahui?”
Kemudian sang ibu berlutut sambil meremas tangannya, menangis dan berdoa
kepada tuhan, “Jangan kabulkan doaku, jangan penuhi keinginanku jika mereka
berlawanan dengan kehendakmu… jangan dengarkan do’aku…” ratapnya.
Kemudian kematian membawa sang anak bersamanya ke sebuah tempat yang tak
seorangpun tahu.
*by : Hans Christian Andersen (1848)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar