Suasana malam di sebuah pekuburan umum terasa begitu senyap. Jalanan
becek, hujan sore tadi masih menyisakan rintik gerimis membungkus gelap.
Seorang pria turun dari mobil yang sejak tadi terparkir di luar komplek makam.
Ia melihat smartphone nya dengan enggan, 54 missed calls. Lalu
melemparkannya ke dalam mobil begitu saja. Ia melepas jam tangannya, melihat
tanggal dan waktu sepintas, 3 Maret 2015… 21.45, lantas melemparkannya ke dalam
mobil. Ia menutup pintu mobil, lalu melepas jas abu-abu yang ia pakai dan
meletakkannya sembarang saja di atap mobil. Ia melangkah tertatih dengan nafas
terputus-putus, telapak tangan kanannya menggenggam erat botol besar minuman
keras.
Ia berjalan memasuki area pemakaman. Sesekali memperlambat langkah
sembari menenggak botolnya, lalu tertawa kecil menahan pedih. Hanya itu yang
bisa ia lakukan saat ini, ketika tak satupun hal berguna bisa ia pikirkan. Beer
ini setidaknya bisa menghangatkan tubuhnya ketika hawa dingin malam menusuk
kulit. Minuman memabukkan ini setidaknya bisa membantunya melupakan sejenak
kesakitan yang timbul dari rasa kecewa, lelah dan takut. Minuman yang sama yang
ia percaya mampu meringankan sedikit rasa sakit ketika tak seorangpun bersedia
berbagi luka yang ditanggungnya.
Semakin dekat dengan blok yang ia tuju, semakin baik pula deretan tanah persegi
itu terlihat. Letaknya berada di kavling terdepan tak jauh dari pintu masuk
pemakaman, hampir setiap makam ditumbuhi rumput hijau halus yang terpangkas
rapih. Di kedua sisi jalan berdiri lampu tinggi dan terang dengan aksen hiasan
dan pepohonan rindang terawat. Seminggu sekali seorang pesuruh resmi datang
membersihkan dan merawat tempat ini. Jelas sekali bahwa bagian pekuburan ini
memang disediakan untuk mereka yang bersedia membayar lebih. Bukan sembarang
orang.
Pria itu berhenti di antara dua gundukan tanah yang berdampingan dengan
dua nisan tertanggal sama, 3 Desember 2014. Disanalah Ibu dan adiknya terbaring,
tepat di bawah tanah ini. Ia berjongkok, memperhatikannya dengan mata yang mulai
sayu. Entah akibat tetes hujan atau efek minuman keras yang membuat matanya
terasa begitu berat dan pandangannya gelap. Atau malah bukan keduanya,
jangan-jangan air matalah yang membuat matanya terasa begitu panas. Entahlah,
sama saja, toh pada akhirnya pilihan yang bisa ia ambil hanya menundukkan
kepala dan menutupi wajahnya dengan tangan.
Gelap. Begitu matanya terpejam ingatannya menjelma menjadi bayang-bayang
seperti adegan film hitam putih yang berputar acak dalam benak. Suara mesin
monitor jantung dan lilitan selang yang memenuhi tubuh renta ayah, teriakan
marah dan decak kecewa dari para pemegang saham dalam rapat dewan direksi
tempohari menuntutnya untuk bertanggung jawab, tumpukan surat panggilan dari
kantor kejaksaan, polisi dan permintaan audit pajak, bahkan wajah cantik
tersenyum milik gadis yang dicintainya. Senyum yang menyakitkan untuk diingat,
karena gadis itu tersenyum dalam upacara pernikahannya, ia tersenyum di
pelaminan bersama pria lain. lalu terdengar suara decit rem yang diinjak sekuat
tenaga diikuti jeritan histeris dua orang wanita. Hanya ia seorang diri yang
bisa mendengar seluruh kebisingan itu adalah fakta yang membuatnya makin
tersiksa. Maka ia mencoba memejamkan mata dan menutup kedua telinganya
rapat-rapat.
Ini belum lama berlalu sejak Desember 2014, ketika seluruh cerita
hidupnya yang indah menikung tajam dan seolah terhempas ke jurang keputusasaan.
Terjadi sebuah kecelakaan yang menewaskan ibu dan adiknya, juga membuat ayahnya
terbaring koma berbulan-bulan karena serangan jantung, beliau mungkin tak ingin
bangun lagi setelah kehilangan orang-orang tercintanya. Perusahaan yang
dirintis sang ayah dan sekarang menjadi tanggung jawabnya dalam keadaan krisis
berat, diterpa badai rumor dan kehilangan kredibilitas di depan banyak pihak. Dalam
keadaan seperti ini, cintanya pergi meninggalkannya, bahkan setelah mereka
mengucap janji untuk selalu bersama meniti masa depan, dalam gelap dan terang.
Gadis itu mengembalikan cincin pertunangan mereka begitu saja, sesaat setelah
mendengar perusahaannya diambang kehancuran. Dan tak butuh waktu lama, hari ini
gadis itu sudah tersenyum bahagia disamping pria lain, dalam gaun putih yang
dulunya ia pilihkan untuk pernikahan mereka.
Malam ini, hanya satu pertanyaan saja yang selalu berputar dibenaknya, tentang
apakah hidup ini? hidup, mati, takdir, cinta, janji… tentang apa semua itu?
Ia tak ingin pulang hari ini. Disaat ia bahkan tak punya kekuatan untuk
berdiri tegak dan melangkah pulang. Ia mungkin akan bermalam disini. Dimanapun
asal bukan rumah atau kantornya, dimanapun tak masalah asal tak ada yang
bertanya ini-itu dan menuntut macam-macam darinya.
*****
Matahari bersinar. Bukan lagi hangat mentari pagi melainkan panas terik
matahari siang hari. Pria itu masih tertidur di tempatnya kemarin, terduduk
sembari memeluk lutut.
“Oi… oi, kau sedang apa?” Seseorang memanggil-manggil dari balik pagar
tipis yang membatasi makam, antara satu blok dengan blok lainnya.
Pria itu menengadahkan kepala. Merasakan pening di kepalanya, keringat
mengucur dari dahi, ia menghapusnya lalu menutup mata dengan telapak tangan,
silau. Ia menoleh kearah suara yang sedari tadi ber-psstt, psstt memanggilnya. Di
sana berdiri seorang gadis memegang alat penyiram tanaman dari plastik
ditangannya. Ia tersenyum pada pria itu, menampakkan sepasang lesung pipit di
pipinya. Rambutnya yang hitam legam sebagian tertutup slayer, menyisakan anak
rambut bergoyang pelan di dahi, tertiup angin. Ia bertanya sekali lagi, “sedang
apa kau disana?”
*****
Mereka berdua sekarang duduk di sebuah warung tenda dekat pemakaman
sembari menyeruput es kelapa muda. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai
Melati, orang yang selalu datang kesana setiap hari dan
dengan sukarela merawat pemakaman. Ia menanam bunga, memberi pupuk, menyirami,
menyiangi dari rumput liar, pokoknya memastikan seluruh tanaman tumbuh dengan
baik dan terawat. Meski agak bingung, pria itu mengangguk, balas memperkenalkan
dirinya sebagai Reza, bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang saat ini tak
memiliki tempat untuk pulang.
Melati tertawa mendengarnya. Dengan nada sedikit tersinggung Reza
bertanya bagian mana yang lucu dari keadaannya saat ini?
“Bukankah kau bilang tak punya tempat kembali?” Ujar gadis itu ringan.
Reza mengangguk pelan, tidak mengerti.
“Bukankah setiap manusia pada akhirnya akan kembali pada-Nya?”
“Bukan itu maksudku, aku hanya merasa begitu takut, fakta bahwa aku tak
memiliki siapapun diwaktu-waktu sulit seperti ini membuatku takut… aku hanya…
tak melihat adanya jalan keluar.”
“Dimataku, kau terlihat seperti seorang pemuda yang cerdas dan tangguh. Jadi,
masalah seperti apa yang membuatmu merasa seolah tak ada jalan keluar?”
“Kau akan tau seperti apa rasanya jika semua orang yang kau cintai pergi
darimu. bahkan semua yang tersisa seolah akan segera lepas juga dari
genggamanmu. Kau hanya bisa berdiri di ujung jalan, menyaksikan dengan frustasi
semuanya terjadi tanpa bisa melakukan apapun. Seperti itulah aku saat ini…”
Melati mengangguk. “Aku takkan bilang bahwa aku mengerti perasaanmu atau
menyuruh bersabar saja, karena itu pasti menyebalkan untuk didengar, bukan?” guraunya,
Reza tersenyum mengangguk, benar, mendengar nasehat-nasehat seperti itu memang
terkadang menjengkelkan. Orang-orang selalu dengan mudah mengatakan hal-hal semacam
itu.
“Aku akan memberitahu kau tentang sesuatu yang sangat aku yakini, yaitu
janji tuhan. Tuhan ku menjanjikan bahwa susah dan senang itu datangnya satu
paket, jadi jika saat ini kau dalam kesulitan, berbahagialah, karena selepas
masa sulit ini akan datang kebahagiaan dari kemudahan.”
Reza mengernyitkan kening, “Apa bedanya itu dengan menyuruhku bersabar?”
protesnya.
“Haha… setidaknya kan aku berimprovisasi dengan kata-kata dalam penyampaiannya!” Jawab Melati sekenanya lantas tertawa lagi.
Reza geleng-geleng kepala melihat betapa gadis disampingnya terlihat
bahagia dan tak memikul beban apapun. “Apa bagimu dunia memang se-menyenangkan
itu?” keluhnya, melihat melati masih tersenyum ringan.
“Tentu saja tidak, dunia memang tak pernah menyenangkan bagi siapapun,
aku nya saja yang bahagia. Haha…” lagi-lagi gadis itu menjawab asal. Baiklah,
tak ada gunanya mendebat gadis ini. Reza memnutuskan kembali sibuk dengan
es kelapa nya, ketika langit yang semula bersih tak tersaput awan tiba-tiba
mendung dalam sekejap. Hujan deras. Tenda warung itu sudah lapuk, tetes air
hujan mengalir dari lubang-lubang terpal yang bolong. Tampias. Reza berusaha
mencari titik yang tidak bocor, tapi Melati malah menghambur keluar. Dengan susah
payah menyeret karung besar berisi pupuk dan meletakkannya dibwah tenda, lalu
kembali lagi keluar mengambil peralatan “berkebun” nya yang tersisa dan
mengamankan dari hujan.
Gadis itu kembali ke bawah terpal dalam keadaan basah kuyup. Ia tersenyum
riang sembari menepuk nepuk pakaiannya. Hujan deras tak berlangsung lama, hanya
seperti kelebatan air yang mampir saja. Begitu langit mulai terang, Melati
mengajak Reza mengunjungi suatu tempat. Sisi-sisi jalanan yang mereka lalui
tampak indah oleh warna-warni bunga dan pepohonan rindang, di beberapa titik pemakaman
juga tumbuh rumpun bebungaan berbagai jenis, kesemuanya terawat dengan baik dan
tak terganggu oleh rumput liar. Melati tersenyum senang, dengan bangga
memperlihatkan “hasil kerjanya”.
“Sepertinya kau berusaha keras merawat tanaman-tanaman yang tumbuh
disini. Apa anggota keluarga mu ada yang dimakamkan di sini?”
Melati mengangguk, “Ayah dan ibuku disini juga” ia menunjuk suatu
sudut membentuk persegi dengan beberapa gundukan tanah di dalam area tersebut. Reza
melirik komplek makam yang masih tampak jarang itu, “Mereka sudah lama
meninggal…” lanjut melati. Ia memandangi gadis itu dengan heran, “Jangan
tersinggung, tapi untuk apa repot-repot melakukannya? Bukankah orang yang sudah
mati tak bisa melihat hasil kerja keras mu? Mereka bahkan mungkin tak ada lagi
disini, hanya tulang-belulang yang nantinya juga akan habis menyatu dengan
tanah.” Melati mengangguk-angguk, tapi tak segera menjawab. Reza kembali
meminta maaf, takut gadis itu tersinggung karena kata-katanya.
Tapi Melati menggeleng, ia menoleh menatap pemuda itu sembari tersenyum,
“Kau benar, mereka memang sudah tak ada lagi disini. Tapi… kenapa kau datang
kesini? Bukankah ibu dan adikmu juga tak ada lagi disini?”
“Uhm… itu… bukankah aku sudah bilang bahwa aku sedang tak punya tempat
untuk kembali?”
“Kalau itu alasannya, maka kau bisa mencari hotel atau rumah kontrakan,
bukannya pemakaman.”
“Aku hanya datang sebentar karena merindukan ibu dan adikku,” Jawab Reza
akhirnya, “Aku tau mereka tak disini lagi, tapi aku tak tahu lagi kemana harus pergi
ketika merindukan mereka”
Gadis itu mengangguk mengerti. “Karena itulah aku melakukannya…”
“Huh? Melakukan apa?”
“Berusaha keras merawat bunga-bunga dan tanaman yang tumbuh di tempat
ini. Kau benar, orang yang sudah mati tak lagi bisa menikmati keindahan taman
hasil usaha ku, tapi mereka yang masih hidup bisa! Orang-orang yang datang ke
pemakaman, lazimnya diliputi perasaan sedih, entah karena baru saja kehilangan
seseorang dalam hidupnya, atau rindu kepada mereka yang telah meninggalkannya. Untuk
mereka lah aku menanam bunga-bunga itu… aku menanamnya untuk orang-orang
seperti-mu! Aku selalu berharap bunga-bunga ini menjadi penghiburan sejenak
bagi siapapun yang sedang berduka.” Melati tersenyum lagi.
Reza menatap mata jernih gadis itu. Memandang dengan lekat, membuatnya tersadar
seolah warna coklat terang bola mata Melati memantulkan cahaya pelangi setelah
hujan. “Terimakasih! Aku tak menyadarinya sampai saat ini, tapi terimakasih
karena telah mempedulikan orang-orang seperti-ku…” Ucap Reza tulus. Untuk pertama
kalinya ia kembali tersenyum kepada orang lain setelah seluruh tragedi yang
menghantuinya.
“Baguslah kalau begitu, mulai sekarang kau bisa belajar menghargai
keindahan-keindahan kecil di sekitarmu dan mensyukurinya. Kau tak perlu khawatir,
karena saat ini ibu dan adikmu juga berada di tempat yang baik, jauh lebih
indah dari tempat ini. Setidaknya, sesekali jika hidupmu terasa berat, kau bisa
datang kesini dan mengingatku, bahwa aku menanam bunga-bunga ini untuk mereka
yang masih hidup… dengan harapan mereka menjalani hidupnya dengan indah!”
Reza tersenyum lagi, menatap wajah gadis menyenangkan itu dengan
perasaan baru, setitik api kecil dalam dada nya menyala. Tentu saja semua
masalah dalam hidup ini akan berakhir jika telah habis masanya. Hari mulai
sore, gadis itu berpamitan, tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum berjalan
menjauh dan menghilang dibalik kelokan jalan.
*****
Keesokan harinya, Reza terbangun dengan semangat pagi hari. Ia bersiap
ke kantornya untuk mulai menyelesaikan satu demi satu masalah yang sedang
dihadapinya. Setelah itu, Ia berencana mampir ke rumah sakit untuk menjenguk
ayah, dan kembali ke pemakaman untuk menemui Melati. Ia merutuki dirinya
sendiri yang sama sekali lupa meminta nomor kontak gadis itu. Ia akan
melakukannya hari ini.
Matahari mulai condong ke Barat ketika Reza menyelesaikan semua yang harus
dikerjakannya hari ini. Ia segera melirik arloji yang melingkari pergelangan
tangannya dan melangkah cepat keluar dari ruang kerja, menunggu lift dengan tak
sabaran, menuju basement dimana mobilnya terparkir. Sepanjang perjalanan, ia
bersenandung dengan riang, sesekali bersiul sembari melirik kaca depan,
merapihkan rambutnya.
Sesampainya di komplek pemakaman, ia berpapasan dengan beberapa kelompok
iring-iringan kendaraan yang sepertinya baru saja menyelesaikan prosesi
pemakaman. Hari mulai senja tapi pemakaman ini masih cukup ramai peziarah.
Tempat pertama yang dituju Reza adalah warung tenda penjual es kelapa muda
kemarin. Akan tetapi pemilik warung sedang tak ada, ia bertanya pada
orang-orang disana dengan menyebutkan ciri-ciri Melati, kesemuanya menggeleng
tidak tahu.
Ia melanjutkan langkah menuju blok makam ibu dan adiknya, tempat mereka
pertama bertemu. Tak ada. Maka ia memutuskan menyusuri jalan yang kemarin
mereka lalui, sampai ke tempat yang kemarin ditunjukkan Melati sebagai makam
kedua orang tuanya. Hanya beberapa petugas perawat makam yang masih berada
disana, Reza menanyai siapapun yang ditemuinya satu-persatu, bukankah Melati
bilang ia kesini tiap hari untuk merawat bunga-bunganya?
“Oh, anak itu… iya, saya tau Melati. Saya sering ngobrol dengannya kalau
sedang istirahat” Jawab seorang bapak diusia 40an akhir. Kulitnya hitam legam
terbakar panas matahari, ditangannya terdapat gunting rumput besar. Sekali lihat
saja ia bisa menebak bahwa bapak itu mungkin salah satu petugas yang bekerja
merawat makam.
“Apa bapak tau dimana rumahnya?” Bapak itu menggeleng. “Kalau begitu,
kapan biasanya Melati datang kesini?”
Bapak itu menggaruk pelipisnya, “Biasanya sih dia datang sore-sore
seperti ini, setiap hari sepulang kuliah. Kadang sendiri, kadang berdua dengan
adik lelakinya. Saya bahkan sampai hapal makam orangtua mereka. Tapi sudah
beberapa lama ini mereka tak pernah datang lagi, sekitar beberapa bulan
sepertinya, mungkin sedang keluar kota atau ada urusan lain…” terka nya.
Aneh, bukankah baru kemarin ia bertemu Melati? Kenapa bapak itu berkata ia
sudah lama tak datang kemari?
Akhirnya ia melanjutkan langkah memasuki blok pemakaman orangtua Melati,
tempat yang terlihat paling berwarna diantara komplek lainnya, karena
bunga-bunga yang ditanam oleh gadis itu tumbuh subur, terutama di musim
penghujan seperti sekarang ini. meskipun hanya sekilas melirik, pendapatnya
kemarin benar bahwa blok ini memang masih agak kosong, hanya terdapat empat
atau lima makam di dalamnya. Di bagian paling sudut, Reza melihat beberapa orang
sedang sibuk menggali tanah, sepertinya akan ada jenazah yang dikuburkan lagi
hari ini.
Seorang lelaki paruh baya dengan jas yang disampirkan di pundak terlihat
sedang sibuk menelepon seseorang sambil membelakangi Reza. Jarak mereka cukup
jauh, tapi sepertinya ia mengenali orang itu meski hanya dari belakang. Iapun maju
untuk memastikan. Lelaki itu baru saja menyelesaikan pembicaraannya di telpon
ketika Reza menepuk pundaknya. Benar saja, itu Om Dino, sekertaris ayahnya yang
sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri karena telah puluhan tahun bekerja
pada keluarganya.
“Oh, Kamu… Za, kirain siapa. Ngapain kamu disini? Ziarah ke makam ibu?”
“Iya, Om…” Jawab Reza sekenanya. “Tapi Om Dino kenapa disini?”
“Oh, itu… Om sedang mengurus pemakaman orang yang terlibat kecelakaan beruntun
dengan ibu dan adik kamu.” Om Dino menunjuk kearah beberapa orang yang sedang menggali
tanah dengan tangan kanannya yang memegang map coklat. “Dua orang pengendara sepeda
itu loh, kamu ingat? Om sengaja nggak ngasih kabar, karena kamu bilang nggak
mau dengar apapun tentang mereka. Lagipula Om juga mengerti, toh, kamu sudah
cukup sibuk dengan urusan ayah dan trouble perusahaan akhir-akhir ini.”
jelasnya. Reza mengangguk, ia memang meminta tolong sekertaris ayahnya untuk
menangani semua urusan terkait kecelakaan ibu dan adiknya.
“Mereka kakak beradik. Adiknya sempat koma beberapa hari, sekarang sudah
siuman tapi masih mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Kasihan, sekarang
anak itu sebatang kara. Karena kakaknya yang sudah lebih dari 3 bulan koma, akhirnya
nggak tertolong lagi. Anak itu meninggal pagi tadi… kasihan.” Lanjut Om Dino.
Reza mendengarnya dengan setengah hati, tapi entah kenapa kemudian ia
refleks saja bertanya siapa korban meninggal dari kecelakaan yang melibatkan
ibunya tersebut.
“Melati, namanya Melati… Diana…”
Degg.
Reza tersentak. Apakah memang hanya kebetulan atau…
“Kenapa Za?” Om dino tampak heran melihat raut wajah Reza berubah tegang
seketika. Tapi yang ditanya tak menjawab. Benaknya sedang sibuk merangkai
penjelasan tentang dua kakak beradik yang terlibat kecelakaan beberapa bulan
lalu, dengan keterangan penjaga makam tadi yang mengatakan bahwa Melati dan
adiknya sudah beberapa bulan ini tak datang. Reza mengurut keningnya, mencoba
mencari penjelasan logis dari semua kebetulan itu. tapi kemudian ia bertanya
lagi, map apa yang sedan dipegang pamannya tersebut.
“Berkas-berkas yang diperlukan untuk pemakaman, surat keterangan
kematian, fotokopi kartu pengenal dan kartu keluarga, juga kronologi kecelakaan
dari kepolisian, dan beberapa surat lainnya. Kenapa?”
Bukannya menjawab, Reza malah merebut map itu dari tangan pamannya. Ia membukanya
dan menemukan berkas-berkas seperti yang paman dibilang. Ia membaca selintas
saja kertas-kertas tersebut, sampai di halaman terakhir terdapat fotokopi kartu
identitas gadis itu, Melati Nurdiana. Reza terdiam tak percaya… matanya tak
lepas memandangi sosok dalam foto hitam putih di kertas tersebut. Seketika itu
perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan menjalar menyesakkan dada. Ia mengenalinya,
gadis itu memang Melati. Melati yang sama yang kemarin datang padanya dengan
senyum tersungging di bibir. Gadis banyak bicara yang setiap hari datang ke
pemakaman untuk merawat taman-taman kecil buatannya, Melati yang rela bersusah payah merawat taman itu untuk orang-orang seperti dirinya. Gadis itu benar-benar
Melati, sang gadis penanam bunga…