Hai....
Senang sekali saya mengucap kata
yang satu ini! Hai... hai... hai.... senang sekali rasanya berjumpa dengan anda
semua pemirsa! Setelah cukup lama saya beristirahat dan nggak lagi belajar
menulis. Hmm... sebenernya saya tuh sedang belajar nulis apa sih?? nggak jelas
juntrungannya! Hee.
Sekitar 4 atau 5 tahunan yang lalu saya
itu dinobatkan sebagai putri pena lohh! Ya nggak jauh2 sih,, itu gelar dari
kawan2 saya, karna emang saya suka sekali menulis cerita. Jadi kalau anda buka
buku fisika saya dari bagian tengah kebelakang, anda akan menemukan cerpen.
Begitu juga nasibnya si buku geografi, tarikh islam, apalagi si buku matematika
yang memang dari akar-pangkal-ujung sampai keturunan2nya saya benci, maka
jangankan menulis, melihat angka pun rasa2nya bad mood.
Maka kawan2 saya merasa diuntungkan
karena yah... dipondok itu kan novel merupakan benda terlarang. Jadi kemunculan
para sastrawan amatir dengan karya abal2nya cukup menjadi selingan yang
menarik. Mereka antre panjang untuk membaca hasil tulisan kawan2nya, gantian,
berurutan. Tapi kebiasaan itu terhenti saat saya kelas 6 KMI. Oi... kalau saya
masih saja sibuk dengan buku2 itu maka hampir dapat dipastikan saat ini saya
tidak di rumah, tapi menetap di pondok untuk mengulang ujian akhir karna tidak
lulus. :-D
Jadilah saya seperti sekarang ini. Mau menulis cerita...
kaku, buntu, No idea. Karna sudah lama sekali absent dari kegiatan tulis
menulis. Mau nggak mau yah... mulai dari awal lagi. Dan kali ini cara yang saya
pilih untuk melemaskan tangan dan mencairkan fikiran agak berbeda, yaitu dengan
menuliskan opini, mengeluarkan pendapat.
Saya ini tipe orang yang suka
berpendapat, suka beropini. Tapi yah... selaku pengamat amatiran tentunya
kendala saya adalah kurangnya wawasan dan sempitnya fikiran. Itu membuat saya
agak takut untuk berpendapat. Apalagi ditengah issu brain war nya para intelek
itu. Perang ideologi itu sayangnya bukan isapan jempol belaka. Ia memang ada
dan sedang berkembang dengan pesatnya ditengah ketidak tahuan masyrakat kita.
Oi.. apa pula bahayanya perang ideologi
itu. Kan nggak bisa meledakkan bangunan, nggak bisa membunuh orang?
Ya memang enggak! Jangankan meledakkan
atau membunuh, perang ideologi itu bahkan nggak bisa membuat kulit kita lecet
walau sejengkal. Tapi diatas segalanya, perang yang satu ini sangat potensial
membunuh karakter, merusak pola fikir, dan membuat kita menghambakan diri pada
doktrin2 sang penguasa perang.
Sekitar 1400 tahun silam, (kira2 saat
itu saya belum lahir-hee) nabi kita khusyuk berdo’a dihadapan para sahabat.
Setelah do’a pertama ia tersenyum, kemudian kembali berdo’a. Lalu untuk kedua
kalinya ia tersenyum lagi, lantas kembali berdo’a. Dan anehnya... setelah do’a
ketiga ini beliau menangis tersedu. Maka bingunglah para sahabat, dan salah
satu diantara mereka bertanya hal apakah yang membuat rasul bersikap demikian.
Maka rasul pun menjawab, bahwa kali pertama ia berdo’a kepada Allah kiranya
agar tidak menghancurkan ummatnya dengan bencana2 seperti ummat yang terdahulu,
kemudian Allah menjawab ya,
maka tertawalah rasul. Kemudian rasul kembali berdo’a kepada Allah kiranya agar
tidak menghancurkan ummatnya dengan peperangan dengan kaum musyrikin, maka
Allah pun mengabulkan untuk kedua kalinya, sebab itulah rasul kembali tertawa.
Namun ketiga kalinya rasul berdo’a, ia meminta kepada Allah agar ummatnya tidak
dihancurkan dengan perang dan perselisihan antar sesama saudara muslimnya,
namun apakah jawaban Allah?? Allah tidak memperkenankan do’a terakhir baginda
nabi ini. Maka menangislah sang pembawa risalah, tak terbayangkan ummatnya
harus hancur akibat perselisihan antar sesama muslim, saudara seiman. (saya
tidak ingat bagaimana bunyi nash aslinya, bahkan sama sekali tidak tau bagaimana
tingkat keshahihan nash ini, tapi) kita bisa lihat bukti nyata dari kebimbangan
rasul 14 abad silam akan ummatnya, pada hari ini.
Bukannkah kekhawatiran rasul belasan
abad lalu itu telah terbukti? Terpampang nyata dihadapan kita pada hari ini.
Bahwasanya islam yang hanif itu telah bercabang, membelah diri menjadi aliran2
yang beragam. Yang ini ikut imam A, yang itu ikut imam Z, yang ini mengaku ikut
Rasulullah tapi entahlah....
Lantas apa masalahnya? kita semua tau
dan sepakat bahwa perbedaan adalah fitrah. Kalimat yang tepat, yang sayangnya
hanya sebatas keluar dari tenggorokan. Masalahnya adalah golongan yang satu
merasa lebih baik dari pada yang lain, masing2 merasa lebih benar dan masing2
merasa yang lain salah. (nah, biasanya orang yg berpendapat seperti saya ini
dibilang sekuler, plural, liberal dan apalah itu istilah keren lainnya!! Tapi
saya berani sumpah; im not!! Na’udzubillah deh kalau sampe terjerat aliran2 yg
demikian) saya sama sekali tidak menyetarakan islam dengan agama2 yang dibawa
oleh tangan manusia, saya tetap meyakini bahwa islam adalah satu2nya yang telah
disempurnakan disisi Allah.
Tapi saya tidak pernah sependapat dengan
mereka yang bilang aliran saya yang paling benar, yang lain kafir. (lha??)
Mengkafirkan seseorang (atau sekelompok orang) itu haram lho hukumnya!
Itu murni hak Allah! Kecuali secara dzahir ia memang kafir yg nyata. Tapi kalau
orang tsb masih bersyahadat, menjalankan syari’at, dan memiliki kiblat dalam
syari’atnya... maka jangan dikafirkan begitu saja.
Sunni dan syi’ah.... perang
Muhammadiyah dan NU.... perang
Cewek berjilbab panjang dan jilbab pendek.... perang
Kyai pake sarung dan yang pake
celana.... perang
Dan semua kekacauan ini bermuara
pada satu kesalahan... yakni sulitnya kita berintrospeksi, sulitnya kita
berkaca di air jernih! Ta’ajub... alias terlalu bangga pada diri sendiri.
Kita benar, yang lain salah....
waw!!!hebat sekali orang2 seperti ini!! Ckckck... dan dunia tempat tinggal kita
sekarang didominasi oleh orang2 hebat ini, baik dalam paham agamanya maupun di
kehidupan sehari2nya. dan....
maka mari kita menghitung hari, detik demi detik kehancuran yang sudah di ceruk
mata, jika saja tak datang seorang messiah...
yang membawa panji2 kedamaian apapun harganya!