Rabu, 19 Maret 2014

El Temur, Politik dan Pemilu 2014

     Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong Pemilu 2014 yang disebut-sebut merupakan penjelmaan dari pesta demokrasi. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sebagai peserta sah untuk pemilu 2014. Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu korupsi, sebenarnya belum jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab UU Pilpres sendiri tengah digugat di Mahkamah Konstitusi. Gugatan yang diajukan adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres yang menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR.

     Kampanye sudah dimulai sejak beberapa hari lalu, tepatnya pada 16 Maret dan baru akan berakhir sekitar 5 April nanti. Namun ditengah semarak janji-janji politisi ini, ada juga seorang pemudi yang seharian meghabiskan waktu di depan laptop dalam kamar kost berukuran 3x4. Apa yang dia lakukan? Menonton film. Baginya film yang dia tonton saat ini lebih menarik daripada carut-marut pemberitaan media seputar pemilu yang sedang hangat-hangatnya.

     Di episode 37 serial yang ditontonnya itu ada sebuah scene yang menarik perhatian. Ketika perdana mentri Yuan (Tiongkok) yang zalim dan kejam pada akhirnya dilengserkan dari posisi itu setelah 30 tahun berkuasa. Peristiwa pelengseran itu sama sekali tak mudah karena harus melalui pertumpahan darah di istana dan seluruh ibukota, maklum saja… sang perdana menteri menghabiskan 30 tahun masa jayanya untuk menimbun harta, membangun pasukan, serta memperluas pengaruhnya di seantero negeri. Namanya sangat ditakuti hingga bahkan kaisar sekalipun tak berani menantang kehendaknya.

     Namun di dunia ini tak ada yang abadi, apalagi sebuah kekuasaan yang selalu di perebutkan dan membuat seseorang rela bertaruh nyawa demi meraihnya. Adalah seorang panglima perang yang telah menjabat gubernur provinsi Liaoyang dan keponakannya, yang menggiring belenggu kayu berisikan perdana menteri tua itu. Di masa muda, sang perdana menteri adalah panglima yang telah melintas gurun dan mengarungi samudra untuk berperang demi negrinya, sosok perdana menteri ini merupakan figure pahlawan bagi sang gubernur. Namun ironis, kini ia sendiri yang harus mengarak mantan pahlawan (yang bersalah atas pemberontakan untuk mengkudeta kaisar) menuju istana.

     Di tengah perjalanan, mereka sampai ke sebuah pasar yang ramai. Disana rakyat jelata berkumpul untuk menyaksikan seorang tiran tua yang kejam dan sangat dibenci melewati saat-saat terakhirnya. Rakyat yang memendam kebencian mendalam atas kesewenang-wenangannya mulai mencemooh sang perdana menteri sambil melemparkan batu dan sumpah serapah, sebaliknya, kepada sang guberbur rakyat meneriakkan puji-pujian doa panjang umur serta mengagungkan dewata. Sang gubernur menghentikan iring-iringan dan berkata kepada perdana menteri:

     ~Inilah isi hati rakyat yg sesungguhnya.  Inilah kemarahan rakyat pada perdana mentri selama 30 tahun terakhir, hasil selama masa pemerintahan anda. Kejahatan terbesar anda yg lakukan sesungguhnya bukanlah pembantaian tapi kegagalan politik. Kejahatan karena korupsi akibat kebijakan yang salah dan merusak negeri ini.
     
     ~ Bayan, kau masih ingat? Dulu sekali... sewaktu aku menghancurkan pemberontak dan kembali sebagai pemenang, nama El Temur selalu diagung2kan dan dipuji. Mereka berharap aku menggantikan kaisar yg lemah, mengurusi masalah negara. Meski sekarang rakyat memuji-muji namamu, nantinya akan datang hari dimana mereka mencerca dirimu. Mereka akan mengatakan kekaisaran dibawah perlindunganmu tidak sebaik dimasaku kala mengenang zaman itu. Di dunia ini tak ada yg lebih sulit dibandingkan memenangkan hati rakyat. Pada akhirnya kau akan sama sepertiku, tenggelam dalam kekuasaan. Tertekan dan berakhir dengan menyudahi hidupmu. Beginilah hidup.

     Sang gubernur terdiam, kalimat perdana menteri tadi memunculkan keraguan di matanya… namun kemudian ia memerintahkan agar iring-iringan itu melanjutkan perjalanan. Gubernur itu, dengan segala jasanya menangkap oposisi yang lebih berkuasa dari kaisar, tentu akan dihadiahi jabatan sebagai perdana menteri berikutnya. Jabatan yang memang sejak lama diinginkan oleh gubernur tersebut. Ia berjuang mati-matian membela kaisar demi menjatuhkan perdana mentri karena ingin berkuasa dan memerintah demi kebaikan Yuan, niatnya (saat itu) tulus demi mengembalikan kejayaan negerinya. Ia bahkan pernah berkata kepada keponakan yang merupakan pengikut setianya “jika suatu hari nanti aku berubah menjadi seperti El Temur, maka saat itulah kau harus membunuhku.” Kalimat itu sangat berkesan, karna ia memilih mati sebagai manusia dari pada hidup sebagai budak kekuasaan.

     Tapi pertanyaannya, akankah sang gubernur mampu menepati niat tulusnya itu? Kekuasaan adalah sesuatu yang mengerikan. Begitu luar biasa dan menggiurkan, bahkan memabukkan. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana kelanjutan ceritanya, karena sang gubernur runtuh disaat kekuasaannya bahkan baru dimulai. Adalah sang keponakan, pengikut setia sekaligus orang yang paling dia percayai, yg pada akhirnya duduk di tampuk kekuasaan. Kekuasaanlah yang membuat si keponakan tega mengkhianati paman yang sebelumnya ia anggap ayah sendiri.

     Apa sesungguhnya kekuasaan itu? Hal yang mampu membuat kawan jadi lawan atau sebaliknya, mampu membuat hati manusia membatu, bahkan mampu memutus pertalian darah yang telah digariskan langit. Apa sesungguhnya kekuasaan itu?

     Pertanyaan itulah yang muncul di benak si pemudi sesaat setelah menyelesaikan serial tersebut. Scene tadi sangat relevan dengan kondisi bangsanya saat ini. 12 partai yang masing-masing mengusung kader untuk maju di arena duel mempertaruhkan kursi presiden, orang nomor satu di negerinya. Ingatannya bergulir ke masa lalu, masa2 pemilu pertama…. Tahun 1999 dimana K.H Abdurrahman Wahid keluar sebagai pemenang yang merupakan periode kepemimpinan pertama yang masih diingatnya. Tak banyak yang bisa pemudi ini mengerti dari kebijakan presiden keempat ini, mengingat usianya yang baru 6 tahun, kecuali sekolah libur panjang hampir sebulan penuh. Begitu Juga pemerintahan-pemerintahan selanjutnya dimana megawati Soekarno Putri mengambil alih kepemimpinan, hingga kemudian sosok Susilo Bambang Yudhoyono muncul dan mendominasi selama dua periode berturut-turut.

     Tak banyak yang bisa dia mengerti saat itu atau bahkan hingga sekarang jika itu menyangkut soal perebutan kekuasaan dan manuver politik. Tapi mencari data dan rekam jejak kepemimpinan seorang kepala negara tentu tidaklah sulit, dengan segala kemudahan akses yang disediakan internet dewasa ini, siapapun bisa dengan mudah menemukan apapun—terlepas dari tingkat akurasinya. Tidak sulit menengok kembali bagaimana pelantikan seorang Gus Dur disambut dengan pujian dan optimisme untuk kemudian diturunkan dengan cibiran, baru setelah kepergiannya dari dunia ini, orang-orang berebut menulis buku tentang beliau, bahkan kalau boleh mungkin sudah memasang tugu untuk menghormatinya.

     Yang dialami Megawati juga tak jauh berbeda, naik ke tampuk kekuasaan menggantikan Gus Dur dengan disambut antusiasme rakyat yang berharap kepemimpinannya akan menghidupkan kembali semangat juang sang ayah, bapak ideology bangsa, namun berakhir dengan menunjukkan ketidakmampuannya mengurus bangsa. Dan Susilo? Bukankah bertahan dua periode menunjukkan kapabilitasnya memimpin bangsa? Entahlah. Sosok presiden yang begitu diangungkan pada masa-masa awal pemerintahannya kini seolah kehilangan kharisma. Apa kata rakyatnya? Beliau dan istri mungkin pasangan pemimpin paling eksis di jagad raya ini. Membuat lagu, rekaman, berfoto bahkan sibuk ‘mention-mentionan’ di twitter, pantas saja Indonesia aman-damai-sentosa-sejahtera-dan tak ada prahara. Bisa di mengerti dari mana sikap rakyat yang cinta damai ini berasal, mengingat pemimpinnya juga woles-woles aja.

     “Meski sekarang rakyat memuji-muji namamu, nantinya akan datang hari dimana mereka mencerca dirimu. Mereka akan mengatakan kekaisaran dibawah perlindunganmu tidak sebaik dimasaku kala mengenang zaman itu.” Apakah kalimat ini semu belaka? Tidak. Contoh mudahnya terjadi tepat didepan mata, dimana masyarakat kini mulai membanding-bandingkan masa pemerintahan Soeharto dengan pemerintah sekarang seolah lupa betapa mereka dulu begitu menginginkan reformasi. Pemudi itu tidak tau pasti mana yg lebih baik, karena di masa Soeharto ia mungkin baru saja belajar bicara. Namun Ia memutuskan untuk tidak langsung menghakimi berdasarkan kesaksian media. Hal serupa terjadi pada pemimpin-pemimpin setelahnya, yang disambut dengan suka cita untuk kemudian dilepas dengan caci maki.

     Mungkin kata-kata perdana menteri tadi cukup merefleksikan kenyataan yang berlaku di dunia nyata. Tak ada yang lebih berat daripada memenangkan hati rakyat, tapi sebenarnya ada yang lebih sulit dari itu, yakni mempertahankan kepercayaan rakyat. Dan yang lebih sulit lagi?? Tentu mempertahankan ketulusan niat kita sendiri ketika kekuasaan sudah berada dalam genggaman. Kekuasaan yang absolut mampu memunculkan seorang tiran dan kekuasaan yang lama mampu mengaburkan tujuan. Seorang guru pernah berkata bahwa sejarah selalu berulang, maka marilah kita tunggu dan lihat saja apa yang akan terjadi setelah ini, untuk kemudian membuat konklusi tentang apa sesungguhnya kekuasaan itu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar