Sabtu, 29 Maret 2014

Layang-Layang Impian

        Another old-story, about 2 years ago, hehe..

                                                             *****

“Impian itu seumpama layang-layang. Lemparkanlah ia ke angkasa dan tunggulah apa yang akan ia bawa pulang... apakah suatu kehidupan baru, seorang teman baru, cinta yang baru  atau bahkan sebuah negeri baru.”  Kalimat itu untuk pertama kalinya aku dengar dari bapak belasan tahun silam,entah dari mana bapak dapatkan. Saat itu aku hanya mengangguk-angguk antusias tanpa mengerti benar apa maksudnya. Hanya suka saja mendengarnya, impian dan layang-layang... analogi yang cukup bagus, tapi apa sama-sama bisa diterbangkan? fikirku. Dan saat itu pula, bapak menatapku penuh arti, memintaku berjanji padanya untuk tak akan pernah takut bermimpi, sebab “di dunia ini tak ada mimpi yang ketinggian. Maka jangan pernah berhenti bermimpi~apapun yang terjadi, selagi bermimpi itu gratis, gantungkanlah impianmu dari atas rembulan.”

“bapak.....” panggilku seraya merapatkan rangkulanku di lehernya. Bapak berdehem kecil sembari memperbaiki posisi kaca matanya. “kalau layang-layang impian itu kita lemparkan ke angkasa luas.... apakah dia tidak akan tersesat? Di langit kan nggak ada rambu lalu lintas dan papan penunjuk jalan?” tanyaku ragu.

Bapak terkekeh pelan sambilmenjawil pipiku gemas. “jangan khawatir, sayang.... layang-layangmu akan baik saja selama kau mengikatnya dengan benang do’a dan keyakinan.”

Aku mendongakkan wajah, merasakan semilir angin yang berhembus perlahan sambil tersenyum. Lihatlah, bapak!! Anakmu kini lebih dari mengerti apa yang kau sampaikan belasan tahun silam. Dan anakmu ini telah melemparkan layang-layangnya ke angkasa....

Bukankah hidup ini indah? Setiap hari kita bisa terbangun, membuka mata dan menatap sebuah harapan baru. Melangkah keluar dari kehangatan rumah yang nyaman dan menghirup kesejukan baru. Menatap langit yang mulai bercahaya dan menemukan bahwa disana tersimpan jutaan hal baru. Aku tak pernah berfikir bahwa hidup akan selalu menyenangkan, selalu bahagia dan berakhir happy ending. Tentu saja tidak. Tapi bagiku hidup akan tetap indah. Setidaknya ... selama kita berani bermimpi.
 
***

“nggak sesederhana itu, Lis!” Evi menyanggah kalimat ku sungguh-sungguh. Hampir 2 jam ini Ia terus saja mengaduk milkshake di hadapannya. 

“dunia ini nggak pernah sesederhana analogi-analogi kamu.” Sambungnya lagi lantas menyeruput milkshake-nya.

Aku menatap Evi prihatin. Aku tau rekan kerjaku ini sedang dalam masalah. Dan aku tau pasti masalahnya kali ini cukup serius. Menghadapi suami yang seenaknya, terus menerus mengancam cerai jika Evi sampai dipecat. Dan masalah terbesarnya, kesalahan laporan Evi bulan lalu itu berakibat fatal. Bahkan sangat mungkin bisa membuat Evi angkat kaki dari perusahaan. Dan jika itu yang terjadi, maka urusan sekolah anak-anaknya bakal kapiran.
  “ayyolah, Vi... setidaknya kan kamu masih punya aku untuk berbagi cerita.. semangat laah....” bujuk ku. Dan Evi hanya sedikit mendongakkan kepalanya sejenak untuk kemudian tertunduk lagi.

“Hmmh... susah Lis, cerita masalah semacam ini ke kamu. Karna seorang Elisa nggak pernah punya masalah serius. Hari-hari mu berjalan lancar dan menyenangkan, hasil selalu sesuai rencana, dan rencana nggak pernah meleset dari target. Sedangkan aku?? Rasanya hidup nggak bisa lebih buruk lagi, Lis... kayaknya mati lebih gampang yah!!” Keluhnya. Aku tersenyum getir, amat pahit mendengarnya.

Aku menggenggam tangannya. Menatapnya sepenuh hati. “Vi, mau nggak aku ceritakan sesuatu?” Evi mendongak lagi, lantas mengangguk pelan tak terlalu antusias. Namun anggukan pelannya sungguh cukup untuk membuat ku berdehem kecil mengawali cerita sambil menghela nafas.

“Aku pernah kenal seseorang yang hidup amat bahagia. Seorang gadis dari Keluarga kecil yang hangat. memiliki orang tua yang menyenangkan dan amat penyayang. Seorang kakak perempuan yang perhatian, juga seorang adik lelaki yang penurut dan manis. Di sekolah ia cukup populer, memiliki banyak teman karena kepribadiannya yang menyenangkan, juga prestasi belajar yang cemerlang. Seolah hidup tak bisa lebih sempurna lagi dari ini. Sampai suatu hari dimusim dingin, ayahnya tercinta mengalami kecelakaan pesawat dan tak tertolong. Maka dimulailah hari-hari pedih itu. Sang ibu yang kehilangan separuh jiwanya mendadak limbung, hilang kesadaran. Menolak memercayai bahwa belahan jiwanya telah pergi, meninggalkan ia dengan separuh hati yang telah rusak. Dan sejak itu kerjanya hanya duduk termenung menghadap jendela, setiap hari, sepanjang waktu. Jika dirinya sendiri pun ia tidak ingat, maka jangan tanya anak-anaknya. Mereka harus berjuang  menghidupi diri sendiri juga ibu yang mereka sayangi.

Sang kakak mengambil tanggung jawab itu. Namun apalah yang bisa dikerjakan seorang gadis 15 tahunan, Yang selama ini selalu terjamin hidupnya? Maka ia mulai terjun ke dunia baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.  Mengundurkan diri dari sekolah, dan mulai berpindah dari satu angkutan ke angkutan lain, dari satu terminal ke terminal lain. Maka hanya soal waktu sang kakak berkenalan dengan barang haram mengerikan itu. Semuanya ia lakukan diam-diam, jauh dari jangkauan adik-adiknya.

Sang ibu mulai sering berlaku aneh, kadang tertawa sendiri, lalu menangis tanpa sebab. Sejenak hening dan kosong, lalu sekejap kemudian menjerit-jerit histeris, mengamuk apapun yang ada di dekatnya. Para tetangga yang mulai khawatir akan keadaan keluarga kecil ini, menyarankan agar sang ibu dibawa ke rumah sakit, sebelum semakin parah. Maka dengan berat hati 3 bersaudara itu membawa ibu mereka ke rumah sakit, meninggalkannya disana.

Si gadis dan adik lelakinya tetap sekolah. Melanjutkan mimpi-mimpi yang tak boelh usai. Berulang kali mereka berniat keluar dari sekolah untuk membantu bekerja, namun sang kakak bersikeras menolak. Cukuplah satu laying-layang mimpi yang terputus, begitu katanya. Dan waktu terus bergulir, tak peduli bahagia atau tidak orang-orang yang menjalaninya. Tapi apakah derita terhenti sampai disitu? Tidak, Vi!! cerita masih panjang, jauh dari usai.

Hanya beberapa lama saja sang ibu menetap di tempat yang seharusnya. Karna kakak beradik ini sungguh tak tega melihat ibu mereka terpenjara di balik pintu kokoh rumah sakit, tanpa mengenal seorangpun di dalamnya. Mereka bersepakat membawa ibu pulang ke rumah, ibu butuh mereka untuk merawatnya... bukan justru membuangnya ke tempat asing yang mengerikan.

Waktu kembali melesat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya, menenggelamkan  mereka dalam kehidupan barunya. Sang ibu dengan ilusinya, dan sang kakak dengan dunia gelapnya. Hanya gadis itu dengan adik lelakinya tak mengetahui apa  yang sebenarnya terjadi.  Dan celaka urusan... ketika suatu malam sang adik yang polos dan lugu menemukan obat-obatan kakaknya juga beberapa peralatan aneh yang sama sekali asing baginya.

Ia menuju kamar sang kakak dengan membawa benda-benda itu untuk ditanyakan, namun semuanya berubah menyedihkan... karna sang kakak dan teman-temannya yang sedang di bawah pengaruuh alkohol marah besar mengetahui rahasia mereka diketahui sang adik. Maka secepat kilat semuanya terjadi. Dalam keadaan mabuk sang kakak mencekik adik tersayangnya,  lalu menguburkannya di belakang rumah~juga dalam keadaan setengah sadar.

Seminggu kemudian semuanya terungkap. Dan musnah sudah segalanya. Musnah begitu saja. Gadis itu terdiam menyaksikan segalanya. menangis pedih ketika menyaksikan jasad adik lelakinya yang manis diturunkan ke liang lahat. Menatap terluka sang kakak yang melangkah pelan menuju gerbang pekuburan dengan diiringi aparat keamanan. Memeluk pasrah ibunya yang mau tak mau harus kembali menghabiskan harinya di rumah sakit jiwa.

Apa semuanya terhenti disitu? Tidak, Vi.... diusianya yang belia dan serba tanggung itu, si gadis tentu amat rapuh mentalnya. Dengan dalih demi kebaikan sang gadis, seorang pria separuh baya mengambilnya untuk dijadikan istri ketiga, diusianya yang baru menjejak 16. Namun bukan untuk mengeluarkannya dari sedih berkepanjangan, melainkan untuk mengambil segala yang tersisa darinya.. tannpa ampun. Dua tahun kemudian gadis itu terbaring seorang diri di rumah sakit, menghadapi kelahiran bayi pertamanya tanpa sesiapapun disampingnya. Suaminya?? Entah lah. Sudah sejak beberappa bulan lalu pergi entah kemana. Ia melahirkan seorang bayi perempuan yang manis....”

Evi terdiam, entahlah apa yang ada di benaknya saat ini. Aku menyeruput cappucino di hadapanku. Perlahan.

“Elisa.... kebiasaan jelek deh, motong cerita di tengah jalan!!” protesnya. Aku terenyum kecil... “Lis, terus gimana cewek itu selanjutnya?? Anaknya gimana?”   “hmm... yaa begitu. Sayangnya bayi kecil itu nggak berumur panjang, hanya bertahan hidup satu setengah tahun karna kelainan jantung bawaan.”

“haah?? Terus si cewek itu gimana? Apa ikut mati juga sama bayinya??”. “ uhuk..”sekali ini aku terbatuk mendengar pertanyaan Evi.

“emangnya film...?” sergahku sembari meraih tissue diatas meja. “ gadis itu tetap bertahan, hidup harus tetap berlanjut dengan atau tanpa orang-orang yang dicintainya. Sesulit apapun hari-harinya.”  Lanjutku mantap. Evi melayangkan pandangannya ke langit-langit cafe, entah apa yang sedang difikirkannya.

 "Tapi cerita gak selesai begitu aja kog..." aku tersenyum melihat ekspresinya. "waktu itu cewek ini masih muda, dia lebih dari sanggup untuk membangun kembali impiannya. Dia bekerja serampangan, apapun yang bisa dikerjakannya. Dia terus bekerja dengan rajin dan karna nggak memiliki siapa-siapa lagi untuk ditanggung, dia mengumpulkan upah kerjanya. Dia lalu memutuskan untuk ikut sekolah kejuruan dan memulai usaha sendiri. Lalu bertemu lelaki baik yang bersedia menerimanya apa adanya, gak pernah merasa penting untuk mengungkit masa lalu si cewek. Mereka menikah, memiliki anak dan membangun keluarga. Mereka hidup seperti pasangan pada umumnya, sampai sekarang..." Lanjutku.

 "Jadi itu happy ending...." Gumam Evi samar.
 Aku tertawa memperhatikan gelagatnya. " Ya belum End kali vi, mereka kan masih hidup...." gurauku. "Gak ada juga sih yang jamin kalau cewek ini gak akan lagi mengalami masa2 kritis dalam hidupnya. Tapi seenggaknya kita tahu, kalau saat itu datang, dia akan lebih dari siap untuk berjalan melewatinya. sama seperti sebelumnya..." Lanjutku. Evi terdiam lagi.

“Emmmh.... cerita ini fiktif kan, Lis?? Cuma untuk membesarkan hati aja?” aku hanya diam. Memandangnya sekilas. “Jangan bilang kalau ini sungguhan nyata..” sambungnya.

“Emang kenapa kalau nyata?”

“Emang ada yah... orang yang hidupnya terus-terusan menderita gitu?? Kayak novel aja... Dan emang ada yah.. orang yang terus bertahan dengan kehidupan yang sehancur itu??”

“lah emangnya nggak ada?”  aku melemparkan kembali pertanyaan padanya.

“issh... malah balik tanya. Ya menurut aku sih nyaris impossible. Kamu Cuma ngarang cerita ini buat membesarkan hati aku aja kan??”

“Sayangnya enggak! Kisah ini sungguhan dan aku bahkan  mengenal gadis malang itu.” Jawabku pelan. “kenal dekat” bisikku sok misterius.

Evi nampak bingung, mungkin masih tidak percaya mendengarnya. Sama seperti aku yang nyaris tidak percaya atas apa yang baru saja aku ceritakan dengan ringan padanya.

“kalau gitu kamu bisa donk, kenalin aku ke dia??” tantang Evi penasaran. Dan segera saja ku jawab dengan gelengan kecil, Membuat Evi ber-yaah kecewa.

“kenapa?” desahnya.

“dia mungkin nggak akan suka, ada orang lain yang mengetahui seluk beluk masa lalu nya yang pahit..” jawabku pelan. Lalu hening sejenak.

“mau tau, Vi .. apa yang membuat dia bertahan??” tanyyaku. Secepat kilat Evi mengangguk mantap.

“Karna ayahnya selalu bilang.. Impian itu seumpama layang-layang. Lemparkanlah ia ke angkasa dan tunggulah apa yang akan ia bawa pulang... apakah suatu kehidupan baru, seorang teman baru, cinta yang baru  atau bahkan sebuah negeri baru. Dan benar ternyata... gadis itu menemukan kehidupan baru, teman-teman baru, cinta yang baru, dan keluarga baru. Memang nggak ada kehidupan itu yang selamanya  sedih.. atau selamanya bahagia. Maka jangan pernah merasa bahwa hidup tak bisa lebih buruk lagi...”

“Kalau layang-layangnya nyasar dan ga bisa pulang gimana?” sergah Evi.

“Nggak akan, vi... selama kamu mengikatnya dengan benang do’a dan keyakinan...” jawabku perlahan.

Evi mengusap keningnya... “Elisa... makasih”. “hmm??” gumamku singkat. “ Yeah, meskipun aku tetep gak 100% percaya kalo cerita itu nyata, Aku fikir perasaanku lebih baik sekarang.. terlepas dari cerita itu fiksi atau nyata, aku akan tetap menghargai dukungan kamu buat aku, juga waktu berharga yang kamu sisihkan buat sekedar dengerin keluhan aku yang gak ada habisnya.” Ucapnya sungguh-sungguh.

“sekalipun besok atau lusa yang terjadi adalah yang terburuk dari semua kemungkinan yang ada, kamu harus tetap bertahan... bukan untuk siapa-siapa.. tapi untuk mu sendiri. Juga.. untuk anak-anak. Ketabahan itu sebuah harga yang pantas untuk ditukar dengan kebahagiaan, vi!”

“iya Lis.. semoga!! Sekali lagi thanks yah.... untuk menjadi sahabat yang selalu bisa diandalkan”

“anytime..” jawabku pendek.  Sejenak kemudian, Evi pamit pulang. Banyak yang harus diurus katanya. Setelah titip salam untuk suami dan kedua putrinya dirumah, aku melambaikan tangan, menatap punggung sahabatku itu berjalan menjauh.

***

Kenapa gadis itu bisa bertahan?? Entahlah.. tapi yang pasti gadis itu kini tau sebuah rahasia kecil tentang waktu. Ya... sang waktu tak pernah kalah!! Seiring dengan berputarnya jarum jam, hari berganti, bulan-bulan berlalu dan tahun-tahun pun terlewati, membawa serta bersamanya sejuta harapan baru, semua akan teratasi, menghilang bersama udara, menyatu dengan sejarah. Kita hanya perlu sedikit bekerja sama dengan waktu, membiarkan bekas lukanya memudar. Tangis ataupun tawa di masa lalu... keduanya akan terasa sama saja ketika hari ini kau memandang kembali ke belakang. Begitu saja, tidak istimewa.

Kini punggung sahabatku benar-benar telah hilang dibalik pintu. Aku mendongakkan wajah. merasakan semilir angin yang berhembus perlahan sambil tersenyum lega. Lihatlah, bapak!! Anakmu kini lebih dari mengerti apa yang kau sampaikan belasan tahun silam. Dan anakmu ini telah melemparkan layang-layangnya ke angkasa....

Bukankah hidup ini indah? Setiap hari kita bisa terbangun, membuka mata dan menatap sebuah harapan baru. Melangkah keluar dari kehangatan rumah yang nyaman dan menghirup kesejukan baru. Menatap langit yang mulai bercahaya dan menemukan bahwa disana tersimpan jutaan hal baru. Aku tak pernah berfikir bahwa hidup akan selalu menyenangkan, selalu bahagia dan berakhir happy ending. Tentu saja tidak. Tapi bagiku hidup akan selalu tetap indah. Setidaknya ... selama kita berani bermimpi.

***

*jakarta, 09-08-2012, 00.12 am. (tulisan pertama gw yang rampung setelah vakum 3 tahun-an. Heheee :D)

2 komentar:

  1. Aku fans nomor satu si tokoh 'bapak'!!!
    Ceritanya moodbaster yak u,u aku suka, apalagi Elisanya mba banget :p
    Wkwkwk tapi tulisan & tanda bacanya rada distraction nih, aku jd berkerut2 huhuhu tp tetep keren bingit, ditunggu cerpen selanjutnya mba~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha... yaelah namanya juga hasil 'pastean' dari word. Wkwkwkwkw. Dan liat donkkk... jam dibuat nya : 00.12 malam. Jadi titik komanya gag pada mau nurut suruh baris yg rapih. Hahayy *alesannnn* btw... kan gara2 mereka juga nilai uts b.imdo ku 60 kmrn. :p

      Hapus