Aku menarik
kembali selimut hingga menutupi separuh wajahku…
source: Google image |
Tak sampai lima menit aku kembali mendengarnya. Suara denting yang
mengusik, tepat dari depan pintu rumah kost kami. Seseorang seolah sengaja
memukulkan sesuatu pada tiang listrik yang berdiri tegak disana. Tiga atau
empat ketukan, terdengar lambat dan mencekam. Aku bergidik. Sudah sejak tadi
aku berusaha memejamkan mata, mengabaikan denting-denting yang selalu akan
mulai berbunyi tiap kali jarum jam menunjuk angka satu dini hari. Tapi gagal,
aku tak bisa mengabaikannya.
Entah sudah sejak kapan suara itu bermunculan. Sejak kemarin? Sebulan
ini? Atau malah sudah sepanjang tahun seperti ini? Aku tak pernah
memperhatikan. Sudah masuk delapan bulan sejak aku tinggal disini, tapi baru
minggu-minggu ini aku menyadari ada yang tak beres dengan suasana malam di
tempat ini.
Bermula beberapa hari yang lalu, aku masih terjaga di tengah malam untuk
menyelesaikan tugas kuliah yang harus ku serahkan lusa hari. Pukul sebelas
malam, semuanya masih terasa normal. Beberapa remaja mengobrol di teras rumah
tetangga, juga ada sekelompok pria paruh baya yang duduk di pos kamling sembari
bermain kartu ditemani cangkir kopi dan kepul asap rokok. Malam minggu, bisa
dimaklumi. Pukul dua belas, tepat tengah malam, kerumunan mulai bubar satu per
satu. Akan tetapi tak ada perubahan berarti, aku masih sibuk di kamar bersama
laptop dan makanan ringan. Playlist ku memutar beberapa lagu kesukaan dengan
volume rendah.
Beberapa lama semua tetap berjalan seperti itu, hingga tiba-tiba
playerku berhenti dengan sendirinya. Aneh. Tapi aku tak ingin ambil pusing dan
bermaksud menyalakannya kembali. Sebuah suara menghentikan niatku. Berdenting…
dari luar sana, tepat di depan pitu kostku yanag tak memiliki pagar pembatas,
kecuali sebidang teras kecil dengan dua kursi plastik.
Ting…ting…ting…
Berdenting tiga kali lalu hilang. Senyap kembali. Akan tetapi tak lama
berselang, ketika aku hendak kembali menekan keyboard, suara itu muncul lagi.
Berdenting tiga atau empat kali, untuk kemudian menghilang. Tak ada yang aneh
dengan suaranya, hanya saja ketukannya yang lambat dan seolah terseret angin,
sejujurnya membuat bulu roma berdiri. Berhenti sejenak, lalu berdenting lagi.
Begitu seterusnya hingga malam berakhir.
Sejak saat itu, malam ku terasa panjang. Melihat ke arah ventilasi kamar yang tak tertutup sempurna, menampakkan barisan bayang-bayang pepohonan di belakang rumah semakin membuatku bergidik. Esok dan keesokannya lagi, aku
kembali mendengar denting misterius dari jalanan depan depan rumah kost, tepat
pukul satu, dan tak akan berhenti hingga pagi menjelang. Selalu sama, dan tetap
sama irama nya. Sama menakutkannya semperti pertama kali aku mendengar, bahkan
lebih. Sekali dua aku berusaha mengabaikannya, gagal. Tidak bisa tidak, aku
membayangkan berbagai hal aneh terjadi di depan sana. Dentingnya itu
menyiratkan penantian putus asa yang entahlah… terdengar seperti
memanggil-manggil. Aku panasaran, sangat… akan tetapi tak memiliki keberanian
untuk melongok ke jendela. Takut akan entahlah, bayangan-bayangan yang mungkin
hanya ilusi ku saja. Maka kubiarkan tetap begitu. Sampai malam ini, ketika aku
membulatkan niat untuk mencari tahu.
*****
Keesokan harinya, rasa penasaran membawaku melangkah mendekati pemilik
kost yang tinggal tepat di belakang rumah yang aku tempati. Pagi menjelang
siang, ibu bertubuh gempal dalam balutan daster coklat tersebut sedang menyapu
halaman. Aku berbasa-basi tentang kamar mandi yang kran nya kadang menetes
meskipun sudah dimatikan. Kemudian bertanya apakah ia juga mendengar sesuatu
berdenting setiap malam, sepanjang waktu.
“Oh? Kamu dengar ya?” ujarnya tenang, aku mengangguk. “Tapi suaranya nggak
ganggu kan?” aku menggeleng, berbohong, karena sebenarnya aku sangat terganggu.
“Cuma penasaran aja” sahutku.
“Yah, itu emang udah setahun ini begitu. Tapi nggak papah kok, anak itu
nggak ganggu.” Jelasnya sambil tersenyum lebar, yang sedikit banyak menenangkan
ku, karena sepertinya bukan sesuatu yang serius.
“Oh, gitu… Tapi anak itu siapa bu? Ibu kenal juga?”
“Iya, tapi… kalo mau tau, lihat aja sekali-kali. Nanti malam mungkin dia
datang lagi.”
Aku berfikir sejenak, menimbang-nimbang. Baiklah, tak ada ruginya
melihat sendiri, toh, sepertinya bukan sesuatu yang berarti karena si ibu
menjawab dengan sangat ringan.
*****
Maka aku dengan santai beranjak dari kasur ketika jam menunjuk pukul
01:00, ketika denting tersebut mulai terdengar lagi seperti malam-malam
sebelumnya. Jalan depan rumah kost ku adalah sebuah gang sempit. Beberapa
langkah dari pintu depan berdiri sebuah tiang listrik, yang ku duga merupakan
asal suara. Sambil mengunyah permen aku melongok dari jendela, berusaha
mengawasi seseorang yang sedang berdiri di samping tiang, membelakangiku. Tapi
aku tak bisa melihat dengan jelas. Jadi kuputuskan untuk keluar dan
memastikannya.
Seseorang yang sepertinya wanita mengenakan helm di kepalanya berdiri
menghadap tiang. Ia membenturkan pelan kepalanya ke tiang listrik, helmnya
beradu dengan tiang dan dari sanalah berasal suara, ting…ting…ting…
Aku heran dengan apa yang dia lakukan, jadi aku mendekat untuk bertanya
langsung. Akan tetapi setelah dua-tiga kali kupanggil, tak ada respon. Jadi aku
memutuskan untuk berjalan kedepannya. Langkahku terhenti. Aku tercekat dan
tiba-tiba merasa mual. Dibalik kaca helm yang pecah aku melihat wajah yang
hancur dan penuh darah, dengan sebagian sisinya terkelupas, menampakkana daging
dan tulang. Ia berhenti sejenak, lalu bola mata yang nyaris keluar dari
ceruknya itu bergerak, melirikku. Darah mengalir menuruni leher dan dadanya.
Aku menutup mulut, sambil menahan diri untuk tetap seimbang. Dengan jantung
berdentum, perlahan kulangkahkan kakiku yang terasa berat. Berjalan melewati
samping rumah kost, menuju halaman belakang, rumah ibu pemilik kost.
Aku mengetuk beberapa kali sebelum akhirnya pintu terbuka. Ibu kost
dengan daster lusuh dan rambut berantakan berdiri di depan pintu sembari
mengusap mata. Sepertinya Ia baru saja terbangun karena kedatanganku. Aku sudah
nyaris menangis dengan keringat yang mengucur seperti hujan. Ia bingung
menatapku. Aku berusaha menjelaskan apa yang barusan ku lihat, akan tetapi tak
ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Ia dengan pengertian menyuruhku masuk
dan duduk terlebih dahulu, kemudian masuk ke dapur setelah menawariku segelas
air putih.
Aku mengipasi wajah dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Beberapa
saat berlalu dan si ibu belum kembali. Setelah bisa bernafas normal, aku
mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Lalu mataku menangkap sesuatu yang
tampak aneh, diatas bufet TV, di bagian ujungnya. Aku tercekat. Tiba-tiba saja
dadaku terasa berat seperti tertindih batu. Aku mengenali benda itu… sebuah
helm. Helm yang sama dengan yang dipakai wanita tadi.
*****
*kost-sweet-kost, 07 Januari 2015, 03:42 dini hari.
**sebagian kejadian nyata, dengan
90% dramatisasi :p
***tulisan gagal--kacau--bin gaje hasil frustasi sama dosen OI. Lupakan UAS besok!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar