Minggu ini sebenarnya adalah minggu
penting dan UTS smester dua adalah alasan yang cukup tepat untuk menyebutnya
penting. Hari ini selasa pagi yang damai dimana posko sepi dan rasanya wasting
banget kalau waktu dihabiskan buat baca fotocopy-an diktat, haha~ *mahasiswa
macam apa sih ini?*
This time gw mau nulis tentang satu
impressive scene yang pernah gw liat di film ‘Soul Surfer’. Ada yang pernah
lihat film ini? Yeah, FYI aja ini film lumayan jadul, adaptasi dari kisah nyata
tentang seorang peselancar bernama Brittany (not sure with the spell, correct
me if im wrong~) yang sudah berteman dengan papan selancar sejak kecil.
Brittany sekeluarga mencintai selancar sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dibesarkan
di daerah pesisir membuat garam laut seolah menyatu dengan darahnya. Ia pun
tumbuh menjadi peselancar tangguh yang mengerti kapan saat paling tepat untuk
menerjang ombak. Namun suatu siang ketika Brittany dan sahabatnya (entah siapa
namanya—lupa) pergi berselancar untuk menjajal lautan di bagian lain pulau,
sebuah insiden terjadi, seekor hiu ganas menggigit salah satu lengan Brittany
hingga putus. Brittany harus beradaptasi dengan keadaan barunya tersebut, ia
belajar untuk melakukan pekerjaan sehari-hari hanya dengan satu tangan.
Syukurlah ketegaran gadis ini diatas rata-rata sehingga ia bisa tetap menjalani
hari seperti sebelumnya. Namun ada yang berubah, dengan satu tangan, otomatis
impiannya untuk menjadi peselancar professional menjadi mustahil. Perjuangan
Brittany menghadapi takdir dan mencari jalan pulang menuju istana impiannya
mengisi keseluruhan cerita.
Saya tidak akan membahas film ini sampai
akhir karena memang bukan itu tujuan awal saya. Mereview sampai sini saja
sebenarnya sudah out of topic, tapi begitulah… watak “rawan ngawur” saya ini
sepertinya memang sudah warisan. Jadi… inilah inti dari scene yang saya sebut
pada muqoddimah saya tadi, here we go:
Dalam suatu perkumpulan (entahlah acara apa)
sang mentor bertanya kepada para peserta gambar apakah itu? Para peserta
menjawab dengan ragu bahwa itu mungkin adalah lampu disko, atau telur ikan,
atau gelembung udara merah dan banyak lagi jawaban aneh yang makin lama makin
ngawur. Sang mentor tertawa lalu menampilkan gambar selanjutnya:
Para peserta terkejut karena ternyata
gambar itu melenceng jauh dari tebakan mereka. Sang mentor lalu beralih ke
gambar berikutnya:
Lalu
kembali bertanya gambar apakah itu? Para peserta lagi-lagi menjawab asal, nggak
kalah ngawur dari sebelumnya, menebak bahwa itu mungkin usus, atau otak, namun
kemudian ragu karena otak seharusnya berwarna merah muda seperti di gambar
anatomy, lantas ada lagi yang dengan ‘kreatif’ menambahkan bahwa itu mungkin
otak yang sudah mati dan membusuk *ewwh*. Namun sekali lagi jawaban mereka jauh
dari benar karena ternyata itu adalah gambar:
“Jadi, kalian mengerti kan bagaimana
sulitnya membuat sesuatu masuk akal saat kau melihatnya terlalu dekat? Hal yang
sama berlaku juga dalam kehidupan. Jika ada hal yang terlalu sulit dihadapi
atau terasa tak masuk akal, maka carilah sudut pandang baru!” itu kalimat sang
mentor mengenai gambar-gambar yang baru saja diperlihatkannya. Jika kita hanya menunjuk
gambar pertama kemudian mengatakan bahwa itu adalah gambar mata lalat, maka
kemungkinan besar orang-orang akan memvonis kita –minimal--rabun, atau malah
gila? Begitu juga ketika kita menunjuk gambar ketiga dan berkata bahwa itu
adalah biji kenari, nyaris pasti tak akan ada yang percaya. Kita membutuhkan
sudut pandang baru untuk bisa mengerti dan percaya, bahwa kebenaran tak selalu
seperti apa yang terlihat mata, mengingat indra dan akal manusia penuh dengan
keterbatasan.
Dalam pandangan saya, masih banyak hal
yang bisa dikembangkan dari keempat gambar diatas. seperti misalnya, baik dan
buruk suatu keinginan. Kita tentu kecewa ketika sebuah rencana yang telah kita
bangun dengan penuh harapan ternyata gagal, ketika nasib buruk menghampiri,
ketika apa yang kita inginkan tak pernah tercapai, ketika semua itu pada akhirnya
menggiring kita pada sebuah kesimpulan bahwa hidup ini tidak adil. Kita mungkin
akan mengeluh pada langit, dari 7 milyar manusia kenapa harus aku? Kenapa itu
aku yang harus menerima kenyataan seperti ini? kenapa kehidupanku tak seperti
mereka? Dan banyak lagi kenapa-kenapa lainnya yang bermunculan begitu saja. Kita
acapkali lupa atau sengaja melupakan bahwa yang terjadi tak selalu seperti
kelihatannya. Rasa marah dan kecewa membuat kita abai, bahwa melihat sesuatu
terlalu dekat bisa mengaburkan pandangan dan menggiring kita pada kesimpulan
yang salah. Hal yang sama berlaku dalam perkara keinginan, terlalu menginginkan
sesuatu dan mendekapnya erat bisa mengaburkan objektivitas kita tentang baik
dan buruk. Kita mempertanyakan keadilan Tuhan, tanpa mau mengerti bahwa keadilan
langit mengambil bentuk yang berbeda-beda. Jika kita tidak mengerti bukan
berarti tidak adil.
Seperti yang kita semua ketahui, hidup
di dunia nyata berbeda dengan novel yang alurnya bisa diubah sesuai keinginan
penulis. Gagal, sedih, dan kecewa adalah suatu keniscayaan yang datangnya satu
paket dengan kebahagiaan. Maka jika tiba saatnya semua berjalan buruk diluar
kendali, ingatlah bahwa kita selalu bisa mencari sudut pandang baru dan berbaik
sangka bahwa Tuhan sedang menyiapkan happy ending termanis menurut versi-Nya. J