Saya : Alluuw…. Gaes, Gaes!!!!
Nanya dong, gimana pendapat kalian soal rencana Indonesia ikutan Masyarakat
Ekonomi Asean (Asean Economic Community)?
Teman 1: Apaan tuh?
Teman 2: Gak tau lis~
Teman 3: Materi kuliah ye?
Teman 4: Krikk…
Teman 5: Krikk-krikk…
Teman 6: Krikk-krikk-krikk…
Saya : @#$%^&*(@,@)~
Source: Antara news |
Sekitar
2014 awal ketika saya masih duduk di smester satu, pertanyaan di atas benar-benar
saya kirim ke grup chat di salah satu media sosial beranggotakan puluhan hingga
ratusan orang teman seangkatan saat sekolah dulu. Saat ini sebagian dari mereka
masih melanjutkan peendidikan di jenjang universitas, sebagian lainnya memilih
bekerja, ada juga yang sudah menikah dan hidup sebagai ibu umah tangga. Saat
itu saya baru mengenal term AEC dari salah satu mata kuliah di kampus dan excitement
menghadapi AEC 2015 membuat saya penasaran bagaimana pendapat teman-teman
saya mengenai agenda ini. Maka terkirimlah chat tersebut di ruang obrolan, akan
tetapi respon yang saya dapatkan jauh dari ekspektasi. Maka saya mengubah format
pertanyaan ke dalam bentuk survey sederhana:
“Tahukah anda apa itu Asean
Economic Community? Sejauh manakah anda mengetahui progress dari rencana ini
serta konsekuensi dari pembentukan AEC?”
a a. Tau dong, Saya mengikuti perkembangannya dan mulai
mempersiapkan diri
b b. Pernah denger sih, tapi selintas-selintas aja, nggak
begitu merhatiin.
c c. Gak tau, Baru denger…embuh lah!
d d. Eh, ASEAN itu apa ya?
Hasil perjalanan saya menjadi LSA (lembaga Survey
Abal-abal) ternyata cukup mengejutkan. Mayoritas responden saya menyawab poin
b. hanya pernah mendengar sesekali dan tidak terlalu paham, sisanya secara
berurutan memilih c lalu a. Karena penasaran, saya melanjutkan pertanyaan tersebut
kepada orang dewasa disekitar saya, di kantor, di rumah, bahkan di warteg
langganan saat makan siang. Hasilnya lebih mengejutkan lagi karena sebagian
besar malah belum pernah dengar sama sekali istilah AEC atau MEA yang saya
sebut.
Memang benar bahwa apa yang saya lakukan tidak
membuktikan apa-apa, pun tidak bisa dijadikan landasan untuk berpendapat bahwa
gaung agenda AEC ini tidak sampai ke akar rumput, karena keterbatasan
sample yang ada. Akan tetapi itu sedikit banyak mencerminkan kondisi di
masyarakat (sekitar saya, setidaknya) yang sebagian besar belum aware
bahwa akan ada banyak perubahan, sebagai konsekuensi AEC, sudah ada di depan
mata.
Asean Economic Community/AEC (Masyarakat Ekonomi
Asean/MEA) yang sudah akan dilaksanakan per 1 Januari 2016 mendatang ternyata
memiliki sejarah panjang. Di awali ketika KTT ASEAN 1997 di Kuala Lumpur, ide
tentang integrasi kawasan Asia Tenggara terus bergulir dan menjadi bahasan
rutin dalam setiap kongkow-kongkow negara member. Hingga Januari 2007 ketika
para pemimpin berkomitmen untuk mempercepat pelaksanaan AEC menjadi tahun 2015
dari rencana sebelumnya tahun 2020 saat pertemuan Bali Concord II.
Para anggota ASEAN sepakat untuk mentransformasikan
ASEAN menjadi kawasan ekonomi terintegrasi dengan harapan menjadikan negara
anggotanya lebih makmur, stabil, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat
pembangunan ekonomi yang merata. Para pemimpin khususnya telah sepakat untuk
menyulap kawasan ASEAN menjadi suatu kawasan dimana terdapat aliran bebas
barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, serta modal yang tanpa
hambatan baik berupa tariff maupun regulasi.
Ide integrasi AEC yang sudah dimulai sejak belasan
tahun lalu tentu sudah melewati banyak fase perencanaan, perombakan dan telah
menemukan sistem idealnya. Akan tetapi yang jauh lebih penting dari perencanaan
tersebut adalah implementasi nya di lapangan. Dan selama ini, acapkali
penerapan lah yang menjadi sumber masalah sehingga hasil yang didapat tidak
sesuai ekspektasi.
Ide pembentukan AEC mendapatkan beragam respon dari
publik, pro dan kontra, yang jika dirincikan satu per satu maka akan
menghabiskan satu bab sendiri. Dan berhubung dosen yang ngasih tugas ini
bilang jangan terlalu panjang juga karena itulah saya hanya akan membahas
apa yang menjadi pandangan saya pribadi tentang apa yang ditawarkan AEC bagi
masyarakat Indonesia khususnya.
Ibarat senjata, AEC bisa tak ubahnya pisau bermata dua
yang jika digunakan dengan baik bisa membantu kita memenangkan pertarungan,
tapi dilain pihak juga bisa melukai kita apabila tidak berhati-hati
menggenggamnya. AEC menawarkan tantangan, menuntut pemerintah untuk berfikir
keras bagaimana melindungi usaha kecil menengah dan industri-industri yang baru
berdiri agar tak secara langsung berhadapan langsung dengan industri raksasa
ditengah keharusan untuk meminimalkan regulasi, meningkatkan kapasitas
produksi, mengangkat nilai ekspor, memperluas pasar bagi produk industri
nasional, dan setumpuk lagi PR lainnya yang menunggu untuk dikerjakan. AEC juga
menawarkan peluang, bagi masyarakat yang ingin memperluas jangkauannya baik
dalam menempuh pendidikan maupun lapangan pekerjaan, kesempatan terbuka lebar.
Bagi para produsen, momentum ini bisa digunakan untuk memperluas penjualan dan
meningkatkan profit, bagi konsumen pun gelaran AEC membawa keuntungan
tersendiri dengan banyaknya pilihan barang/jasa dengan harga yang bervariasi.
Singkatnya, AEC akan menjadi “pasar malam” yang meriah dan menawarkan berbagai
bentuk kemudahan.
Akan tetapi yang perlu diingat adalah, kesempatan dan
peluang yang terbuka lebar itu hanya dapat dilihat oleh mereka yang memiliki
keberanian, daya juang dan sikap kompetitif tinggi. Karena tentu saja, peluang
datang satu paket dengan resiko. Jika kita seorang dokter, maka AEC akan
membuat impian kita bekerja di rumah sakit paling keren di Singapura sudah terlihat
di ceruk mata. Akan tetapi jangan lupa, bahwa nyatanya, disana sudah akan
bertumpuk ratusan CV lain yang siap bersaing memperebutkan pekerjaan itu. hanya
yang terbaiklah yang akan diterima. Bagi wiraswasta pembuat es krim misalnya,
cita-cita untuk memasarkan produknya ke Malaysia akan kandas apabila kualitas
dan harga nya tidak lebih daripada produk lokal di sana.
Bersama dengan kesempatan datang pula resiko.
Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menjadi superior dalam AEC 2016
mendatang, tapi tentu saja, untuk mewujudkannya membutuhkan persiapan matang
dari segala lapisan masyarakat. Pemerintah—dengan segala keterbatasan
regulasi—saja tidak akan mempu berkompetisi di AEC sendirian. Pun para
pengusaha yang hanya ibarat bangunan kosong tanpa masyarakat keseluruhan yang
menjadi konsumennya.
Survey kecil-kecilan yang dilakukan LSA bentukan saya
memang sama sekali tak bisa dijadikan acuan, karena tentu saja, judulnya memang
sudah survey abal-abal. Akan tetapi responden saya adalah generasi muda yang duduk
di bangku kuliah, dan dimasa mendatang akan melanjutkan estafet perjuangan di
kawasan bahkan global. Jika mereka saja tidak aware dengan adanya event
ini, maka jangan tanya orang tua kita yang sehari-hari berada di sawah atau
pasar.
Sudah selayaknya pemerintah mulai menyusun anggaran
supaya bisa memasang banyak baliho untuk mengiklankan gelaran AEC ini, bukan
Cuma di Bundaran Senayan saja. Mengenalkannya kepada para pelajar melalui
sekolah, juga mempromosikan nasionalisme dan “aku cinta produk Indonesia” di
televisi, media sosial, dan media massa lain dengan harapan meningkatkan
kesadaran masyarakat sehingga lebih siap dalam menghadapi momentum hebat ini.
bukannya Cuma sibuk membahas rencana dalam forum-forum terbatas yang hanya bisa
dihadiri sekelompok orang saja.
AEC seharusnya bukan hanya menjadi konsen pemerintah,
para pengusaha, akademisi, maupun pengamat saja. melainkan dijadikan agenda
bersama seluruh lapisan masyarakat—yang memang menjadi target dari tujuan yang
ditetapkan pemerintah ketika meratifikasi AEC ini—karena merekalah, kitalah
amunisi paling penting dalam pertarungan ekonomi kawasan. Tanpa partisipasi
maksimal dari masyarakat, AEC hanya ibarat letusan senjata tanpa amunisi,
berisik ledakannya tapi kosong saja isi dalamnya. (Berbagai sumber)