Sabtu, 29 Maret 2014

Gagasan dan Bungkusnya


     Udah berhari-hari blog ini nganggur. hari ini lagi nggak ada film yang mau saya donlot jadi iseng2 aja mampir nengok tulisan2 saya yg sempat tersimpan di document lama. Nah, ditengah pengembaraan menapaktilasi masa lampau itulah saya menemukan tulisan (nyaris) setahun lalu, ketika dunia lagi heboh soal film Innocence of Muslim yang sekarang entah kemana tau, hilang ditelan waktu. Saat itu saya iseng menulis opini di forum dan beberapa readers menanggapi. Saat itu saya menuliskan sebuah pelajaran yang saya ambil dari hasil tulisan saya tersebut, namun entah kenapa gak jadi di posting... karena itulah gak ada salahnya juga sekarang saya post dengan tambahan sedikit pembuka ini. Ini dia pemikiran yang ada di benak saya seputar gagasan dan cara penyampaiannya setahun lalu;

     Lewat beberapa minggu sejak tulisan terakhir saya yang berupa cerpen gagal di save disini, dan saya benar2 berada dalam kerinduan yang rumit. Yah… kenapa saya bilang itu complicated? Karna memang complicated (*plak* kalimat nggak mutu). Jadi saya sedang terjebak ditengah2 kemalasan yang menjerat batang leher, saking sulitnya diusir (atau memang tidak diusir?). begitulah, di satu sisi saya kangen nulis dan disisi lain saya galau harus memulai dari mana, dan galaunya itu yang menang… padahal kenapa juga harus bingung2 memikirkan ide cerita? Hal vital yang kita perlukan dalam menulis itukan utamanya kemauan, niat plus eksekusi!! Ide cerita? Itukan Cuma alasan yang saya buat2 sendiri saja?? Toh, dengan ide cerita segudang pun tulisan fiksi saya nggak satu pun yang selesai, karna mesti terjadi: ditengah2 kegiatan menulis saya bingung mau dibawa kemana cerita ini. Haha…
     Maka marilah hari ini kita paksakan diri untuk menuliss, sekedar melemaskan jemari dan mengasah reflex fikiran sebelum saya benar2 lupa bagaimana bentuk huruf ‘A’. tadinya tulisan saya kali ini ingin membahas soal gagasan dan cara penyampaian yang brillian. tapi lagi2 saya bimbang mau dilanjut atau tidak ini… karna saya benar2 tidak dalam kondisi fikiran yang bagus untuk menulis (tuh kan, alasan lagi…).
     Baiklah, supaya basa-basi saya tidak kelewat lama (meskipun saya tau sudah kelewat lama ini), maka here we go:
     Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang respon atas respon (?) dari film innocence of muslim yang cukup meresahkan. Saya menyesalkan respon keras sebagian besar masyarakat (dalam hal ini muslim) atas film ini melalui tulisan yang saya publikasikan di forum kompasiana. Dan…. 6 dari 10 orang yang komen tidak sependapat dengan saya, bahkan menyerang dan menuduh kalau saya ini liberal (aduh…). Padahal apa yang saya sampaikan itu simple sekali sebenarnya, intinya jika kita ingin membalas orang tidak bertanggung jawab yang telah membuat film tersebut, maka balaslah dengan elegan. Melalui jalur hukum internasional yang sah. Menanggapinya pun harus dengan kepala dingin karna sekarang bukan eranya lagi angkat pedang. Yah… sederhananya begitulah yang ingin saya sampaikan. Hendaknya kita meniru cara baginda rasul dalam menghadapi hinaan. Tapi kenapa justru disalah pahami???
     Usut punya usut, ternyata saya menemukan (sedikitnya) 2 penyebab utama terjadinya kesalahpahaman seperti ini. Yang pertama adalah kebiasaan orang2 sekarang yang terlalu cepat komen. Terkadang kita menilai tulisan hanya dari satu-dua paragraph yang kita baca, kita mengabaikan inti dari tulisan tersebut karna terburu nafsu ingin segera membantah, karna memang pembantah adalah tabiat manusia (ini kata Al Qur’an loh!). Mulai sedikit orang2 yang memberikan dirinya kesempatan untuk berfikir, memberi jarak waktu dari membaca sampai berkomentar.  Tapi yeah... saya tidak akan membiarkan diri saya terjebak dengan alasan yang seperti itu. Itu kan bisa dikatakan menyalahkan orang lain atau membuat2 alasan. Lagi pula, alasan yang seperti ini tidak hakiki, seolah menjadi pembenaran saja dan itu akan menghhambat saya untuk maju dan introspeksi.
     Saya akan menekankan pada alasan kedua yang saya temukan terkait kasus ini, yaitu: cara saya dalam menyampaikan belum tepat. Yup… saya rasa inilah penyebab utamanya, sebab kemampuan menulis saya masih dangkal dan sangat terbatas. Saya menyampaikan maksud dengan mendikte dan bisa jadi sebagian besar orang dewasa tidak suka di dikte. Di hari yang sama ketika saya mempublikasikan tulisan saya itu, saya ‘jalan-jalan’ ke fanpage nya penulis favorit saya. Dan menemukan tulisan beliau senada dengan pemikiran saya tentang respon masyarakat terhadap film kontroversial tersebut. Kami benar2 ingin menyuarakan akar pemikiran yang sama dalam hal tersebut hanya saja, dengan penyampaian yang berbeda, tulisan beliau lebih bisa diterima positif oleh pembaca karena dibungkus dengan amat baik.
    Beliau menjelaskan pemikirannya melalui sebuah cerita berjudul: kisah tangan kanan dan membela nabi kita. Cerita sederhana tentang anak kecil bernama bambang yang mengalami kecelakaan dan tangan kanan nya harus diamputasi, sehingga ia takut nabi akan marah karna bambang tak bisa lagi makan dengan tangan kanan seperti sunnahnya. Di paragraf2 akhir barulah dipaparkan  pandangan penulis tentang pembuktian cinta kita terhadap rasul yang cenderung norak, jika dibandingkan dengan kecintaan bambang yang cemerlang akan sunnah nabi. Kita seolah2 siap mengangkat senjata jika nabi kita dihina, namun tidak menghidupkan wasiat2nya dihati kita dan mengamalkan sunnah2nya di rumah kita, dalam keseharian kita. Penulis itu mengangkat permisalan dari sesuatu yang biasa kita anggap remeh temeh, padahal sejatinya adalah refleksi kecintaan kita terhadap baginda nabi. beliau memandang sesuatu secara sederhana dan real, sehingga penyampaiannya tidak terkesan berlebihan juga tidak memaksakan kesimpulan pribadi. Saya tersentak ketika menyadari, sungguh dalam hal ini kemasan menjadi begitu penting bagi kita semua. dan saya sungguh bersyukur sempat menyadari bahwa cara saya menanamkan pemahaman sungguh masih jauh dari arif bijaksana. Semoga esok-lusa, saya bisa semakin baik dalam segala hal… (4 april 2013)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar