2015,
28 April dini hari, entah kenapa aku belum bisa memejamkan mata. Bukan apa-apa memang,
mungkin hanya belum mengantuk setelah berjam-jam hibernasi sore tadi. Suasana kamar kost yang beberapa bulan ini
kutempati terasa lengang. Jarum jam berdetak pelan nyaris tanpa suara, menandai
detik demi detik yang berlalu lambat. Malam itu bagiku tak ada yang istimewa—datar
saja, sedatar jalanan depan gang yang gelap dan senyap. Akan tetapi masih
dibawah langit yang sama, ratusan kilometer dari tempatku terjaga, terpisah
oleh air dan tanah… setidaknya ada beberapa orang yang sedang bersiap
menjemput takdir mereka. Menghadapi akhir dari sebuah babak dalam buku
kehidupan masing-masing. Mereka adalah para terpidana mati kasus Bali Nine
bertahun-tahun silam, yang akhirnya mesti menutup perjalanan hidupnya dengan
letusan peluru eksekutor. Entah bagaimana perasaan kedelapan orang yang
menghadapinya, termasuk belasan orang keluarga, teman, pasangan, kerabat dan
orang-orang yang mengasihi mereka.
Eksekusi
mati gelombang II ini hampir dapat dipastikan akan penuh dengan air mata
kesedihan dari pihak terpidana. Tak akan jauh berbeda dengan eksekusi
gelombang I beberapa waktu lalu, suasana media besok pagi akan ramai dengan
headline yang memuat kisah mengharukan saksi mata, orang-orang terdekat,
pembimbing spiritual dan kerabat, bahkan diantara para terpidana itu ada yang
baru beberapa hari lalu melangsungkan pernikahan di balik jeruji. Bisa
dipahami, mengingat yang kita bicarakan hari ini adalah kematian, dimana tak
akan ada kesempatan kedua untuk bangun lagi.
Kematian
memang suatu keniscayaan. Tak ada satupun makhluk bernyawa di dunia ini yang
luput dari kejarannya. Akan tetapi menunggu kematian dan melihat kedatangannya
dengan “mata terbuka” adalah suatu hal yang berbeda. Tak seperti kebanyakan
manusia yang sama sekali tak punya ide kapan ajal akan menjemput, para
terpidana mati ini menghitung langkah demi langkah sang maut yang terus
mendekat, dengan disaksikan dan dicatat seluruh dunia yang turut berhitung.
Seperti apa rasanya berada di posisi mereka? Entahlah, bahkan menulis tentang
ini sambil membayangkannya saja membuat bulu kuduk berdiri.
Hukuman
mati yang telah diputuskan oleh panglima tertinggi negara ini setelah sekian
tahun maju mundur tentunya menuai reaksi. Pro dan kontra, dukungan dan celaan.
Dunia tak hanya ikut menyaksikan dan mencatat, mereka juga terlibat. Komunitas
internasional, entah itu organisasi, negara, maupun individu berpengaruh, tentu
harus melibatkan diri untuk—minimal—berkomentar, terutama negara-negara
tertentu yang warganya menjadi terdakwa. Berbagai cara ditempuh; dari
mulai diplomasi lunak dengan mengirim pengacara terbaik, pengajuan grasi,
permintaan penangguhan, hingga jalan yang lebih keras seperti evaluasi hubungan
bilateral, menarik pulang perwakilan diplomatik, bahkan aksi boykot yang
biasanya bermula dari media sosial.
Sebagai
seseorang yang mempelajari interaksi internasional, saya mengerti betul betapa
pentingnya hubungan kerjasama dengan negara sahabat. Puluhan tahun bermitra
dalam hubungan yang mutualis, menjalin kerjasama, people to people contact,
bahkan bertukar kultur. Apakah sebanding jika harus menjadi renggang “hanya”
karna satu nyawa saja? Satu nyawa dari jutaan warga negara lainnya. Akan
tetapi, jauh sebelum mengerti perhitungan untung-rugi dari hubungan bilateral
semacam itu, saya adalah anak orang tua saya, lahir dan besar ditengah
keluarga, dan memiliki saudara-saudara yang saya sayangi. Maka, hari ini saya
ingin menulis dari sudut pandang seorang kakak yang telah berjanji untuk
menjaga dan melindungi kedua adiknya, terlepas dari teori tawar-menawar antar
negara.
Klaim
terakhir BNN menyatakan bahwa di Indonesia, setiap harinya terdapat 50 orang
tewas akibat narkoba. Itupun belum terhitung mereka yang kehilangan akal,
kehilangan kesehatan di usia produktif, bahkan terinfeksi penyakit menular.
Tentu saja, berurusan dengan narkoba adalah pilihan yang mereka ambil sendiri, tapi
diluar itu kita perlu mempertimbangkan anak-anak usia muda yang melangkah masuk
kedalam dunia tersebut dengan pengetahuan minim, mempertimbangkan kenyataan
bahwa mereka berhak mendapat perlindungan memadai dari kita yang memegang
tanggung jawab.
Hari-hari
ini orang sibuk bicara tentang kekejaman hukuman mati. Putusan yang dianggap
barbar untuk dilakukan oleh manusia karena tak ada bedanya dengan membunuh, buncah
berteori tentang Hak Asasi Manusia dan hak dasar untuk hidup, fakta bahwa
setiap orang pernah berbuat salah dan berhak mendapat kesempatan kedua. Tapi
sejujurnya, saya personally akan sangat ingin membunuh tanpa kompromi
siapapun yang berani mengenalkan narkoba kepada adik2 saya. Kenapa orang begitu
sibuk mengurus hak asasi pelaku tanpa memikirkan hak-hak korban? Bukan
satu-dua, melainkan 50 orang setiap harinya. Memang mereka bukan korban
langsung, tapi dalam pandangan saya justru hal itu semakin memberatkan kejahatan mereka. Dari
sekian banyak korban, mereka bahkan tidak tau harus meminta maaf pada siapa,
mengompensasi korban yang mana. Kejahatan yang mereka tebarkan bagai tertiup angin,
menyebar kesegala arah tanpa terkendali.
Kita
telah sepakat bahwa di Indonesia, kejahatan narkoba bukanlah kasus biasa. Ia
termasuk dalam extraordinary crime yang bisa mengundang konsekuensi nyawa. Tapi
tentu saja itu semua diterapkan setelah melalui banyak pertimbangan, telah
sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang disyaratkan. Faktanya, para terpidana ini juga
masuk ke bandara Indonesia sambil melihat dengan mata terbuka peringatan2 yang
tertempel disana bahwa dalam jumlah tertentu, kepemilikan obat terlarang dapat
diganjar hukuman mati. Meski demikian mereka memutuskan tetap membawanya, bukan? Dalam keadaan sadar! Bukankah terlalu pengecut jika pada akhirnya merengek mohon pengampunan dengan menggunakan dalih bahwa setiap orang pasti pernah berbuat salah?
Mereka
semua manusia yang berhak untuk hidup, itu benar… namun begitupula generasi
muda kita. Mereka berhak untuk hidup! Para terhukum mungkin telah berusaha sebaik
mungkin untuk berubah menjadi sosok yang lebih baik setelah bertahun-tahun
rehabilitasi di dalam rutan, tapi mereka tetap tak akan pernah bisa mengembalikan
apa yang telah mereka ambil dari korban-korbannya. Lantas apakah dengan menghukum
mati mereka, korban yang mati bisa hidup kembali? Tentu tidak, tapi itu
akan menyelamatkan jutaan lainnya yang masih hidup. Saya hanya bisa
mengirimkan simpati dari sini, disertai harapan agar kepergian para terpidana tidak sia-sia,
dan dimasa mendatang yang masih hidup pun bisa mengambil pelajaran, bahwa satu
tiang hukum negeri ini akan mulai ditegakkan, dan kami tidak main-main dengan
itu!
* Kost sweet
kost, 28 April 2015, 00:19
**Saya
berharap ada wifi buat ngepost langsung, tapi nggak ada -_-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar