“Pada suatu waktu,
seorang ayah dan anak pergi ke pasar hendak menjual keledai. Pada saat
berangkat mereka berdua menaiki keledai tersebut bersamaan. Sampai pada suatu
tempat dimana banyak kerumunan orang yang berbisik-bisik mengomentari betapa
kejam nya si ayah dan anak ini karena keledai kurus tersebut harus menanggung
dua orang sekaligus. Mendengar bisik-bisik tersebut, si ayah berinisiatif untuk
turun dan membiarkan sang anak yang menaiki keledai tersebut.
Tak lama kemudian
mereka kembali melewati sekelompok orang yang mencibir sinis terhadap si anak
yang durhaka karena enak-enakan naik keledai sementara ayahnya yang sudah tua
harus berjalan kaki. Mendengar hal tersebut, si anak pun turun dan ganti ayahnya
yang naik keledai.
Beberapa waktu kemudian
mereka berpapasan dengan orang-orang di perjalanan yang geleng-geleng kepala
sembari mengomentari betapa teganya sang ayah meminta anaknya yang masih kecil
untuk berjalan di siang terik seperti ini sementara dia naik keledai sendirian.
Mendengar hal tersebut, bingunglah si ayah dan anak tersebut. Mereka berdua akhirnya
memutuskan turun dari keledai tersebut dan berjalan kaki saja.
Akan tetapi sesampainya
mereka di pasar, orang-orang memandang heran terhadap ayah dan anak ini. “Sungguh
aneh… Apa mereka berdua ini bodoh? Kenapa mereka susah payah jalan kaki jika
ada keledai yang bisa dinaiki?”. Kemudian Si ayah dan anak saling berpandangan
dengan bingung.”
*****
Sebagian besar dari
kita mungkin sudah akrab dengan anekdot di atas. Tentu saja kita bisa dengan
mudah menarik kesimpulan tentang pesan moral yang terkandung dalam kisah
tersebut, bahwa ketika kita punya tujuan dan yakin dengan apa yang kita
lakukan, maka satu-satunya yang harus kita pertahankan adalah fokus terhadap
tujuan tersebut. Tak ada alasan untuk kita bimbang hanya karena komentar negatif
orang lain, karena memang tidak semua komentar perlu kita respon. Toh, akan
selalu ada orang-orang yang tak sejalan dengan fikiran kita.
Dalam banyak kasus, apa
yang terjadi di negeri kita belakangan ini mengingatkan saya akan anekdot
tentang ayah, anak dan keledainya. Pemerintahan baru mulai bergerak, menyusun
rencana dan memulai langkah awal. Akan tetapi pro dan kontra terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil pun bermunculan. Hal tersebut wajar saja
mengingat sistem demokrasi yang kita anut memberikan ruang bagi kebebasan publik
untuk berpendapat, dan memang tak ada yang salah dengan itu. Salah satunya,
kasus kenaikan BBM yang menuai kontroversi di berbagai lini beberapa waktu
silam.
Keputusan pemerintah
menaikan harga BBM November lalu mendapat banyak kritik, baik dari pihak
oposisi maupun koalisi pemerintah sendiri. Alasan yang di kemukakan pihak yang
kontra dengan kenaikan BBM sejauh ini tidak jauh beda dengan alasan yang di
gunakan pihak oposisi pada pemerintahan sebelumnya, neoliberal, tidak pro
rakyat, dan lain lain. Akan tetapi ada suatu keunikan dalam kasus ini yang
menarik untuk dipertanyakan, yaitu; “Mengapa pemerintah menaikkan harga jual
BBM dalam negeri ketika harga minyak dunia justru sedan turun?”
Pertengahan November
2014 ketika pemerintah menaikkan harga BBM, harga minyak dunia hanya berkisar
US$ 80/Barel, bahkan taksiran hingga januari 2015 hanya sekitar US$ 70/Barel. Hal
ini jauh dari asumsi pemerintah ketika menetapkan rancangan APBN yaitu US$
105/Barel. Hal ini lah yang dipandang janggal oleh pihak yang kontra, karena
selama ini kenaikan BBM biasanya dipicu oleh melonjaknya harga minyak dunia. Protes
pun bermunculan dalam berbagai bentuk,
mulai dari kritik pengamat, demonstrasi, hingga ejekan dan sindiran di media
sosial.
Seperti yang kita tau,
besarnya subsidi BBM bergantung kepada selisih harga jual global dengan harga
jual dalam negri. Semakin jauh perbedaannya, maka semakin bengkak pula
pengeluaran kita, dan tentunya semakin banyak juga uang negara yang dibakar
menjadi polusi asap kendaraan bermotor. Jumlah subsidi BBM yang sudah mencapai
angka 276 Triliun sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai penyakit kronis
bagi pembelanjaan negara yang ironisnya sebagian besar ditopang oleh utang luar
negeri. Langkah awal pemerintah menaikkan harga BBM sebenarnya sudah sangat
tepat, karena menurut perhitungan para ahli, kenaikan Rp 2000 ini disinyalir
mampu menghemat sekitar 100 Triliun pertahunnya. Akan tetapi, dengan harga
minyak dunia yang terlihat stagnan di kisaran angka 80 hingga sekarang ini,
pihak yang kontra pun seolah mendapat angin. Pada akhirnya pemerintah mengatakan
akan menurunkan kembali harga BBM pada tengah malam nanti dan akan mulai diberlakukan
keesokan harinya.
Saya bertanya-tanya,
perlukah pemerintah menurunkan kembali harga BBM? Seperti si ayah dan anak yang
bolak balik turun-naik keledai hanya karena bimbang dengan komentar
orang-orang? Jika itu menurut saya pribadi, maka penurunan BBM adalah langkah
yang kurang tepat. Alasannya? Banyak, pertama saya tidak berfikir turunnya
harga BBM akan berdampak signifikan terhadap harga-harga yang terlanjur naik,
terlebih lagi di sektor transportasi. Selain itu, turunnya harga minyak dunia
tak akan berlangsung selamanya, cepat atau lambat, harga minyak akan kembali ke
kondisi normal. Saat itu terjadi, bagaimana cara pemerintah menutupi anggaran
belanja yang membengkak? apalagi setelah pemerintah menjanjikan kenaikan gaji
yang cukup besar kepada asosiasi buruh 2015 ini?
Apakah masalah berhenti
sampai disitu? Tidak. Ada hal lain yang lebih mengkhawatirkan dibanding
kerugian secara materil. Menurunkan harga BBM sama hal nya mengembalikan
masyarakat kepada kebiasaan konsumtif dan boros. Padahal setelah kenaikkan
BBM kemarin, masyarakat sudah mulai hemat BBM dan beralih menggunakan pertamax.
Tercatat seminggu setelah kenaikan, konsumsi permium turun dari 87.000 KL/hari menjadi
72.000 KL/hari, sebaliknya konsumsi pertamax naik sampai 81%. Alih-alih peduli
dengan kenyataan bahwa cadangan minyak bumi semakin menipis, menurunkan harga
BBM justru membuat mental masyarakat Indonesia terbiasa meminta gratisan dan
tidak sadar akan pentingnya berhemat bahan bakar demi masa depan sendiri.
Saya pribadi sangat
mendukung penarikan subsidi BBM sejak awal, bukan karena saya tidak merasakan
imbasnya ataupun tidak peduli kepada penderitaan saudara sebangsa. Saat ini saya
masih berstatus mahasiswa yang kuliah sambil bekerja untuk membiayai sekolah dan kebutuhan
sehari-hari, jadi naiknya harga bahan baku dan tarif angkutan sangat terasa dampaknya
bagi saya. Akan tetapi pada kenyataannya, rencana pembangunan infrastruktur dan
prasarana umum untuk rakyat dan rencana belanja sektor produktif terganjal
masalah APBN yang banyak penyakitnya, utamanya terkait subsidi BBM. Jadi selama
pemerintah menggunakan dana ex-subsidi itu dengan benar, saya dengan sepenuh
hati bersedia membayar sedikit lebih mahal untuk segala sesuatunya. Bukankah lucu
jika kita ingin membangun negri yang keren tapi tak mau ikut iuran untuk membeli bahan
bangunannya? Sudah saat nya kita bersedia bekerjasama dan bahu membahu menanggung
beban negara. Saya ingin berhenti bertanya tentang apa yang negera ini telah
berikan untuk saya, melainkan mulai berfikir tentang apa yang sudah saya
lakukan untuk tanah air ini.
Apakah saya menulis ini
karena saya fans pemerintah? Absolutely not!!! Justru saya sangat kecewa dan
menyayangkan keputusan pemerintah menurunkan kembali harga BBM. Sejauh yang
saya amati, keputusan ini tidak membuat rakyat kembali memihak pemerintah,
justru sebaliknya, rakyat akan memandang pemerintah plin-plan dan grasak-grusuk
dalam mengambil kebijakan. Apakah pencitraan itu penting? Tentu saja
penting, tapi jika itu berbenturan dengan prinsip dasar dan tujuan utama kita, tinggalkanlah! Segera
tinggalkan jika kita tak ingin terlihat bodoh dan tak punya prinsip seperti
ayah dan anak pemilik keledai. Ketika kita yakin dengan jalan yang
kita tempuh, tak ada salahnya kita bawa kapas untuk menyumbat telinga dari
komentar-komentar manusia yang tak akan pernah ada habisnya. Toh, belum tentu mereka sungguhan peduli soal benar atau salahnya kita.